Penyelenggaran Musyawarah Nasional (Munas) NU pada 14 Juni lalu dinilai tidak sah karena diwarnai kebohongan dan di dalamnya terdapat agenda susupan yang tidak sesuai.
Demikian penilaian Rois Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Bengkulu, KH. Abdullah Munir. Kebohongan yang dimaksud, dalam undangan Munas jelas disebutkan bahwa agenda Munas adalah pembahasan masail diniyyah atau masalah-masalah keagamaan.
Faktanya, Munas malah cenderung diarahkan membahas masalah yang berkaitan dengan keorganisasian, yakni mekanisme ahlul halli wal aqdi (ahwa) dalam pemilihan Rois Aam.
"Ini kan jelas menyimpang. Undangan dan agendanya berbeda. Ahwa itu bukan termasuk masail diniyyah. Memang ada siasat dilakukan pembahasan soal masalah keagamaan secara cepat, tapi kemudian muncul materi susupan soal ahwa itu," kata KH. Munir kepada wartawan (23/6).
Ia menceritakan pembahasan mengenai ahwa itupun dilakukan dengan janggal karena terkesan kuat hanya dimintakan persetujuan peserta. Sementara ketika ada peserta yang menolak dan memberikan argumentasi langsung dipotong.
"Ada pengurus PWNU Bengkulu saat menyampaikan pendapat, kok tiba-tiba ada peserta lain yang langsung bersuara ramai dan bahkan pada maju. Ini cara apa, kok dikondisikan demikian," paparnya menyayangkan.
KH. Munir juga mempertanyakan proses Munas yang disebutkan sebagai forum syuriyah tapi tidak dihadiri oleh petinggi syuriyah di PBNU serta hanya diikuti sedikit dari jajaran pengurus syuriyah PBNU. Sementara yang aktif justru banyak dari jajaran pengurus tanfizdiyyah PBNU dan pengurus lajnah serta lembaga.
"Terus jadi masalah lagi adalah, katanya Munas ini untuk membahas materi Muktamar, kok ketua SC Muktamar yang membidangi materi Muktamar tidak ada. Kami heran," ungkapnya.
Ia juga menemukan kebohongan lain yakni di dalam draft keputusan Munas yang dibagikan ke peserta tercantum Konferensi Besar (Konbes) 2014 dan Konbes 2015 sebagai dasar pijakan.
"Ini forum Munas kok malah rujukannya Konbes. Dan lagian Konbes yang dimaksud itu tidak menyepakati dan memutuskan soal ahwa. Terjadi pembahasan tapi tidak selesai, apalagi sampai muncul keputusan. Jadi Munas itu soalah-olah hanya untuk melegitimasi kebohongan mereka," tuturnya.
Karena itu, menurutnya, Munas dan hasilnya tidak sah dan perlu dibatalkan. Apalagi, Munas kalaupun dilakukan dengan cara yang benar, kedudukannya lebih rendah dari Muktamar.
"Jadi tetap bisa dibatalkan di Muktamar sebagai forum tertinggi. Jadi ahwa itu tidak bisa otomatis dipaksakan berlaku," pungkasnya.
Sumber: Rmol
Demikian penilaian Rois Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Bengkulu, KH. Abdullah Munir. Kebohongan yang dimaksud, dalam undangan Munas jelas disebutkan bahwa agenda Munas adalah pembahasan masail diniyyah atau masalah-masalah keagamaan.
Credit Photo: Yudhi/Antara |
Faktanya, Munas malah cenderung diarahkan membahas masalah yang berkaitan dengan keorganisasian, yakni mekanisme ahlul halli wal aqdi (ahwa) dalam pemilihan Rois Aam.
"Ini kan jelas menyimpang. Undangan dan agendanya berbeda. Ahwa itu bukan termasuk masail diniyyah. Memang ada siasat dilakukan pembahasan soal masalah keagamaan secara cepat, tapi kemudian muncul materi susupan soal ahwa itu," kata KH. Munir kepada wartawan (23/6).
Ia menceritakan pembahasan mengenai ahwa itupun dilakukan dengan janggal karena terkesan kuat hanya dimintakan persetujuan peserta. Sementara ketika ada peserta yang menolak dan memberikan argumentasi langsung dipotong.
"Ada pengurus PWNU Bengkulu saat menyampaikan pendapat, kok tiba-tiba ada peserta lain yang langsung bersuara ramai dan bahkan pada maju. Ini cara apa, kok dikondisikan demikian," paparnya menyayangkan.
KH. Munir juga mempertanyakan proses Munas yang disebutkan sebagai forum syuriyah tapi tidak dihadiri oleh petinggi syuriyah di PBNU serta hanya diikuti sedikit dari jajaran pengurus syuriyah PBNU. Sementara yang aktif justru banyak dari jajaran pengurus tanfizdiyyah PBNU dan pengurus lajnah serta lembaga.
"Terus jadi masalah lagi adalah, katanya Munas ini untuk membahas materi Muktamar, kok ketua SC Muktamar yang membidangi materi Muktamar tidak ada. Kami heran," ungkapnya.
Baca Juga: 27 Propinsi Tolak Pemilihan Sistem AHWA Di Muktamar NU
Ia juga menemukan kebohongan lain yakni di dalam draft keputusan Munas yang dibagikan ke peserta tercantum Konferensi Besar (Konbes) 2014 dan Konbes 2015 sebagai dasar pijakan.
"Ini forum Munas kok malah rujukannya Konbes. Dan lagian Konbes yang dimaksud itu tidak menyepakati dan memutuskan soal ahwa. Terjadi pembahasan tapi tidak selesai, apalagi sampai muncul keputusan. Jadi Munas itu soalah-olah hanya untuk melegitimasi kebohongan mereka," tuturnya.
Karena itu, menurutnya, Munas dan hasilnya tidak sah dan perlu dibatalkan. Apalagi, Munas kalaupun dilakukan dengan cara yang benar, kedudukannya lebih rendah dari Muktamar.
"Jadi tetap bisa dibatalkan di Muktamar sebagai forum tertinggi. Jadi ahwa itu tidak bisa otomatis dipaksakan berlaku," pungkasnya.
Sumber: Rmol