KabarMakkah.Com - Tahukah anda bahwa sebelum Nabi Muhammad SAW menerima risalah (diangkat sebagai Rasul) Kaum kafir Quraisy Makkah sangat menghormati Ka'bah, Mereka bersepakat untuk tidak membangun Ka'bah dari uang haram.
Hal ini seperti yang tertulis dalam kitab Sejarah Mekkah, bahwasanya Ibnu Ishaq berkata, “Ketika orang-orang Quraisy telah sepakat meruntuhkan Ka’bah kemudian mereka berniat untuk membangunnya kembali, berdirilah Abu Wahb bin Amr bin Aidz bin Abd bin Imran Al Makhzumi.
Kemudian Abu Wahb berkata "Hai orang-orang Quraisy, untuk membangun Kabah ini kalian jangan menggunakan dana kecuali dari harta yang halal. Tidak boleh menggunakan uang hasil pelacuran, uang dari transaksi riba, dan uang yang diambil dari manusia dengan cara yang tidak adil.."
Pembangunan ka'bah pada masa sebelum diutusnya Muhammad menjadi Nabi ini disebabkan terbakarnya ka'bah karena Kiswah (Kain Penutup Ka'bah) waktu itu terbakar sehingga mengakibatkan rusaknya bagian luar serta dalam Ka'bah.
Setelah mereka bersepakat untuk membangun Ka'bah dengan menggunakan uang yang halal 100% dan ketika proses pembangunan Ka'bah telah selesai mereka bingung untuk menentukan siapa yang akan meletakkan hajar aswad.
Semua klan atau qobilah di Makkah merasa lebih mulia dari yang lain. Terjadi cekcok antar suku untuk menentukan siapa yang akan meletakkan batu yang mulia itu. Setelah itu keluarlah Ibnu Aid (Sesepuh Kota Makkah) untuk menasehati mereka perihal orang yang akan ditunjuk sebagai peletak hajar aswad.
Ibnu Aid berkata "Siapapun besok yang pertama kali datang ke Ka'bah, dialah yang akan menentukan siapa yang berhak menaruh Hajar Aswad dari pintu Babus Salam". Perkataan Ibnu Aid ini dirahasiakan oleh mereka dan di pagi itu mereka menunggu siapa yang akan datang ke Ka'bah pertama kali.
Dan ternyata yang datang pertama kali ke Ka'bah adalah Muhammad muda yang belum diangkat menjadi Nabi. Walaupun begitu, semua penduduk Makkah sudah percaya dan menyebut Muhammad sebagai Al Amin (yang bisa dipercaya)
Setelah beliau terpilih untuk menentukan siapa yang berhak menaruh Hajar Aswad, beliau menaruh batu Hajar Aswad di atas sebuah kain, kemudian mempersilahkan semua ketua Kabilah membawanya berlima dengan memegang ujung-ujung kainnya untuk meletakkannya di tempat semula.
Salah satu hikmah penting yang dapat kita petik dari cerita diatas adalah, bahwa Orang-orang kafir makkah sebelum datangnya ajaran islam sudah tahu bahwa Ka'bah adalah rumah milik Tuhan. Walaupun waktu itu mereka menyembah berhala yang berada di dalam ka'bah maupun sekitarnya.
Mereka takut membangun Ka'bah dengan uang yang haram walaupun cuma 0.00001%. karena mereka berkeyakinan bahwa membangun "rumah Tuhan" dengan menggunakan uang yang haram hanya akan mendatangkan azab dan bencana.
Walaupun "Kafir" Quraisy waktu itu belum pernah di dakwahi ajaran kebenaran yang dibawa oleh Nabi, namun mereka sangat berhati-hati mengenai masalah halal haram, Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh mayoritas umat islam di jaman sekarang, Bahkan yang sering melakukan hal ini adalah mereka yang dianggap "Alim Ulama" oleh kaumnya.
Ibarat "Bersuci dengan air yang najis", Begitulah pepatah yang mungkin sesuai dengan kenyataan yang banyak terjadi pada sebagian umat di zaman ini. Tak jarang kita jumpai di Indonesia, orang Islam yang mengaku pengikut dan cinta terhadap Nabi Muhammad terkadang membangun masjid, pesantren dan madrasah dengan hasil gratifikasi, bahkan hasil korupsi.
Ironisnya, kekayaan yang bersumber dari umat tersebut juga diwariskan sebagai harta milik pribadi, kekuasaan dan kepengurusan yang mengelolanya bersifat KKN. Akan turun temurun dan diwariskan kepada keluarga.
Yang lebih parah lagi, setelah jatuh ketangan ahli waris akhirnya harta yang sejatinya milik umat itu jadi bahan rebutan, mereka menumpuk harta kekayaan dari umat hanya untuk kekayaan keluarga beserta anak turunnya. Kemudian memproklamirkan sosok kepribadiannya sebagai seorang alim ulama' yang memiliki Pesantren, Yayasan atau Perguruan yang berhasil mencetak kader kader islami yang bisa mengangkat nama agama dan bangsa mereka.
Kita semua mungkin telah mengetahui bahwasanya salah satu syarat untuk bersuci adalah menggunakan air yang suci dan mensucikan. Namun bagaimana hukumnya bersuci dengan menggunakan air yang najis? Tentunya jawaban yang tepat adalah tidak sah dan semua anggota badan yang terkena najis akan menjadi najis juga jika belum disucikan dengan menggunakan air yang suci dan mensucikan.
Perumpamaan diatas adalah jika kita melihatnya dari sudut pandang Syariat, begitu juga jika kita lihat dari segi hakikat dan ma'rifat. Pastinya uang umat yang digunakan untuk menumpuk kekayaan pribadi maupun keluarga hanya akan membawa bencana dan azab baik di dunia maupun akhirat. Naudzu Billah Min Dzalik.
Hal ini seperti yang tertulis dalam kitab Sejarah Mekkah, bahwasanya Ibnu Ishaq berkata, “Ketika orang-orang Quraisy telah sepakat meruntuhkan Ka’bah kemudian mereka berniat untuk membangunnya kembali, berdirilah Abu Wahb bin Amr bin Aidz bin Abd bin Imran Al Makhzumi.
Ibarat Bersuci Dengan Menggunakan Air Seni |
Kemudian Abu Wahb berkata "Hai orang-orang Quraisy, untuk membangun Kabah ini kalian jangan menggunakan dana kecuali dari harta yang halal. Tidak boleh menggunakan uang hasil pelacuran, uang dari transaksi riba, dan uang yang diambil dari manusia dengan cara yang tidak adil.."
Pembangunan ka'bah pada masa sebelum diutusnya Muhammad menjadi Nabi ini disebabkan terbakarnya ka'bah karena Kiswah (Kain Penutup Ka'bah) waktu itu terbakar sehingga mengakibatkan rusaknya bagian luar serta dalam Ka'bah.
Setelah mereka bersepakat untuk membangun Ka'bah dengan menggunakan uang yang halal 100% dan ketika proses pembangunan Ka'bah telah selesai mereka bingung untuk menentukan siapa yang akan meletakkan hajar aswad.
Semua klan atau qobilah di Makkah merasa lebih mulia dari yang lain. Terjadi cekcok antar suku untuk menentukan siapa yang akan meletakkan batu yang mulia itu. Setelah itu keluarlah Ibnu Aid (Sesepuh Kota Makkah) untuk menasehati mereka perihal orang yang akan ditunjuk sebagai peletak hajar aswad.
Ibnu Aid berkata "Siapapun besok yang pertama kali datang ke Ka'bah, dialah yang akan menentukan siapa yang berhak menaruh Hajar Aswad dari pintu Babus Salam". Perkataan Ibnu Aid ini dirahasiakan oleh mereka dan di pagi itu mereka menunggu siapa yang akan datang ke Ka'bah pertama kali.
Dan ternyata yang datang pertama kali ke Ka'bah adalah Muhammad muda yang belum diangkat menjadi Nabi. Walaupun begitu, semua penduduk Makkah sudah percaya dan menyebut Muhammad sebagai Al Amin (yang bisa dipercaya)
Setelah beliau terpilih untuk menentukan siapa yang berhak menaruh Hajar Aswad, beliau menaruh batu Hajar Aswad di atas sebuah kain, kemudian mempersilahkan semua ketua Kabilah membawanya berlima dengan memegang ujung-ujung kainnya untuk meletakkannya di tempat semula.
Salah satu hikmah penting yang dapat kita petik dari cerita diatas adalah, bahwa Orang-orang kafir makkah sebelum datangnya ajaran islam sudah tahu bahwa Ka'bah adalah rumah milik Tuhan. Walaupun waktu itu mereka menyembah berhala yang berada di dalam ka'bah maupun sekitarnya.
Mereka takut membangun Ka'bah dengan uang yang haram walaupun cuma 0.00001%. karena mereka berkeyakinan bahwa membangun "rumah Tuhan" dengan menggunakan uang yang haram hanya akan mendatangkan azab dan bencana.
Walaupun "Kafir" Quraisy waktu itu belum pernah di dakwahi ajaran kebenaran yang dibawa oleh Nabi, namun mereka sangat berhati-hati mengenai masalah halal haram, Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh mayoritas umat islam di jaman sekarang, Bahkan yang sering melakukan hal ini adalah mereka yang dianggap "Alim Ulama" oleh kaumnya.
Ibarat "Bersuci dengan air yang najis", Begitulah pepatah yang mungkin sesuai dengan kenyataan yang banyak terjadi pada sebagian umat di zaman ini. Tak jarang kita jumpai di Indonesia, orang Islam yang mengaku pengikut dan cinta terhadap Nabi Muhammad terkadang membangun masjid, pesantren dan madrasah dengan hasil gratifikasi, bahkan hasil korupsi.
Ironisnya, kekayaan yang bersumber dari umat tersebut juga diwariskan sebagai harta milik pribadi, kekuasaan dan kepengurusan yang mengelolanya bersifat KKN. Akan turun temurun dan diwariskan kepada keluarga.
Yang lebih parah lagi, setelah jatuh ketangan ahli waris akhirnya harta yang sejatinya milik umat itu jadi bahan rebutan, mereka menumpuk harta kekayaan dari umat hanya untuk kekayaan keluarga beserta anak turunnya. Kemudian memproklamirkan sosok kepribadiannya sebagai seorang alim ulama' yang memiliki Pesantren, Yayasan atau Perguruan yang berhasil mencetak kader kader islami yang bisa mengangkat nama agama dan bangsa mereka.
Kita semua mungkin telah mengetahui bahwasanya salah satu syarat untuk bersuci adalah menggunakan air yang suci dan mensucikan. Namun bagaimana hukumnya bersuci dengan menggunakan air yang najis? Tentunya jawaban yang tepat adalah tidak sah dan semua anggota badan yang terkena najis akan menjadi najis juga jika belum disucikan dengan menggunakan air yang suci dan mensucikan.
Perumpamaan diatas adalah jika kita melihatnya dari sudut pandang Syariat, begitu juga jika kita lihat dari segi hakikat dan ma'rifat. Pastinya uang umat yang digunakan untuk menumpuk kekayaan pribadi maupun keluarga hanya akan membawa bencana dan azab baik di dunia maupun akhirat. Naudzu Billah Min Dzalik.