KabarMakkah.Com - Kata wasiat ( الوصية ) diambil dari وصيت الشيئ,أصيه artinya : أوصلت (aku menyampaikan sesuatu). Maka orang yang berwasiat disebut al-Muushii. Menurut ulama fiqh, wasiat adalah pemberian hak milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya meninggal dunia. Pemberian hak milik ini bisa berupa barang, piutang atau manfaat.
Menurut ilmu syara', Wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik itu berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat tersebut mati.
Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur'an:
Sebab turunnya ayat
Ayat ini berkenaan dengan wasiat yang disampaikan saat ajal menjelang. Dahulu kaum jahilliyah mewasiatkan harta benda kepada orang-orang yang tidak terkait kekerabatan sama sekali dengan mereka.
Tujuan mereka tiada lain adalah mencari kemuliaan, ketenaran dan pujian dari manusia. Sedangkan mereka menyia-nyiakan kaum kerabat dekatnya dalam keadaan miskin. Sebab itulah turunlah ayat ini yang mengembalikan sasaran wasiat pada kedua orang tua dan karib kerabat. Namun para ulama berpendapat bahwa ayat ini telah di nashak dengan ayat waris.
Tafsir Ayat
Ketika telah datang tanda-tanda maut pada seseorang yang memiliki harta diwajibkan atasnya berwasiat. -idza hadhara ahadukum al mauta- tidak diartikan ketika seseorang sedang sakaratul maut karena pada saat itu orang tidak akan punya kemampuan untuk berwasiat. Maksud kalimat tersebut adalah jika tanda-tanda maut seperti sakit yang keras menimpa diri seseorang.
Az-Zuhri berpendapat bahwa wasiat diwajibkan atas semua harta,tidak memandang jumlahnya banyak atau sedikit. Pendapat lain menyatakan bahwa harta yang jatuh hukum wasiat atasnya adalah harta yang jumlahnya banyak. Karena jika seseorang hanya memiliki 1 dirham maka tidak disebut bahwa orang tersebut mempunyai kebaikan.
Pada ayat ini dijelaskan bahwa sasaran orang yang mendapat wasiat adalah kedua orang tua dan karib kerabat. Setelah turun ayat waris yang menetapkan orang tua mendapatkan hak waris dalam setiap keadaan maka orang tua tidak lagi menjadi sasaran wasiat.
Sedangkan bagi kaum kerabat, jika kerabat tersebut tidak mendapat hak waris maka tetap boleh menerima wasiat. Namun jika pada kondisi tertentu yakni adanya ahli waris yang kondisinya lebih miskin daripada ahli waris lainnya dan tidak bisa mencari penghidupan, maka dia tetap boleh mendapat hak wasiat. Sehingga inilah salah satu hikmah wasiat yang disampaikan saat ajal menjelang yakni menolong keluarga yang kondisi ekonominya serba sulit.
Wasiat harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf artinya tidak memberatkan ahli waris. Dengan kata lain wasiat tidak boleh berlebihan dan kadar yang diperbolehkan hanya sampai sepertiga bagian dari keseluruhan harta yang dimiliki.
Salah seorang sahabat Rasulullah SAW, Sa’ad bin Abi Waqos, beliau berkata, "Ya Rasulullah, saya punya harta tetapi saya tidak punya ahli waris kecuali seorang putri, bolehkah aku berwasiat dua pertiga dari hartaku? jawab Nabi Saw: "Tidak boleh". Sa’ad berkata: "jika tidak boleh, maka bagaimana jika setengah dari hartaku?"
Jawab Nabi: "Tidak boleh", Sa’ad berkata: "Jika tidak boleh, maka bagaimana jika sepertiga?" jawab Nabi Saw, "Sepertiga itu sudah banyak, sesungguhnya jika anda meninggalkan ahli warismu kaya itu lebih baik dari pada anda meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, sehingga terpaksa minta kepada orang lain" (HR. Bukhari Muslim)
Hutang juga bisa diwasiatkan
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa kata wasiat (washiyah) diambil dari kata washshaitu asy-syaia, uushiihi, artinya aku menyampaikan sesuatu (aushaltuhu). Wasiat merupakan pesan yang disampaikan seseorang ketika dia hidup untuk dilaksanakan orang yang diwasiati, ketika dia telah meninggal dunia. Pesan ini lazimnya berupa pemberian harta yang ditinggalkan untuk diberikan pada seseorang yang bukan ahli waris. Namun wasiat juga dapat berupa pesan untuk pelunasan hutang.
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Hisyam bin urwah bin Zubair, dari ayahnya, dari Abdullah bin Zubair, “Ketika Zubair telah berdiri pada perang Jamal, ia memanggilku, dan aku pun berdiri di sampingnya. Dia berkata, “Hai anakku, tidak akan ada yang terbunuh hari ini kecuali sebagai seorang yang zhalim atau yang didzalimi, dan sungguh aku melihat bahwa aku akan terbunuh hari ini secara dzalim.
Namun begitu, kekhawatiran terbesarku adalah masalah hutang-hutangku. Apakah kau melihat bahwa hutang kita akan menyisakan sesuatu dari harta kita?" Lalu ia berkata, "Hai anakku, juallah apa yang kita punya, lalu lunasilah hutangku. Dan aku mewasiatkan sepertiganya, dan sepertiga darinya untuk anak-anaknya yaitu anak-anak Abdullah bin Zubair, ia berkata, "Sepertiga dari yang sepertiga, apabila ada yang tersisa dari harta kita setelah melunasi hutang, maka sepertiganya untuk anakmu." (HR. Bukhari)
Dari hadits diatas kita bisa mengetahui bahwa ajaran islam sangat menghargai hak-hak manusia, bahkan dalam perkara hutang sekalipun. Sosok Zubair yang sudah mempunyai banyak tabungan amal soleh pun tetap mengkhawatirkan tuntutan orang yang masih mempunyai hak terhadapnya setelah kematiannya.
Ketika dia merasa ajalnya sudah dekat dan dirasa tidak ada waktu dan kesempatan lagi untuk melunasi hutang-hutangnya maka dia mewasiatkan agar hutang tersebut dilunasi oleh anaknya dari harta yang ditinggalkan. Dengan kata lain hikmah lain wasiat yang disampaikan saat ajal menjelang yakni dapat ditunaikannya kewajiban seseorang terhadap orang lain, terutama dalam perkara hutang.
Demikianlah sedikit artikel tentang hikmah wasiat yang dapat kami tulis. Semoga bermanfaat bagi pembaca. Amiin Ya Rabbal 'alamiin.
Pentingnya Wasiat |
Menurut ilmu syara', Wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik itu berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat tersebut mati.
Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur'an:
Ayat Wasiat |
Diwajibkan atas kamu, Apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa (QS. Al-Baqarah : 180)
Sebab turunnya ayat
Ayat ini berkenaan dengan wasiat yang disampaikan saat ajal menjelang. Dahulu kaum jahilliyah mewasiatkan harta benda kepada orang-orang yang tidak terkait kekerabatan sama sekali dengan mereka.
Tujuan mereka tiada lain adalah mencari kemuliaan, ketenaran dan pujian dari manusia. Sedangkan mereka menyia-nyiakan kaum kerabat dekatnya dalam keadaan miskin. Sebab itulah turunlah ayat ini yang mengembalikan sasaran wasiat pada kedua orang tua dan karib kerabat. Namun para ulama berpendapat bahwa ayat ini telah di nashak dengan ayat waris.
Tafsir Ayat
Ketika telah datang tanda-tanda maut pada seseorang yang memiliki harta diwajibkan atasnya berwasiat. -idza hadhara ahadukum al mauta- tidak diartikan ketika seseorang sedang sakaratul maut karena pada saat itu orang tidak akan punya kemampuan untuk berwasiat. Maksud kalimat tersebut adalah jika tanda-tanda maut seperti sakit yang keras menimpa diri seseorang.
Az-Zuhri berpendapat bahwa wasiat diwajibkan atas semua harta,tidak memandang jumlahnya banyak atau sedikit. Pendapat lain menyatakan bahwa harta yang jatuh hukum wasiat atasnya adalah harta yang jumlahnya banyak. Karena jika seseorang hanya memiliki 1 dirham maka tidak disebut bahwa orang tersebut mempunyai kebaikan.
Pada ayat ini dijelaskan bahwa sasaran orang yang mendapat wasiat adalah kedua orang tua dan karib kerabat. Setelah turun ayat waris yang menetapkan orang tua mendapatkan hak waris dalam setiap keadaan maka orang tua tidak lagi menjadi sasaran wasiat.
Sedangkan bagi kaum kerabat, jika kerabat tersebut tidak mendapat hak waris maka tetap boleh menerima wasiat. Namun jika pada kondisi tertentu yakni adanya ahli waris yang kondisinya lebih miskin daripada ahli waris lainnya dan tidak bisa mencari penghidupan, maka dia tetap boleh mendapat hak wasiat. Sehingga inilah salah satu hikmah wasiat yang disampaikan saat ajal menjelang yakni menolong keluarga yang kondisi ekonominya serba sulit.
Wasiat harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf artinya tidak memberatkan ahli waris. Dengan kata lain wasiat tidak boleh berlebihan dan kadar yang diperbolehkan hanya sampai sepertiga bagian dari keseluruhan harta yang dimiliki.
Salah seorang sahabat Rasulullah SAW, Sa’ad bin Abi Waqos, beliau berkata, "Ya Rasulullah, saya punya harta tetapi saya tidak punya ahli waris kecuali seorang putri, bolehkah aku berwasiat dua pertiga dari hartaku? jawab Nabi Saw: "Tidak boleh". Sa’ad berkata: "jika tidak boleh, maka bagaimana jika setengah dari hartaku?"
Jawab Nabi: "Tidak boleh", Sa’ad berkata: "Jika tidak boleh, maka bagaimana jika sepertiga?" jawab Nabi Saw, "Sepertiga itu sudah banyak, sesungguhnya jika anda meninggalkan ahli warismu kaya itu lebih baik dari pada anda meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, sehingga terpaksa minta kepada orang lain" (HR. Bukhari Muslim)
Hutang juga bisa diwasiatkan
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa kata wasiat (washiyah) diambil dari kata washshaitu asy-syaia, uushiihi, artinya aku menyampaikan sesuatu (aushaltuhu). Wasiat merupakan pesan yang disampaikan seseorang ketika dia hidup untuk dilaksanakan orang yang diwasiati, ketika dia telah meninggal dunia. Pesan ini lazimnya berupa pemberian harta yang ditinggalkan untuk diberikan pada seseorang yang bukan ahli waris. Namun wasiat juga dapat berupa pesan untuk pelunasan hutang.
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Hisyam bin urwah bin Zubair, dari ayahnya, dari Abdullah bin Zubair, “Ketika Zubair telah berdiri pada perang Jamal, ia memanggilku, dan aku pun berdiri di sampingnya. Dia berkata, “Hai anakku, tidak akan ada yang terbunuh hari ini kecuali sebagai seorang yang zhalim atau yang didzalimi, dan sungguh aku melihat bahwa aku akan terbunuh hari ini secara dzalim.
Namun begitu, kekhawatiran terbesarku adalah masalah hutang-hutangku. Apakah kau melihat bahwa hutang kita akan menyisakan sesuatu dari harta kita?" Lalu ia berkata, "Hai anakku, juallah apa yang kita punya, lalu lunasilah hutangku. Dan aku mewasiatkan sepertiganya, dan sepertiga darinya untuk anak-anaknya yaitu anak-anak Abdullah bin Zubair, ia berkata, "Sepertiga dari yang sepertiga, apabila ada yang tersisa dari harta kita setelah melunasi hutang, maka sepertiganya untuk anakmu." (HR. Bukhari)
Dari hadits diatas kita bisa mengetahui bahwa ajaran islam sangat menghargai hak-hak manusia, bahkan dalam perkara hutang sekalipun. Sosok Zubair yang sudah mempunyai banyak tabungan amal soleh pun tetap mengkhawatirkan tuntutan orang yang masih mempunyai hak terhadapnya setelah kematiannya.
Ketika dia merasa ajalnya sudah dekat dan dirasa tidak ada waktu dan kesempatan lagi untuk melunasi hutang-hutangnya maka dia mewasiatkan agar hutang tersebut dilunasi oleh anaknya dari harta yang ditinggalkan. Dengan kata lain hikmah lain wasiat yang disampaikan saat ajal menjelang yakni dapat ditunaikannya kewajiban seseorang terhadap orang lain, terutama dalam perkara hutang.
Demikianlah sedikit artikel tentang hikmah wasiat yang dapat kami tulis. Semoga bermanfaat bagi pembaca. Amiin Ya Rabbal 'alamiin.