KabarMakkah.Com - Majelis Rasulullah SAW, kali ini sangat berkesan. Pasalnya, majelis ini tidak hanya sekadar dihadiri oleh banyak sahabat baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshor namun juga ada episode yang menarik dan mengharukan dalam majelis tersebut.
Setelah Rasulullah SAW menyampaikan mauidzah yang menggugah, beliau berkata dengan lembut, "Wahai sahabatku, jika selama ini ada perbuatanku yang mungkin menyakiti hati kalian. Maka kinilah saatnya bagi kalian untuk membalasnya". Para sahabat terdiam dan saling berpandangan ketika ungkapan itu disampaikan dengan penuh kerendahan hati.
Dalam pikiran dan hati sahabat tergambar ungkapan, tidak mungkin orang semulia Rasulullah menyakiti diri dan hati mereka. Dalam keheningan tersebut, tiba-tiba saja dari arah belakang berdiri seorang sahabat dan berkata dengan tegas,
”Saya ya Rasululllah, saya yang pernah kau sakiti.! Suasana majelis mulia yang tenang tersebut berubah menjadi tegang. Para sahabat merasa heran dan tidak akan menduga ada seseorang yang begitu lancang pada Nabi. Tanpa dikomando, Sayyidina Umar bin Al Khattab berdiri dan ingin memberi pelajaran pada sahabat yang telah lancang tersebut.
Namun Rasulullah justru menenangkan Umar dan meminta dia untuk bersabar menghadapi masalah ini. Sejurus kemudian Nabi menyuruh sahabat tersebut maju ke depan dan memintanya untuk menjelaskan kesalahan Rasulullah SAW.
Sahabat tersebut kemudian mendekat, dengan tenang dirinya membuka pembicaraan, "Wahai utusan Allah, tidakkah engkau ingat dalam sebuah peperangan, pedang yang engkau bawa telah melukai tubuhku?
Rasulullah diam sejenak dan kemudian menjawab, “ Iya! lalu bagaimana”?
Saya ingin membalasnya, kata sahabat tadi.
Dengan spontan Nabi menjawab "Silahkan engkau membalasnya".
Namun, saat itu aku tidak memakai baju dan aku berharap engkau juga melepaskan bajumu, kata sahabat itu sambil memelas.
Sejurus kemudian Rasulullah mulai melepaskan bajunya dan secepat kilat sahabat tersebut memeluk dan mendekap erat tubuh Rasulullah sembari melinangan air mata berkata,
Dua sahabat di jalan Allah ini kemudian saling berpelukan dan menangis sebagai rasa cinta yang mendalam. Suasana majelis yang tegang berubah menjadi haru biru, Semua sahabat yang ada di majelis tersebut juga larut dalam keharuan, Bahkan tidak sedikit dari mereka yang ikut melinangkan air matanya.
Begitulah sejarah mencatat bagaimana cinta seorang sahabat pada Nabinya, untuk memenuhi rasa cinta dalam hatinya yang mendalam pada Nabi dilakukan dengan cara yang justru menimbulkan ketegangan namun akhirnya penuh dengan keharuan dan ketulusan.
Beliau berani mengatakan seperti itu untuk bisa merangkul tubuh Rasulullah dalam dekapan yang penuh kerinduan. Sebuah kejadian yang sarat dengan makna yang mengambarkan betapa cintanya sahabat-sahabat Nabi pada beliau SAW.
Mereka, para Sahabat Nabi, tidak hanya sekadar menyatakan cinta dalam ungkapan kata namun juga dibuktikan dengan seluruh jiwa raga dan harta mereka. Mereka rela mengorbankan kekayaan, keluarga, jabatan bahkan nyawanya sekalipun untuk membela orang yang dicintainya dengan segenap ketulusan jiwa,
Kita semua pasti pernah mendengar cerita tentang bagaimana Sayyidina Abu Bakar rela menanggung sakit yang luar biasa ketika digigit ular sewaktu beliau menemani Nabi bersembunyi di gua Hira untuk menghindari kejaran kafir Quraisy Mekkah? Atau Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang waktu itu masih remaja dengan penuh keberanian menggantikan posisi tidur Nabi ketika rumahnya dikepung kafir Quraisy guna membunuh Nabi? Hal ini resikonya sangat jelas yaitu luka berat atau terbunuh dalam selimut.
Cerita lain dalam peperangan Uhud, ada banyak sahabat yang menjadi perisai untuk melindungi Nabi dari tembakan busur panah dari pasukan kafir Quraisy dan di antara meraka banyak yang mati syahid di jalan Allah. Masih ada banyak bentuk perjuangan dan pembelaan sahabat pada Nabi sebagai wujud cinta tulus mereka pada Penutup para Nabi ini.
Lalu bagaimana dengan kita? Umatnya yang hidup 1400 tahun setelah wafatnya beliau. Kita yang belum pernah berjumpa dengan Rasulullah. Walaupun kita sering membaca sabda beliau namun kita belum pernah secara langsung mendengar suara beliau. Sekalipun kita mengetahui sejarah hidup beliau, gerak langkah dan perjuangan dan tutur kata beliau namun kita belum pernah bertatap muka secara langsung dengan beliau.
Bagaimana cara kita untuk mewujudkan rasa cinta tersebut sebagaimana para sahabat telah membuktikannya. Dalam hal ini, tidak ada aral yang melintang yang akan menghalangi cinta umat pada Nabinya sekalipun hidup pada masa yang jauh berbeda.
Oleh karena itu ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan cinta sejati pada Nabi seperti dibawah ini:
"Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika seandainya seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, (hal itu) tidak akan menyamai infak satu mud atau setengan mud dari salah seorang mereka" (Muttafaq 'alaih)
Setelah Rasulullah SAW menyampaikan mauidzah yang menggugah, beliau berkata dengan lembut, "Wahai sahabatku, jika selama ini ada perbuatanku yang mungkin menyakiti hati kalian. Maka kinilah saatnya bagi kalian untuk membalasnya". Para sahabat terdiam dan saling berpandangan ketika ungkapan itu disampaikan dengan penuh kerendahan hati.
Dalam pikiran dan hati sahabat tergambar ungkapan, tidak mungkin orang semulia Rasulullah menyakiti diri dan hati mereka. Dalam keheningan tersebut, tiba-tiba saja dari arah belakang berdiri seorang sahabat dan berkata dengan tegas,
”Saya ya Rasululllah, saya yang pernah kau sakiti.! Suasana majelis mulia yang tenang tersebut berubah menjadi tegang. Para sahabat merasa heran dan tidak akan menduga ada seseorang yang begitu lancang pada Nabi. Tanpa dikomando, Sayyidina Umar bin Al Khattab berdiri dan ingin memberi pelajaran pada sahabat yang telah lancang tersebut.
Namun Rasulullah justru menenangkan Umar dan meminta dia untuk bersabar menghadapi masalah ini. Sejurus kemudian Nabi menyuruh sahabat tersebut maju ke depan dan memintanya untuk menjelaskan kesalahan Rasulullah SAW.
Sahabat tersebut kemudian mendekat, dengan tenang dirinya membuka pembicaraan, "Wahai utusan Allah, tidakkah engkau ingat dalam sebuah peperangan, pedang yang engkau bawa telah melukai tubuhku?
Rasulullah diam sejenak dan kemudian menjawab, “ Iya! lalu bagaimana”?
Saya ingin membalasnya, kata sahabat tadi.
Dengan spontan Nabi menjawab "Silahkan engkau membalasnya".
Namun, saat itu aku tidak memakai baju dan aku berharap engkau juga melepaskan bajumu, kata sahabat itu sambil memelas.
Sejurus kemudian Rasulullah mulai melepaskan bajunya dan secepat kilat sahabat tersebut memeluk dan mendekap erat tubuh Rasulullah sembari melinangan air mata berkata,
"Tidak mungkin wahai Rasulullah, tidak mungkin aku akan membalasnya! Ini aku lakukan karena keinginanku yang sudah lama terpendam untuk mendekap engkau. Dan kesempatan itu ada pada hari ini di majelis ini."
Dua sahabat di jalan Allah ini kemudian saling berpelukan dan menangis sebagai rasa cinta yang mendalam. Suasana majelis yang tegang berubah menjadi haru biru, Semua sahabat yang ada di majelis tersebut juga larut dalam keharuan, Bahkan tidak sedikit dari mereka yang ikut melinangkan air matanya.
Begitulah sejarah mencatat bagaimana cinta seorang sahabat pada Nabinya, untuk memenuhi rasa cinta dalam hatinya yang mendalam pada Nabi dilakukan dengan cara yang justru menimbulkan ketegangan namun akhirnya penuh dengan keharuan dan ketulusan.
Beliau berani mengatakan seperti itu untuk bisa merangkul tubuh Rasulullah dalam dekapan yang penuh kerinduan. Sebuah kejadian yang sarat dengan makna yang mengambarkan betapa cintanya sahabat-sahabat Nabi pada beliau SAW.
Mereka, para Sahabat Nabi, tidak hanya sekadar menyatakan cinta dalam ungkapan kata namun juga dibuktikan dengan seluruh jiwa raga dan harta mereka. Mereka rela mengorbankan kekayaan, keluarga, jabatan bahkan nyawanya sekalipun untuk membela orang yang dicintainya dengan segenap ketulusan jiwa,
Kita semua pasti pernah mendengar cerita tentang bagaimana Sayyidina Abu Bakar rela menanggung sakit yang luar biasa ketika digigit ular sewaktu beliau menemani Nabi bersembunyi di gua Hira untuk menghindari kejaran kafir Quraisy Mekkah? Atau Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang waktu itu masih remaja dengan penuh keberanian menggantikan posisi tidur Nabi ketika rumahnya dikepung kafir Quraisy guna membunuh Nabi? Hal ini resikonya sangat jelas yaitu luka berat atau terbunuh dalam selimut.
Cerita lain dalam peperangan Uhud, ada banyak sahabat yang menjadi perisai untuk melindungi Nabi dari tembakan busur panah dari pasukan kafir Quraisy dan di antara meraka banyak yang mati syahid di jalan Allah. Masih ada banyak bentuk perjuangan dan pembelaan sahabat pada Nabi sebagai wujud cinta tulus mereka pada Penutup para Nabi ini.
Lalu bagaimana dengan kita? Umatnya yang hidup 1400 tahun setelah wafatnya beliau. Kita yang belum pernah berjumpa dengan Rasulullah. Walaupun kita sering membaca sabda beliau namun kita belum pernah secara langsung mendengar suara beliau. Sekalipun kita mengetahui sejarah hidup beliau, gerak langkah dan perjuangan dan tutur kata beliau namun kita belum pernah bertatap muka secara langsung dengan beliau.
Bagaimana cara kita untuk mewujudkan rasa cinta tersebut sebagaimana para sahabat telah membuktikannya. Dalam hal ini, tidak ada aral yang melintang yang akan menghalangi cinta umat pada Nabinya sekalipun hidup pada masa yang jauh berbeda.
Oleh karena itu ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan cinta sejati pada Nabi seperti dibawah ini:
Pertama, menerima dan menyakini ajaran yang dibawanya. Islam sebagai risalah dakwahnya hendaknya betul-betul kita pahami dan amalkan dalam kehidupan nyata.
Kedua, menyampaikan ajarannya. Kita diperintahkan untuk melanjutkan misi dakwahnya dengan menyampaikan ajarannya demi menyelamatkan seluruh umat manusia. Tentunya berdakwah dengan cara yang pernah diajarkan Rasulullah. Yaitu Bil Hikmah Wal Mauidzoh Hasanah.
Ketiga, sering menyebut nama dan bershalawat pada beliau. Menyebut nama Nabi dengan penuh keihklasan dan bersholawat untuknya dengan indah merupakan salah satu wujud kecintaan pada Rasulullah.
Keempat, menjaga nama baik dan memuliakan keluarga serta para sahabat beliau. Kita harus menentang siapa saja yang menghina para sahabat yang dimuliakannya karena menghina sahabat juga berarti menghina Nabi. Bahkan Nabi sendiri pernah menegaskan,
"Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika seandainya seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, (hal itu) tidak akan menyamai infak satu mud atau setengan mud dari salah seorang mereka" (Muttafaq 'alaih)