KabarMakkah.Com - Anak merupakan sumber kebahagiaan dalam hidup. Sebuah keluarga yang jauh dari suara tawa dan tangisan anak-anak, terasa sepi, mencekam dan kaku. Tidak jarang hubungan pasutri menjadi hambar, pemicunya adalah karena buah hati yang didamba tak kunjung datang menghampiri keluarga.
Selain itu, Anak adalah penyambung amal shalih setelah kepergian kita ke alam baqa. Ia merupakan tali cinta dalam sebuah keluarga. Keberadaannya di hati ini tak tergantikan oleh kekayaan dunia seberapa pun besarnya. Ia merupakan investasi paling berharga dalam hidup kita.
Namun, saudaraku..
Jika kita memiliki anak-anak yang rapuh dalam kepribadian. Berperangai buruk. Berakhlak tercela. Memiliki iman yang ringkih dan yang senada dengan itu. Maka mereka bisa menghitamkan wajah kita. Mencoreng nama baik keluarga kita. Dan tentunya bisa menjadi investasi neraka bagi kita di akhirat sana.
Untuk itu, kita perlu mendidik dan mengarahkan mereka. Agar mereka senantiasa berada di atas jalan hidayah. Menapaki tangga-tangga kebahagiaan yang hakiki serta terhindar dari jalan yang sesat dan menyimpang. Di mana tujuan akhir dari pendidikan yang kita garap adalah menyelamatkan anak-anak kita dari siksa neraka. “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka.” At tahrim: 6.
Mendidik anak tak semudah membalikan telapak tangan. Banyak pengorbanan yang harus kita keluarkan. Berkorban harta, waktu, tenaga, potensi yang kita miliki dan tak jarang kita mengorbankan perasaan kita.
Terkait dengan pendidikan anak, dalam buku “hakadza allamatnil hayaah”, sang penulis berbagi pengalamannya dengan kita. Berikut petikannya:
* sumber: Manhajuna.Com
Selain itu, Anak adalah penyambung amal shalih setelah kepergian kita ke alam baqa. Ia merupakan tali cinta dalam sebuah keluarga. Keberadaannya di hati ini tak tergantikan oleh kekayaan dunia seberapa pun besarnya. Ia merupakan investasi paling berharga dalam hidup kita.
Anak Dambaan Orangtua |
Namun, saudaraku..
Jika kita memiliki anak-anak yang rapuh dalam kepribadian. Berperangai buruk. Berakhlak tercela. Memiliki iman yang ringkih dan yang senada dengan itu. Maka mereka bisa menghitamkan wajah kita. Mencoreng nama baik keluarga kita. Dan tentunya bisa menjadi investasi neraka bagi kita di akhirat sana.
Untuk itu, kita perlu mendidik dan mengarahkan mereka. Agar mereka senantiasa berada di atas jalan hidayah. Menapaki tangga-tangga kebahagiaan yang hakiki serta terhindar dari jalan yang sesat dan menyimpang. Di mana tujuan akhir dari pendidikan yang kita garap adalah menyelamatkan anak-anak kita dari siksa neraka. “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka.” At tahrim: 6.
Mendidik anak tak semudah membalikan telapak tangan. Banyak pengorbanan yang harus kita keluarkan. Berkorban harta, waktu, tenaga, potensi yang kita miliki dan tak jarang kita mengorbankan perasaan kita.
Terkait dengan pendidikan anak, dalam buku “hakadza allamatnil hayaah”, sang penulis berbagi pengalamannya dengan kita. Berikut petikannya:
Jauhkan anak-anak kita dari teman pergaulan yang rapuh kepribadiannya seperti kita menjauhkannya dari penyakit berbahaya. Kita mulai prinsip ini dari masa kecilnya. Jika tidak, maka kita seolah-olah membiarkan anak kita terserang penyakit kronis, sehingga tiba masanya obat penawar tak lagi memberikan manfaat baginya.
Keras dalam mendidik anak, akan membawanya pada sifat durhaka. Berlebih-lebihan dalam memanjakan anak, akan menyeretnya pada perilaku menyimpang. Anak yang tumbuh dalam didikan keras dan terlalu dimanja akan melahirkan perilaku kriminal.
Anak itu seperti mahar. Jika kita memberi setiap apa yang diminta, maka ia akan tumbuh menjadi anak yang keras kepala, sulit diarahkan. Jika kita tolak semua permintaannya, maka ia akan menjadi anak yang buruk perangainya, membenci semua orang yang ada di sekitarnya. Jadilah kita orang yang bijak dalam memberi dan membatasi keinginan anak. Jangan sekali-kali kita memanjakannya berlebihan atas nama cinta, karena hal itu bisa merenggut kebahagiaan kita dan kebahagiaannya.
Banyak orang tua yang lebih menyukai anak laki-laki daripada anak perempuan. Padahal pengalaman mengajarkan; anak perempuan lebih banyak mendatangkan kebahagiaan daripada anak laki-laki.
Biasakan anak-anak kita hidup mandiri walaupun kita hidup dalam kecukupan. Dan jika ia telah mampu membuka kran-kran rezki, tanpa diimbangi dengan semangat menuntut ilmu pengetahuan, waspadalah! Jika kita tetap memanjakannya dengan memberinya makan di meja makan kita. Atau memberinya tempat tinggal di rumah kita. Atau memenuhi kebutuhannya dari saku kita. Maka berarti kita telah membunuh ruh perjuangannya dalam menjalani kehidupan. Pengalaman hidup telah membuktikan hal itu.
Seorang anak yang putus asa karena tak mendapatkan curahan kasih sayang orang tua, maka ia akan tumbuh menjadi anak durhaka. Tapi jika ia terlalu kenyang mendapat curahan kasih sayang, maka ia akan tumbuh menjadi anak pemalas. Sebaik-baik orang tua adalah orang yang tak menghalangi anak keturunannya mendapat kasih sayangnya dan tidak pula menjadikan anak bersandar pada kebaikan orang tua (tak mandiri).
Teramat keras dalam mendidik anak, maka ia akan memutus tali hubungan dengan kita. Terlalu lemah dalam mendidik (memanjakannya berlebihan), berarti kita telah memutuskan tali-nya dari kita. Hendaknya kita bijak dalam mendidiknya (di antara keduanya), karena jika tidak maka akan terlepaslah tali kekang itu dari tangan kita.
Membiasakan anak untuk merasakan beban tanggung jawab dalam menjalani hidup, maka hal itu lebih baik daripada kita membiarkannya tenggelam dalam kenikmatan hidup, bertumpu pada orang tua.
Jangan sampai kita meninggalkan harta kekayaan kita kepada anak-anak yang rusak akhlaknya. Karena sesungguhnya mereka akan menghabiskan harta kita dalam sehari, padahal kita telah mengumpulkannya bertahun-tahun lamanya. Lalu mereka mencoreng nama baik kita, melukai kemuliaan keluarga kita serta memberatkan urusan kita kepada Zat yang Maha cepat hisab-Nya.
Anak yang sholih akan selalu mendo’akan kebaikan buat kita. Karenanya manusia akan mengenang kebaikan kita lantaran kita mampu mendidiknya. Setelah kita menghadap-Nya, maka anak-lah yang akan menyambung kebaikan untuk kita atau sebaliknya menghadirkan keburukan untuk kita. Anak-anak adalah bagian dari hati kita. Apakah kita ingin hal yang buruk menggerogoti hati kita, yang menyebabkan hati kita sakit dan terluka? Atau kita menginginkan hati kita selalu sehat wal afiat?
Sekiranya setiap orang tua (baca; ayah) mengkhususkan waktu tertentu dalam setiap hari untuk menemani anaknya, tentulah para orang tua tidak banyak merasa lelah dalam mendidik anak-anaknya.
Orang tua yang tak memiliki pengetahuan, merasa senang dengan tampilan lahir anaknya yang tampan atau cantik. Meskipun akhlaknya kurang terpuji. Sedangkan orang tua yang cerdas, gembira dengan keindahan akhlak anaknya, walaupun anaknya tak memiliki ketampanan wajah atau berparas menarik.
Orang tua yang besar adalah orang yang berusaha sekuat tenaga menjadikan anaknya lebih besar darinya. Orang tua yang cerdas berupaya menjadikan anaknya seperti dirinya. Tidak terbayang, jika ada orang tua yang menginginkan anaknya lebih kecil darinya.
Orang tua akan berbahagia dengan kelahiran anaknya. Namun kebahagiaan itu sirna manakala menyaksikan anaknya tumbuh menjadi anak yang berperangai kurang terpuji. Siapa yang mampu menyandingkan dua kebahagiaan yakni; kelahiran dan pertumbuhan anak shalih, maka ia seolah-olah telah meraih kebahagiaan dengan dua kelahiran sekaligus.
Saat kita meninggalkan anak yang shalih, maka kita seperti terlahir kembali setelah kita wafat. Sebaliknya saat kita meninggalkan anak yang rapuh kepribadiannya, maka seolah-olah kita meninggal dunia dua kali.
Orang tua tidak akan pernah lupa, beratnya mendidik anaknya, terkecuali jika ia melihat anaknya berbakti dan istiqamah di atas jalan ketaatan. Dan orang tua tak akan pernah dihinggapi penyesalan atas kelahiran anak dan kesusahannya dalam mendidiknya, terkecuali jika ia menyaksikan anaknya durhaka dan menyimpang dari jalan yang lurus.
Medan perjuangan orang tua adalah medan pendidikan anak. Karena mendidik anak lebih sulit daripada jihadnya para pahlawan di medan perang.
Salah satu kendala orang tua dalam mendidik anak adalah usia yang telah uzur sementara anak-anak masih belia. Maka bersegeralah kita menikah di usia dini, mengakhiri masa lajang setelah kita berstatus mampu.
Kepada Allah kita mengadu, dengan kesungguhan yang telah kita kerahkan dalam mendidik anak-anak kita di rumah. Kita titipkan mereka kepada Allah, agar Dia menjaga mereka di madrasah dan lingkungan tempat mereka bergaul.
Anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Di antara fitrahnya adalah bahwa ia suka meniru hal-hal yang dilihatnya. Dan yang paling disukainya adalah ia bisa meniru perilaku ayah dan ibunya. Bukankah ia senantiasa memperhatikan kita saat berdekatan dengan kita atau ibunya? Bukankah ia senantiasa memperhatikan kita bagaimana kita berinteraksi dengan dia dan manusia di sekeliling kita?
Siapa yang membawa keburukan ke dalam rumahnya, berarti ia telah mengundang anak dan istrinya berpartisipasi dalam keburukan tersebut, meskipun ia beranggapan bahwa ia telah menghilangkan jejaknya itu dari mereka.
Pernah terjadi dialog antara seorang ayah dan anaknya yang sama-sama buruk perangainya. Sang ayah berkata kepada anaknya, “Tidakkah kamu malu denganku? Kamu berlaku buruk kepadaku padahal aku telah mendidikmu?.” Sang anak menjawab, “Seharusnya engkau lebih malu kepada Tuhan-mu. Engkau telah berbuat buruk terhadap-Nya padahal Dia telah menciptakanmu dan mengucurkan berbagai nikmat kepadamu.” Ayahnya berkata, “Akan tetapi Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Sang anak berkata, “Seharusnya, itu yang aku dapatkan darimu. Engkau memaafkan kesalahanku dan menyayangiku.” Sang ayah berkata, “Namun, rahmat Allah akan memasukkan aku ke dalam surga, sedangkan rahmatku untukmu akan memasukkanmu ke dalam neraka.” Sang anak berkata, “Sekiranya engkau memperhatikan pendidikanku sejak kecil, tentulah aku mencukupkan rahmat-Nya untukku dan tak membutuhkan rahmatmu.” Sang ayah berkata, “Maukah kamu mentaatiku?.” Sang anak berkata, “Mustahil! Sebelum engkau kembali mentaati Allah Swt.” Sang ayah berkata, “Bukankah kamu tidak menghormatiku selaku orang tua di hadapan manusia?.” Sang anak berkata, “Kedua tanganmu berbisa dan mulutmu berbusa.”
Seorang anak sejak lahir membawa tabiat tertentu. Kedua orang tua tak mampu merubah tabiat pada anaknya. Hanya saja keduanya mampu untuk memperhalusnya. Adapun akhlak budi pekerti anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan pendidikannya. Dari sini, hendaknya orang tua menjalankan perannya yang vital untuk membahagiakannya atau sebaliknya malah menyengsarakannya.
Anak laki-laki lebih banyak terwarnai ayahnya. Sedangkan anak perempuan banyak dipengaruhi ibunya. Para ibu yang tak terdidik akan mendidik anak-anak perempuannya dengan jalan; melontarkan celaan dan memberikan kutukan kematian dan kebinasaan. Para ayah yang sempit pengetahuannya, mendidik anak laki-laki mereka dengan cara memukul dan merendahkannya.
* sumber: Manhajuna.Com