“Aku ingin dalam hidup ini berteman tak seperti musiman!” kata Maria. Kalimat yang diucapkan temanku tadi membuatku tersentak sesaat. Betapa hal itu sanggup menyentil ingatanku akan masa lalu.
Hingga kumandang adzan Magrib tiba, kusegerakan diri untuk berwudhu. Ada rindu takbir, sujud dan salam yang harus segera diobati, terlebih lagi rindu muhasabah diri. Maha besar Allah, setidaknya magrib ini aku sudah punya bahan untuk bermuhasabah. Ya, tak jauh dari ucapan Maria tadi.
Aku memang baru berusia 19 tahun. Tapi hal itu bukan membuatku bangga. Terutama dalam topik muhasabah kali ini, hatiku seakan tersayat…
Sembilan belas tahun memang bukan waktu yang sedikit untuk Allah tetap mengizinkan jantungku berdetak dan nafasku berhembus. Bukan pula waktu yang sesaat untuk mata dan telingaku bisa memandang kebesaran ciptaanNya dan mendengar lantunan ayat-ayat-Nya. Bukan pula perjalanan hidup yang pendek untuk ayah dan bunda meluapkan kasih sayangnya dalam membimbingku memaknai kehidupan.
Namun yang ada dalm pikirku kali ini, 19 tahun adalah waktu yang singkat. Mungkin karena aku belum mengerahkan seluruh daya dan upaya agar diriku banyak bermanfaat untuk orang-orang di sekitarku, hingga aku merasa 19 tahun ini berlalu begitu saja.
Duh, Rabb…
Betapa banyak orang yang berkontribusi kebaikan pada hidupku, terlebih lagi berkontribusi ilmu untukku gapai masa depan. Guru TK 2 kelas, nol kecil nol besar. Guru SD 6 kelas, guru SMP dan SMA sebanyak mata pelajaran yang kudapat. Belum lagi guru ekstrakulikuler, pramuka, paduan suara, jurnalistik, KIR dan guru perlombaan. Duh, apa pernah ya aku menyebut mereka dalam lantunan doa-doaku?
Ya, tepat! Betapa banyak pula teman yang ikut berkontribusi mewarnai hari-hariku dengan canda tawa dan duka bersama. Setidaknya jika aku memnghitung teman seangkatan, mulai Tk ada 40 teman. SD ada 5 kelas, berarti 45×5=225 teman, SMP ada 11 kelas, berarti kurang lebih 40×11=440 teman, SMA ada 9 kelas IPA, 1 kelas aksel dan 1 kelas IPS, berarti kurang lebih 414 teman. Kalau ditotal sekitar 1119 teman. Angka itu belum dikurangi sekitar 5% teman yang meneruskan pendidikan yang sama denganku. Dan belum ditambah dengan sejumlah teman beda angkatan, teman rumah, teman organisasi luar dll.. Dan lagi-lagi, adakah saat aku sebut mereka dalam lantunan doa-doaku?
Kalkulator yang menunjukkan angka 1119 itu sempat merasakan tetesan air yang jatuh dari mataku. Duhai Rabb, betapa banyak kenikmatanMu. Merekalah wujud cintaMu padaku. Kini, terlintas dalam pikirku.. Ukhuwah (persaudaraan) yang bagaimana yang selama ini kubangun bersama mereka?
Duhai Rabb, izinkan muhasabah ini sebagi jalan untuk aku luruskan niatku kembali. Sekalipun aku tak banyak tahu keadaan mereka, teman, guru, sahabat, dan saudara-saudaraku.. Namun, cukup Kaulah Rabb yang mengetahui apa-apa yang ada di depan dan di belakang kami. Dan cukuplah Kau Rabb yang menjadi sebaik-baik penjaga dan penolong..
Rabb, entah di manapun mereka.. izinkan kami tetap menjadi penumpang dalam kereta SyurgaMu. Ya, kereta yang melaju kencang tanpa pernah berhenti. Tanpa pernah berhenti dan peduli sekalipun terdapat penumpang yang tumbang dan tertinggal karena belum sanggup bertahan melawan angin nafsu selama kereta ini melaju.
Duhai, Rabb… Di dunia ini tak ada yang abadi. Jikalau dalam pandanganMu ukhuwah kami didunia ini adalah musiman, yang terdapat pertemanan dan persaudaraan hanya karena ada lokasi, waktu dan keperluan.. Maka, izinkanlah dengan hati kami yang bersatu karenaMu ini, kelak Kau panjangkan usia ukhwah kami hingga Kau pertemukan kami kembali dalam rahmat SyurgaMu…
Logika serupa baja Hati serupa sutra Tak ada yang kekal di dunia
Tuk sekadar berucap pada kawan Kala paradigma menguasai hati dan dada
Tenanglah..
Kepedulianku seperti kau kenal dulu..
Dan waktuku masih tersedia untuk suka dukamu
Bukankah Ia yang kekal,
yang menjadi alasan kita..
Cukup,
Sekali untuk diucap:
Ukhuwah kita bukan musiman..
Penulis: Meralda Nindyasti
Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Sumber: EraMuslim.Com
Hingga kumandang adzan Magrib tiba, kusegerakan diri untuk berwudhu. Ada rindu takbir, sujud dan salam yang harus segera diobati, terlebih lagi rindu muhasabah diri. Maha besar Allah, setidaknya magrib ini aku sudah punya bahan untuk bermuhasabah. Ya, tak jauh dari ucapan Maria tadi.
Aku memang baru berusia 19 tahun. Tapi hal itu bukan membuatku bangga. Terutama dalam topik muhasabah kali ini, hatiku seakan tersayat…
Sembilan belas tahun memang bukan waktu yang sedikit untuk Allah tetap mengizinkan jantungku berdetak dan nafasku berhembus. Bukan pula waktu yang sesaat untuk mata dan telingaku bisa memandang kebesaran ciptaanNya dan mendengar lantunan ayat-ayat-Nya. Bukan pula perjalanan hidup yang pendek untuk ayah dan bunda meluapkan kasih sayangnya dalam membimbingku memaknai kehidupan.
Namun yang ada dalm pikirku kali ini, 19 tahun adalah waktu yang singkat. Mungkin karena aku belum mengerahkan seluruh daya dan upaya agar diriku banyak bermanfaat untuk orang-orang di sekitarku, hingga aku merasa 19 tahun ini berlalu begitu saja.
Duh, Rabb…
Betapa banyak orang yang berkontribusi kebaikan pada hidupku, terlebih lagi berkontribusi ilmu untukku gapai masa depan. Guru TK 2 kelas, nol kecil nol besar. Guru SD 6 kelas, guru SMP dan SMA sebanyak mata pelajaran yang kudapat. Belum lagi guru ekstrakulikuler, pramuka, paduan suara, jurnalistik, KIR dan guru perlombaan. Duh, apa pernah ya aku menyebut mereka dalam lantunan doa-doaku?
Ya, tepat! Betapa banyak pula teman yang ikut berkontribusi mewarnai hari-hariku dengan canda tawa dan duka bersama. Setidaknya jika aku memnghitung teman seangkatan, mulai Tk ada 40 teman. SD ada 5 kelas, berarti 45×5=225 teman, SMP ada 11 kelas, berarti kurang lebih 40×11=440 teman, SMA ada 9 kelas IPA, 1 kelas aksel dan 1 kelas IPS, berarti kurang lebih 414 teman. Kalau ditotal sekitar 1119 teman. Angka itu belum dikurangi sekitar 5% teman yang meneruskan pendidikan yang sama denganku. Dan belum ditambah dengan sejumlah teman beda angkatan, teman rumah, teman organisasi luar dll.. Dan lagi-lagi, adakah saat aku sebut mereka dalam lantunan doa-doaku?
Kalkulator yang menunjukkan angka 1119 itu sempat merasakan tetesan air yang jatuh dari mataku. Duhai Rabb, betapa banyak kenikmatanMu. Merekalah wujud cintaMu padaku. Kini, terlintas dalam pikirku.. Ukhuwah (persaudaraan) yang bagaimana yang selama ini kubangun bersama mereka?
Duhai Rabb, izinkan muhasabah ini sebagi jalan untuk aku luruskan niatku kembali. Sekalipun aku tak banyak tahu keadaan mereka, teman, guru, sahabat, dan saudara-saudaraku.. Namun, cukup Kaulah Rabb yang mengetahui apa-apa yang ada di depan dan di belakang kami. Dan cukuplah Kau Rabb yang menjadi sebaik-baik penjaga dan penolong..
Rabb, entah di manapun mereka.. izinkan kami tetap menjadi penumpang dalam kereta SyurgaMu. Ya, kereta yang melaju kencang tanpa pernah berhenti. Tanpa pernah berhenti dan peduli sekalipun terdapat penumpang yang tumbang dan tertinggal karena belum sanggup bertahan melawan angin nafsu selama kereta ini melaju.
Duhai, Rabb… Di dunia ini tak ada yang abadi. Jikalau dalam pandanganMu ukhuwah kami didunia ini adalah musiman, yang terdapat pertemanan dan persaudaraan hanya karena ada lokasi, waktu dan keperluan.. Maka, izinkanlah dengan hati kami yang bersatu karenaMu ini, kelak Kau panjangkan usia ukhwah kami hingga Kau pertemukan kami kembali dalam rahmat SyurgaMu…
Logika serupa baja Hati serupa sutra Tak ada yang kekal di dunia
Tuk sekadar berucap pada kawan Kala paradigma menguasai hati dan dada
Tenanglah..
Kepedulianku seperti kau kenal dulu..
Dan waktuku masih tersedia untuk suka dukamu
Bukankah Ia yang kekal,
yang menjadi alasan kita..
Cukup,
Sekali untuk diucap:
Ukhuwah kita bukan musiman..
Penulis: Meralda Nindyasti
Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Sumber: EraMuslim.Com