Penghasilan suaminya terbilang besar. Sederet nominal yang cukup wah bagi kebanyakan orang. Namun, penghasilan sebesar itu seperti tak berbekas. Hutang bertumpuk dimana-mana. Rumah terjual begitu saja. Mobil dan motor bagaikan hanya mampir di parkiran. Ada sebentar kemudian pergi lagi karena harus pindah tangan. Ongkos anak dan suami setiap hari pun dari pinjaman.
Kini, kondisi kesehatannya sangat menyedihkan. Berulang kali sesak nafas akut tetapi tak bisa dibawa ke rumah sakit. Tetangga dan saudara tak ada yang mau meminjamkan uang. Biaya kesehatan yang sudah ditanggung oleh kartu jaminan kesehatan pun tak bisa memberikan kabar baik karena pada prakteknya, orang yang akan berobat di rumah sakit tetap harus memiliki uang untuk berbagai keperluan.
Fenomena yang menyedihkan ini bermula dari perilaku konsumtif keluarga tersebut. Bila uang sudah di tangan, “lapar mata” pun jadi sakit kambuhan. Segala macam barang dibeli, meski sebenarnya tidak benar-benar dibutuhkan. Bahkan, uang pinjaman pun bisa terpakai hanya untuk membeli smartphone keluaran terbaru. Akibat penyakit “beli ini-beli itu”lah, keluarga ini mulai terjerat hutang. Mulai dari hutang tak berbunga yang dipinjamkan oleh kantor tempat sang suami bekerja, hutang tetangga dan saudara, hingga hutang pada rentenir. Hutang pada yang terakhir ini membuat kehidupan mereka terpuruk.
Manfaat atau Keinginan Sesaat?
Bukan bermaksud menyebar aib orang lain tetapi inilah kisah nyata yang sejatinya bisa menjadi pelajaran untuk kita. Bahwa, sebesar apapun keinginan kita untuk memiliki sesuatu, ukurannya bukan hanya mampu atau tidak keuangan kita untuk mendapatkannya.
Ukuran keuangan, besar-kecilnya penghasilan sebenarnya adalah ukuran yang rentan untuk dijadikan alasan kita membeli sesuatu. Banyak barang yang secara ukuran finansial mudah kita beli tetapi pada kenyataannya menguras pendapatan kita. Ada pula barang yang secara hitungan matematis terbilang mahal tetapi lebih baik kita miliki.
Misalkan, untuk membeli tablet bukan hal yang sulit sekarang ini. Banyak tablet kualitas kedua yang bisa dibeli dengan harga ratusan ribu rupiah saja. Namun, bila tablet ini kemudian diserahgunakan pada anak-anak kita, dapat dipastikan, biaya yang harus kita tanggung meningkat berlipat. Yang pertama adalah biaya ekonomis. Tablet atau apapun bentuk barang elektronik yang diserahgunakan pada anak, umunya akan cepat rusak. Masa penggunaan yang pendek secara ekonomis sama dengan berbiaya tinggi. Belum lagi biaya kesehatan mata anak yang biasanya cepat terganggu, bila berlama-lama bermain dengan tablet, laptop, dan lainnya. Ditambah, anak yang cepat marah, malas belajar, dan cenderung egois. Ini semua adalah biaya tinggi yang harus kita tanggung dari “murahnya” harga tablet saat ini.
Akan tetapi, laptop yang kita beli dengan harga jutaan rupiah untuk menuliskan hal-hal yang bermanfaat, untuk mengerjakan hal-hal produktif, untuk menambah penghasilan keluarga, untuk mencari video edukatif yang menambah cakrawala keilmuan anak; pasti akan terasa murah dibandingkan manfaatnya. Apalagi bila dari adanya laptop tersebut, semakin banyak manfaat dan penghasilan yang kita dapatkan maka semakin ringan terasa beban yang kita tanggung.
Oleh karena itu, pertimbangkanlah ketika kita akan membeli sesuatu.Bukan dari ukuran keuangan yang kita miliki semata. Uang yang ada di tangan, bisa berasal darimana saja, termasuk dari kredit alias hutang. Bukan pula dari kebutuhan. Karena bisa jadi, kebutuhan itu timbul dari kurang teliti dan disiplinnya kita mengelola aset yang kita miliki. Termasuk mengelola waktu.
Pertimbangkanlah dari segi berlebihan atau tidaknya kita memiliki aset atau barang tersebut. Karena, bila dari segi manfaat, kita bisa berdalih bahwa apa yang akan kita beli membawa manfaat untuk kita. Misalnya, kita ingin membeli smartphone dengan kemampuan kamera yang lebih canggih. Dari segi manfaat, mungkin kita bisa mendapatkan gambar dengan kualitas yang lebih baik. Akan tetapi, untuk apa kamera digital yang sebelumnya telah kita miliki? Berapa kali dalam sebulan kita harus mengambil gambar yang memang benar-benar harus diabadikan?
Pertimbangkanlah, apalagi bila sampai harus berhutang. Mungkin teladan dari Umar bin Khaththab ra akan menjadi pengingat yang dalam. Suatu hari, anak Umar bin Khaththab, pulang menuntut ilmu sambil menghitung tambalan-tambalan yang melekat dibajunya yang sudah usang dan jelek. Dengan kasihan, Umar, sang Amirul mu’minin sebagai ayahnya mengirim surat kepada bendaharawan negara, yang isinya minta agar beliau diberi pinjaman uang sebanyak 4 dirham, dengan jaminan gajinya bulan depan supaya dipotong.
Kemudian Bendaharawan itu membalas surat Umar, yang isinya demikian, “Wahai Umar, adakah engkau dapat memastikan bahwa engkau akan hidup sampai bulan depan? Bagaimana kalau engkau mati sebelum melunasi hutangmu?”
Membaca balasan itu maka seketika itu juga Umar tersungkur menangis, lalu Beliau menasehati anaknya dan berkata, “Wahai anakku, berangkatlah menuntut ilmu dengan baju usangmu itu sebagaimana biasanya karena akau tidak dapat memperhatikan umurku walaupun untuk satu jam. Sungguh, batasan umur manusia tidak ada yang mengetahuinya, kecuali hanya Allah Subhanahu Wata’ala semata.” (Ummu Arina/Hidayatullah)
Kini, kondisi kesehatannya sangat menyedihkan. Berulang kali sesak nafas akut tetapi tak bisa dibawa ke rumah sakit. Tetangga dan saudara tak ada yang mau meminjamkan uang. Biaya kesehatan yang sudah ditanggung oleh kartu jaminan kesehatan pun tak bisa memberikan kabar baik karena pada prakteknya, orang yang akan berobat di rumah sakit tetap harus memiliki uang untuk berbagai keperluan.
Fenomena yang menyedihkan ini bermula dari perilaku konsumtif keluarga tersebut. Bila uang sudah di tangan, “lapar mata” pun jadi sakit kambuhan. Segala macam barang dibeli, meski sebenarnya tidak benar-benar dibutuhkan. Bahkan, uang pinjaman pun bisa terpakai hanya untuk membeli smartphone keluaran terbaru. Akibat penyakit “beli ini-beli itu”lah, keluarga ini mulai terjerat hutang. Mulai dari hutang tak berbunga yang dipinjamkan oleh kantor tempat sang suami bekerja, hutang tetangga dan saudara, hingga hutang pada rentenir. Hutang pada yang terakhir ini membuat kehidupan mereka terpuruk.
Manfaat atau Keinginan Sesaat?
Bukan bermaksud menyebar aib orang lain tetapi inilah kisah nyata yang sejatinya bisa menjadi pelajaran untuk kita. Bahwa, sebesar apapun keinginan kita untuk memiliki sesuatu, ukurannya bukan hanya mampu atau tidak keuangan kita untuk mendapatkannya.
Ukuran keuangan, besar-kecilnya penghasilan sebenarnya adalah ukuran yang rentan untuk dijadikan alasan kita membeli sesuatu. Banyak barang yang secara ukuran finansial mudah kita beli tetapi pada kenyataannya menguras pendapatan kita. Ada pula barang yang secara hitungan matematis terbilang mahal tetapi lebih baik kita miliki.
Misalkan, untuk membeli tablet bukan hal yang sulit sekarang ini. Banyak tablet kualitas kedua yang bisa dibeli dengan harga ratusan ribu rupiah saja. Namun, bila tablet ini kemudian diserahgunakan pada anak-anak kita, dapat dipastikan, biaya yang harus kita tanggung meningkat berlipat. Yang pertama adalah biaya ekonomis. Tablet atau apapun bentuk barang elektronik yang diserahgunakan pada anak, umunya akan cepat rusak. Masa penggunaan yang pendek secara ekonomis sama dengan berbiaya tinggi. Belum lagi biaya kesehatan mata anak yang biasanya cepat terganggu, bila berlama-lama bermain dengan tablet, laptop, dan lainnya. Ditambah, anak yang cepat marah, malas belajar, dan cenderung egois. Ini semua adalah biaya tinggi yang harus kita tanggung dari “murahnya” harga tablet saat ini.
Akan tetapi, laptop yang kita beli dengan harga jutaan rupiah untuk menuliskan hal-hal yang bermanfaat, untuk mengerjakan hal-hal produktif, untuk menambah penghasilan keluarga, untuk mencari video edukatif yang menambah cakrawala keilmuan anak; pasti akan terasa murah dibandingkan manfaatnya. Apalagi bila dari adanya laptop tersebut, semakin banyak manfaat dan penghasilan yang kita dapatkan maka semakin ringan terasa beban yang kita tanggung.
Oleh karena itu, pertimbangkanlah ketika kita akan membeli sesuatu.Bukan dari ukuran keuangan yang kita miliki semata. Uang yang ada di tangan, bisa berasal darimana saja, termasuk dari kredit alias hutang. Bukan pula dari kebutuhan. Karena bisa jadi, kebutuhan itu timbul dari kurang teliti dan disiplinnya kita mengelola aset yang kita miliki. Termasuk mengelola waktu.
Pertimbangkanlah dari segi berlebihan atau tidaknya kita memiliki aset atau barang tersebut. Karena, bila dari segi manfaat, kita bisa berdalih bahwa apa yang akan kita beli membawa manfaat untuk kita. Misalnya, kita ingin membeli smartphone dengan kemampuan kamera yang lebih canggih. Dari segi manfaat, mungkin kita bisa mendapatkan gambar dengan kualitas yang lebih baik. Akan tetapi, untuk apa kamera digital yang sebelumnya telah kita miliki? Berapa kali dalam sebulan kita harus mengambil gambar yang memang benar-benar harus diabadikan?
Pertimbangkanlah, apalagi bila sampai harus berhutang. Mungkin teladan dari Umar bin Khaththab ra akan menjadi pengingat yang dalam. Suatu hari, anak Umar bin Khaththab, pulang menuntut ilmu sambil menghitung tambalan-tambalan yang melekat dibajunya yang sudah usang dan jelek. Dengan kasihan, Umar, sang Amirul mu’minin sebagai ayahnya mengirim surat kepada bendaharawan negara, yang isinya minta agar beliau diberi pinjaman uang sebanyak 4 dirham, dengan jaminan gajinya bulan depan supaya dipotong.
Kemudian Bendaharawan itu membalas surat Umar, yang isinya demikian, “Wahai Umar, adakah engkau dapat memastikan bahwa engkau akan hidup sampai bulan depan? Bagaimana kalau engkau mati sebelum melunasi hutangmu?”
Membaca balasan itu maka seketika itu juga Umar tersungkur menangis, lalu Beliau menasehati anaknya dan berkata, “Wahai anakku, berangkatlah menuntut ilmu dengan baju usangmu itu sebagaimana biasanya karena akau tidak dapat memperhatikan umurku walaupun untuk satu jam. Sungguh, batasan umur manusia tidak ada yang mengetahuinya, kecuali hanya Allah Subhanahu Wata’ala semata.” (Ummu Arina/Hidayatullah)