KabarMakkah.Com - Siang itu kembali kutatap foto putri semata wayangku yang berada jauh di pesantren sana. Setiap kali ku tatap wajahnya walau hanya lewat sebuah gambar bisu, hatiku didera penyesalan yang begitu mendalam.
Rasa sesal yang begitu sesak sehingga naik ke kedua bola mataku menghasilkan bulir-bulir air mata yang tidak bisa dibendung. Tanpa sadar mulutku ikut berucap, mengucapkan kata-kata yang entah sudah berapa ratus kali keluar dari mulutku. Ya Rabb, kutitipkan buah hatiku padaMu, jagalah dan selamatkanlah ia dari siksaMu kelak.
Januari 17 tahun silam, Aku begitu bahagia ketika pernikahanku yang sudah cukup lama, akhirnya dikaruniai seorang putri mungil oleh yang Maha Kuasa. Tak tergambar betapa besar rasa syukurku sehingga aku berazam dalam hati bahwa buah hatiku itu akan ku bahagiakan dan ku jaga dengan sepenuh jiwa dan raga tanpa pernah ku sia-siakan.
Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, tak terasa putriku sudah beranjak dewasa. Selama ini aku merasa bahwa aku sudah menjadi ibu yang hebat, ibu yang berhasil memenuhi segala kebutuhan putriku. Walaupun aku sibuk mengejar karier, tapi putriku tidak pernah mengeluh akan kehadiranku karena berbagai materi yang diinginkannya selalu aku penuhi.
Namun ternyata hal ini membentuk karakter konsumtif pada diri putriku. Ditambah dengan lingkungan pergaulan teman-temannya yang selalu berbangga-bangga dengan barang-barang bermerk. Ketika karierku jatuh dan aku tidak bisa memenuhi segala permintaannya lagi, putriku mulai berpikir untuk menghasilkan uang sendiri.
Celakanya, dia dikenalkan dengan seorang teman yang berprofesi ganda. Siang hari sebagai siswa, malam hari sebagai mucikari. Alhasil putri satu-satunya yang sangat aku cintai, terjerumus pada dunia kelam yang penuh kenistaan.
Bersyukur suatu hari dia bertemu dengan seorang akhwat cantik memakai hijab yang nampak begitu anggun. Iseng putriku bertanya:” Mbak apa tidak panas memakai baju dan kerudung yang serba panjang begitu?”. Sambil tersenyum manis akhwat tersebut berkata:” enggak kok, panas dikit gak masalah jika dibandingkan panasnya api Nar”.
“Nar itu apa mbak?” Tanya putriku.
Dari pertanyaan itu, akhwat tersebut menjelaskan secara panjang lebar perkara Nar dan Jannah (Neraka dan Syurga). Bagaimana mengerikannya siksaan Nar dan bagaimana penuhnya Jannah dengan berbagai keni’matan. Putriku pun menyimak dengan penuh antusias seakan hal itu adalah hal baru yang asing di telinganya.
Tapi memang demikian adanya. Aku tak pernah memikirkan untuk mengisi ruhani putriku dengan hal-hal islami. Padahal di KTP terpampang jelas bahwa agama yang aku anut adalah islam. Yang aku jaga hanya fisiknya saja, ku beri makan, ku beri minum dan kukenakan pakaian serta perhiasan mahal. Namun rohaninya aku biarkan kering kerontang laksana tanaman yang sudah bertahun-tahun tidak disiram air.
Aku lupa pada firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai ( perintah ) Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" (Q.S. A-Tahrim 6)
Dari perkenalan itu, putriku sering mengajak akhwat tersebut berkunjung ke rumah kami. Dari akhwat tersebut pula aku disadarkan akan peran ibu dalam menjaga buah hati yang utama yakni menanamkan akidah dan ilmu agama yang bisa menjadi saringan baginya dalam berucap dan bertindak.
Aku terhenyak kaget ketika akhirnya putriku melakukan pengakuan, bahwa dirinya telah terjerumus ke dalam dunia kelam. Aku menangis sejadi-jadinya menyesali pola asuhku yang salah. Namun penyesalan memang selalu datang terlambat. Menangis tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Aku ingin bangkit, aku ingin menata kembali caraku menjaga putriku. Ya Rabb, kutitipkan buah hatiku padaMu karena jika aku jaga seorang diri ternyata penjagaanku sangatlah lemah.
Perlahan tapi pasti, kami berdua mulai memperbaiki ilmu agama masing-masing dengan mengikuti berbagai macam pengajian. Walaupun pengajian tersebut bukan pengajian yang diselenggarakan oleh akhwat perantara pemberi kami hidayah.
Suatu hari, untuk memperdalam ilmu agama dan didorong oleh keinginan untuk membersihkan diri, putriku menyatakan keinginannya untuk pergi menimba ilmu di salah satu pesantren daerah jawa timur. Dengan berat hati, aku melepas kepergian putriku dengan air mata dan do’a.
Ya Rabb, kutitipkan buah hatiku padaMu, Jagalah ia agar selalu berada di jalanMu.. Amiin Ya Robbal'alamiin.
Rasa sesal yang begitu sesak sehingga naik ke kedua bola mataku menghasilkan bulir-bulir air mata yang tidak bisa dibendung. Tanpa sadar mulutku ikut berucap, mengucapkan kata-kata yang entah sudah berapa ratus kali keluar dari mulutku. Ya Rabb, kutitipkan buah hatiku padaMu, jagalah dan selamatkanlah ia dari siksaMu kelak.
Doa Seorang Ibu: Kutitipkan Buah Hatiku PadaMu |
Januari 17 tahun silam, Aku begitu bahagia ketika pernikahanku yang sudah cukup lama, akhirnya dikaruniai seorang putri mungil oleh yang Maha Kuasa. Tak tergambar betapa besar rasa syukurku sehingga aku berazam dalam hati bahwa buah hatiku itu akan ku bahagiakan dan ku jaga dengan sepenuh jiwa dan raga tanpa pernah ku sia-siakan.
Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, tak terasa putriku sudah beranjak dewasa. Selama ini aku merasa bahwa aku sudah menjadi ibu yang hebat, ibu yang berhasil memenuhi segala kebutuhan putriku. Walaupun aku sibuk mengejar karier, tapi putriku tidak pernah mengeluh akan kehadiranku karena berbagai materi yang diinginkannya selalu aku penuhi.
Namun ternyata hal ini membentuk karakter konsumtif pada diri putriku. Ditambah dengan lingkungan pergaulan teman-temannya yang selalu berbangga-bangga dengan barang-barang bermerk. Ketika karierku jatuh dan aku tidak bisa memenuhi segala permintaannya lagi, putriku mulai berpikir untuk menghasilkan uang sendiri.
Celakanya, dia dikenalkan dengan seorang teman yang berprofesi ganda. Siang hari sebagai siswa, malam hari sebagai mucikari. Alhasil putri satu-satunya yang sangat aku cintai, terjerumus pada dunia kelam yang penuh kenistaan.
Bersyukur suatu hari dia bertemu dengan seorang akhwat cantik memakai hijab yang nampak begitu anggun. Iseng putriku bertanya:” Mbak apa tidak panas memakai baju dan kerudung yang serba panjang begitu?”. Sambil tersenyum manis akhwat tersebut berkata:” enggak kok, panas dikit gak masalah jika dibandingkan panasnya api Nar”.
Ilustrasi Akhwat Berjilbab |
“Nar itu apa mbak?” Tanya putriku.
Dari pertanyaan itu, akhwat tersebut menjelaskan secara panjang lebar perkara Nar dan Jannah (Neraka dan Syurga). Bagaimana mengerikannya siksaan Nar dan bagaimana penuhnya Jannah dengan berbagai keni’matan. Putriku pun menyimak dengan penuh antusias seakan hal itu adalah hal baru yang asing di telinganya.
Tapi memang demikian adanya. Aku tak pernah memikirkan untuk mengisi ruhani putriku dengan hal-hal islami. Padahal di KTP terpampang jelas bahwa agama yang aku anut adalah islam. Yang aku jaga hanya fisiknya saja, ku beri makan, ku beri minum dan kukenakan pakaian serta perhiasan mahal. Namun rohaninya aku biarkan kering kerontang laksana tanaman yang sudah bertahun-tahun tidak disiram air.
Aku lupa pada firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai ( perintah ) Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" (Q.S. A-Tahrim 6)
Dari perkenalan itu, putriku sering mengajak akhwat tersebut berkunjung ke rumah kami. Dari akhwat tersebut pula aku disadarkan akan peran ibu dalam menjaga buah hati yang utama yakni menanamkan akidah dan ilmu agama yang bisa menjadi saringan baginya dalam berucap dan bertindak.
Aku terhenyak kaget ketika akhirnya putriku melakukan pengakuan, bahwa dirinya telah terjerumus ke dalam dunia kelam. Aku menangis sejadi-jadinya menyesali pola asuhku yang salah. Namun penyesalan memang selalu datang terlambat. Menangis tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Aku ingin bangkit, aku ingin menata kembali caraku menjaga putriku. Ya Rabb, kutitipkan buah hatiku padaMu karena jika aku jaga seorang diri ternyata penjagaanku sangatlah lemah.
Perlahan tapi pasti, kami berdua mulai memperbaiki ilmu agama masing-masing dengan mengikuti berbagai macam pengajian. Walaupun pengajian tersebut bukan pengajian yang diselenggarakan oleh akhwat perantara pemberi kami hidayah.
Suatu hari, untuk memperdalam ilmu agama dan didorong oleh keinginan untuk membersihkan diri, putriku menyatakan keinginannya untuk pergi menimba ilmu di salah satu pesantren daerah jawa timur. Dengan berat hati, aku melepas kepergian putriku dengan air mata dan do’a.
Ya Rabb, kutitipkan buah hatiku padaMu, Jagalah ia agar selalu berada di jalanMu.. Amiin Ya Robbal'alamiin.