KabarMakkah.Com - Pemerintah Arab Saudi berulang kali mengkritik betapa buruknya pemerintah Indonesia dalam menyeleksi jemaah haji warganya, sehingga mereka membuat pernyataan yang cukup tajam agar pemerintah indonesia lebih selektif dalam memberangkatkan jemaah haji ke tanah suci mengingat haji tidak hanya soal kemampuan finansial ibadah, tetapi juga kesehatan dalam melaksanakannya. Kemudian bagaimana dengan negara lain, seperti Malaysia dan Turki?
"Malaysia dan Turki hampir rata-rata sudah menjalankan konsep istitho'ah (kemampuan ibadah dan kesehatan). Mereka sangat selektif sekali," kata Kepala Bidang Kesehatan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji di Arab Saudi, dokter Fidiansyah di Balai Pengobatan Haji Indonesia Daerah Kerja Jeddah, baru-baru ini.
Dalam studi banding yang dilakukan terhadap dua negara itu, Turki lah yang paling selektif menyeleksi jemaah haji dengan gangguan jiwa. Misalnya, pikun.
Negara ini memberi gambaran jemaah haji yang tidak istitho'ah tidak akan diberangkatkan. Namun keputusan itu merupakan kesepakatan antara pemerintah, mejelis ulama dan profesi kedokteran, sehingga saat pelaksanaan di lapangan tidak terjadi kebingungan.
"Kita yang masih bingung di lapangan, dokter mau larang kadang berhadapan dengan parang. Jemaah maunya berangkat dan tidak mau tahu, kalau pun meninggal maunya di tanah suci. Di satu sisi, kadang ada oknum yang tidak semua setuju. Ada yang bilang tidak apa-apa mau meninggal di sana (tanah suci) tidak dilarang," ujar Fidiansyah.
Untuk pelaksanaan haji di tahun mendatang, Fidiansyah berharap ada Surat Keputusan Bersama antara Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan yang didukung Majelis Ulama Indonesia.
"Meski tidak dalam bentuk fatwa, kita berharap ada SKB itu, sehingga ada dasar bagi Kementerian Agama meneruskan ke Kanwil di daerah dan KUA. Syukur-syukur MUI mengeluarkan fatwa, sehingga putusan jadi kuat sekali," kata Fidi.
SKB itu diharapkan memperkuat rambu-rambu bagi petugas di lapangan, sehingga tidak bingung ketika memutuskan seorang jemaah dianggap istitho'ah atau tidak.
Fidiansyah juga menjelaskan, baik Malaysia maupun Turki melakukan bimbingan dan pembinaan terhadap jemaahnya selama satu tahun sebelum keberangkatan ke tanah suci. Dia berharap Kementerian Agama juga melakukan hal serupa, membimbing jemaah tanpa menunggu keputusan DPR tentang komponen biaya dan pelunasan oleh jemaah.
"Bina saja dulu. Di Malaysia sangat ketat, ada lulus tidak lulus seperti sekolah. Yang tidak lulus tidak akan diberangkatkan, diminta belajar lagi sampai memahami betul baik manasik ibadah maupun kesehatan," kata dia.
Dengan begitu, jemaah haji menjadi lebih mandiri dan dalam pelaksanaannya mereka tidak didampingi dokter maupun petugas kloter haji. Dokter hanya untuk memperkuat tempat perawatan semacam BPHI dan sektor.
"Kalau kita, dokter dan perawat yang mendampingi jemaah tidak proporsional. Satu dokter dan dua perawat melayani 400 jemaah, sehingga nggak bisa kerja optimal. Lebih bagus dimandirikan jemaahnya. Ketika jemaah (Malaysia) butuh dokter, ada sektor dan bahkan spesialis. Ini paradigma baru, kita belajar banyak dari mereka," katanya.
Turki juga demikian, tidak memiliki dokter kloter, dan memilih memperkuat dokter dan perawat di sektor. Bahkan karena jaraknya tidak terlalu jauh dengan Arab Saudi, negara ini membawa ambulans sendiri melalui jalur darat. "Bahkan tahun ini ada jemaahnya yang dipulangkan sebelum wukuf karena pikun berat sehingga tidak bisa mengurus diri sendiri dan merepotkan temannya," kata dia.
Saat pelaksanaan wukuf pada 3 Oktober lalu, Indonesia baru bisa membadalkan jemaah haji yang pikun untuk pertama kalinya karena ada petugas yang tidak berhaji sehingga bisa menjaga mereka di BPHI. Menurut Fidiansyah, ada sekitar 50 jemaah yang terdiagnosa pikun. Namun tidak semuanya dibadalkan, tergantung derajat kepikunannya.
Sebab derajat pikun ada yang sifatnya situasional. Misalnya, di tanah air jemaah yang bersangkutan tidak pikun, namun ketika sampai di suatu wilayah yang asing baginya, dia menjadi disorientasi. "Kaget, syok, tidak kenal diri dan lingkungannya. Jadi jangan aneh kalau melihat orang pikun lebih nyaman di lingkungannya karena dia telah terbiasa. Yang di tanah air tidak berat, di sini jadi berat," kata dia.
Di Malaysia, Fidiansyah menambahkan, juga dilakukan tes kewarasan sebelum jemaah diberangkatkan. Indonesia dalam pelaksanaan haji tahun mendatang juga akan menerapkan tes kepikunan. Jika derajatnya dianggap berat, maka Kemenkes akan membicarakan dengan pihak keluarga kemungkinan calon haji ini dibadalkan.
"Dulu pernah dicoba pada kelompok risti yang masih dalam konteks fisik bagus, didampingi juga oleh satuan kesehatan yang betul-betul lengkap. Tetapi berangkat tidak lama. Mereka diberangkatkan di akhir keberangkatan dan dipulangkan awal. Tidak lama-lama setelah wukuf dipulangin lagi. Namun ini harus ada kerjasama khusus dengan Kemenag yang punya aturan kuota," dia membeberkan.
Istitho'ah kesehatan, ujar dia, berdampak pada angka kematian yang rendah di dua negara ini. Angka kematian jemaah di Indonesia masih tinggi karena proses keberangkatan tidak terlalu selektif. Hingga Senin 27 Oktober 2014, jemaah wafat baik reguler maupun khusus tercatat 274 orang. baca: Daftar Nama Jamaah Haji Yang Wafat Di Tanah Suci
"Sebetulnya prestasi kita lebih bagus. Ini tidak diseleksi dan jemaah kita lebih banyak, apalagi kalau diseleksi, ikhtiar angka kematian bisa ditekan akan lebih bagus lagi," kata Fidi.
Belajar dari dua negara ini, dalam ibadah haji tahun mendatang, Fidiansyah berjanji akan melakukan perubahan dalam penataan kloter dan tenaga kesehatan yang menetap di tiga wilayah kerja, Mekah, Madinah dan Jeddah, sehingga kebutuhan tenaga kesehatan benar-benar proporsional. "Mereka belajar dari kita, kita juga belajar dari mereka," katanya.
sumber: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/552209-cara-malaysia-dan-turki-menyeleksi-warganya-berhaji
"Malaysia dan Turki hampir rata-rata sudah menjalankan konsep istitho'ah (kemampuan ibadah dan kesehatan). Mereka sangat selektif sekali," kata Kepala Bidang Kesehatan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji di Arab Saudi, dokter Fidiansyah di Balai Pengobatan Haji Indonesia Daerah Kerja Jeddah, baru-baru ini.
Dalam studi banding yang dilakukan terhadap dua negara itu, Turki lah yang paling selektif menyeleksi jemaah haji dengan gangguan jiwa. Misalnya, pikun.
Jamaah Haji Indonesia Yang Sakit Dirawat Di RS Mekkah |
Negara ini memberi gambaran jemaah haji yang tidak istitho'ah tidak akan diberangkatkan. Namun keputusan itu merupakan kesepakatan antara pemerintah, mejelis ulama dan profesi kedokteran, sehingga saat pelaksanaan di lapangan tidak terjadi kebingungan.
"Kita yang masih bingung di lapangan, dokter mau larang kadang berhadapan dengan parang. Jemaah maunya berangkat dan tidak mau tahu, kalau pun meninggal maunya di tanah suci. Di satu sisi, kadang ada oknum yang tidak semua setuju. Ada yang bilang tidak apa-apa mau meninggal di sana (tanah suci) tidak dilarang," ujar Fidiansyah.
Untuk pelaksanaan haji di tahun mendatang, Fidiansyah berharap ada Surat Keputusan Bersama antara Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan yang didukung Majelis Ulama Indonesia.
"Meski tidak dalam bentuk fatwa, kita berharap ada SKB itu, sehingga ada dasar bagi Kementerian Agama meneruskan ke Kanwil di daerah dan KUA. Syukur-syukur MUI mengeluarkan fatwa, sehingga putusan jadi kuat sekali," kata Fidi.
SKB itu diharapkan memperkuat rambu-rambu bagi petugas di lapangan, sehingga tidak bingung ketika memutuskan seorang jemaah dianggap istitho'ah atau tidak.
Fidiansyah juga menjelaskan, baik Malaysia maupun Turki melakukan bimbingan dan pembinaan terhadap jemaahnya selama satu tahun sebelum keberangkatan ke tanah suci. Dia berharap Kementerian Agama juga melakukan hal serupa, membimbing jemaah tanpa menunggu keputusan DPR tentang komponen biaya dan pelunasan oleh jemaah.
"Bina saja dulu. Di Malaysia sangat ketat, ada lulus tidak lulus seperti sekolah. Yang tidak lulus tidak akan diberangkatkan, diminta belajar lagi sampai memahami betul baik manasik ibadah maupun kesehatan," kata dia.
Dengan begitu, jemaah haji menjadi lebih mandiri dan dalam pelaksanaannya mereka tidak didampingi dokter maupun petugas kloter haji. Dokter hanya untuk memperkuat tempat perawatan semacam BPHI dan sektor.
"Kalau kita, dokter dan perawat yang mendampingi jemaah tidak proporsional. Satu dokter dan dua perawat melayani 400 jemaah, sehingga nggak bisa kerja optimal. Lebih bagus dimandirikan jemaahnya. Ketika jemaah (Malaysia) butuh dokter, ada sektor dan bahkan spesialis. Ini paradigma baru, kita belajar banyak dari mereka," katanya.
Turki juga demikian, tidak memiliki dokter kloter, dan memilih memperkuat dokter dan perawat di sektor. Bahkan karena jaraknya tidak terlalu jauh dengan Arab Saudi, negara ini membawa ambulans sendiri melalui jalur darat. "Bahkan tahun ini ada jemaahnya yang dipulangkan sebelum wukuf karena pikun berat sehingga tidak bisa mengurus diri sendiri dan merepotkan temannya," kata dia.
Saat pelaksanaan wukuf pada 3 Oktober lalu, Indonesia baru bisa membadalkan jemaah haji yang pikun untuk pertama kalinya karena ada petugas yang tidak berhaji sehingga bisa menjaga mereka di BPHI. Menurut Fidiansyah, ada sekitar 50 jemaah yang terdiagnosa pikun. Namun tidak semuanya dibadalkan, tergantung derajat kepikunannya.
Sebab derajat pikun ada yang sifatnya situasional. Misalnya, di tanah air jemaah yang bersangkutan tidak pikun, namun ketika sampai di suatu wilayah yang asing baginya, dia menjadi disorientasi. "Kaget, syok, tidak kenal diri dan lingkungannya. Jadi jangan aneh kalau melihat orang pikun lebih nyaman di lingkungannya karena dia telah terbiasa. Yang di tanah air tidak berat, di sini jadi berat," kata dia.
Di Malaysia, Fidiansyah menambahkan, juga dilakukan tes kewarasan sebelum jemaah diberangkatkan. Indonesia dalam pelaksanaan haji tahun mendatang juga akan menerapkan tes kepikunan. Jika derajatnya dianggap berat, maka Kemenkes akan membicarakan dengan pihak keluarga kemungkinan calon haji ini dibadalkan.
"Dulu pernah dicoba pada kelompok risti yang masih dalam konteks fisik bagus, didampingi juga oleh satuan kesehatan yang betul-betul lengkap. Tetapi berangkat tidak lama. Mereka diberangkatkan di akhir keberangkatan dan dipulangkan awal. Tidak lama-lama setelah wukuf dipulangin lagi. Namun ini harus ada kerjasama khusus dengan Kemenag yang punya aturan kuota," dia membeberkan.
Istitho'ah kesehatan, ujar dia, berdampak pada angka kematian yang rendah di dua negara ini. Angka kematian jemaah di Indonesia masih tinggi karena proses keberangkatan tidak terlalu selektif. Hingga Senin 27 Oktober 2014, jemaah wafat baik reguler maupun khusus tercatat 274 orang. baca: Daftar Nama Jamaah Haji Yang Wafat Di Tanah Suci
"Sebetulnya prestasi kita lebih bagus. Ini tidak diseleksi dan jemaah kita lebih banyak, apalagi kalau diseleksi, ikhtiar angka kematian bisa ditekan akan lebih bagus lagi," kata Fidi.
Belajar dari dua negara ini, dalam ibadah haji tahun mendatang, Fidiansyah berjanji akan melakukan perubahan dalam penataan kloter dan tenaga kesehatan yang menetap di tiga wilayah kerja, Mekah, Madinah dan Jeddah, sehingga kebutuhan tenaga kesehatan benar-benar proporsional. "Mereka belajar dari kita, kita juga belajar dari mereka," katanya.
sumber: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/552209-cara-malaysia-dan-turki-menyeleksi-warganya-berhaji