Bahwa Pemerintah Indonesia menempatkan para petugas haji di sekitar Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Mekah, telah kubaca beritanya sejak aku masih berada di Tanah Air, sebelum keberangkatan kami (aku dan suami) ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji.
Seperti apa atribut yang mereka gunakan (rompi hitam bertuliskan ‘petugas haji Indonesia’ di punggung), juga telah kudapatkan informasinya.
Di hari kedua kami berada di Madinah, saat itulah aku pertama kali melihat keberadaan mereka. Di tempat yang sebelumnya aku tak tahu bahwa mereka ada.
Kupikir tadinya mereka ditempatkan di bagian luar Masjid Nabawi, tapi kutemukan mereka di sekitar Raudhah, area yang terletak di antara rumah Rasulullah, Nabi Muhammad saw, dengan mimbarnya, di bagian Masjid Nabawi yang asli yang dibangun oleh Rasulullah.
Area Raudhah yang kini ditandai dengan karpet berwarna hijau itu tak pernah sepi pengunjung. Banyak jamaah yang berkunjung ke masjid Nabawi juga ingin berkunjung ke sini, menyampaikan salam bagi Rasulullah dan para sahabatnya, serta shalat dan berdoa di situ.
Sebab Raudhah adalah tempat di mana doa-doa yg dilantunkan di sana dijanjikan akan terkabul.
Kulihat untuk pertama kalinya petugas haji tersebut saat kami mengantri menjelang masuk ke Raudhah.
Jadwal masuk ke Raudhah biasanya dibuat berdasarkan pengelompokan per negara. Kami sedang mengantri dengan banyak jamaah haji Indonesia lain ketika itu saat kulihat seseorang berompi hitam dengan tulisan ‘petugas haji Indonesia’ memberikan keterangan pada sekelompok orang yang duduk tak jauh dari tempatnya duduk.
Inti pesan yang diberikan adalah agar para jamaah menjaga barang bawaannya masing-masing. Sering terjadi, katanya, jamaah menaruh tasnya di lantai, di samping atau depannya, dan tas itu raib diambil orang saat pemiliknya sedang bersujud shalat dan berdoa.
Keterangan itu sejalan dengan apa yang pernah kubaca di sebuah artikel. Maka aku sendiri membawa tas bertali panjang yang kuselempangkan menyilang di badan dan posisi tas itu tetap begitu saat shalat, tak kuletakkan di lantai.
Lalu, giliran kami untuk masuk tiba. Alhamdulillah, rejeki kami bagus dan kemudahan menghampiri kami. Kami tak mengantri lama dan..mendapat tempat lapang persis di depan mimbar di Raudhah.
Kuperhatikan teman serombonganku rata-rata mendapat tempat cukup lapang untuk bisa bersujud, artinya, bisa melaksanakan shalat. Sebab adakalanya tempat itu begitu sempit sehingga orang hanya bisa berdiri berdoa, tak bisa shalat sebab tak ada ruang cukup untuk bersujud.
Kusyukuri keadaan itu.
Sebab sejak awal, kuniatkan untuk tak memaksakan diri. Jika kondisi tak memungkinkan, aku bahkan sudah ikhlas jika tak bisa masuk Raudhah sama sekali.
Sebab saat melaksanakan umrah saja, kulihat kondisi kepadatan Raudhah. Apalagi musim haji begini ketika jutaan orang bersamaan tumplek-blek berada di Masjid Nabawi, pikirku.
Tapi begitulah. Rejeki memang tidak kemana. Ketika hati justru sudah dipersiapkan untuk gagal memasuki Raudhah atau bisa masuk tapi mengantri lamaaaaaaa sekali atau juga hanya bisa melintas cepat membaca doa singkat di sana tanpa sempat shalat, ternyata bukan itu yang terjadi.
Aku bahkan baru membaca sedikit buku doa dan dzikir yang kubawa dan kubaca saat mengantri, saat kami diijinkan masuk. Tampak di dalam Raudhah penuh padat, di belakang kami di luar tampak rombongan dari negara lain yang terkenal dengan fisik yang tinggi besar dan kekar serta konon tidak sabaran, sedang mengantri.
Konon, tidak sabar itu. Sebab walau sering kudengar ceritanya, tapi aku sendiri belum pernah menemui hal serupa itu. Sejak di airport, maupun di masjid, sikap mereka yang terlihat olehku malah baik- baik saja.
Dan apa yang menjadi kehandakNya terjadilah.
Tak perduli kami saksikan begitu padatnya area Raudhah, mayoritas dari rombongan kami segera bisa mendapat tempat lapang, walau kulihat juga satu dua orang harus wira-wiri mencari tempat.
Kumulai shalatku dengan shalat sunat mutlak dua rakaat. Aku shalat tanpa terganggu atau tersenggol sama sekali.
Kuingat apa yang dipesankan oleh mutawif setempat yang mengantar kami: jika kondisi masih memungkinkan silahkan ditambah shalatnya atau teruskan dengan berdoa.
Kusambung shalat mutlak itu dengan doa-doa. Lalu sebab kondisi masih lapang, belum ada aba-aba untuk bergerak keluar, kulanjutkan dengan shalat taubat dua rakaat. Lalu shalat hajat dua rakaat. Disambung dengan shalat hajat lagi dua rakaat.
Membanjir air mataku ketika itu. Mensyukuri begitu banyak karunia dan kemudahan serta rejeki yang dilimpahkan Yang Kuasa. Juga kupanjatkan doa, permohonan dan harapan bagi para sahabat, kerabat dan keluarga kami.
Kemudian kudengar suara mutawif yang mengantar kami: ibu-ibu, sudah cukup, mari keluar.
Maka kusudahi shalat dan doaku. Aku lalu berdiri dan berjalan ke arah luar, bersamaan dengan beberapa teman serombongan yang melakukan hal serupa.
Dan saat itulah hal yang tak perlu terjadi dan tak diharapkan ternyata terjadi.
Seorang Petugas Haji Indonesia berompi hitam masuk menghampiri dan tiba-tiba membentak- bentak dengan suara keras.
Dia tak menujukan itu pada satu orang tertentu tapi secara umum.
Kebetulan petugas haji indonesia itu berdiri tak jauh dari aku yang sedang bergerak berjalan keluar.
Teriakan dalam nada tinggi itu begitu keras dan kasar tertangkap telingaku. Membuatku yang sedang berjalan menghentikan langkahku. Sedetik, dua detik, memperhatikan.petugas haji itu.
” Keluar.. keluar !!!!! ” bentakan itu begitu keras terdengar.
Bagiku terdengar seperti seseorang yang sedang mengusir orang lain yang tak berhak berada di sana.
Aku agak heran sebab petugas itu masuk dari arah pintu keluar dan bicara seperti itu di tengah-tengah deretan orang yang justru sedang bergerak keluar.
“Keluarrrr !” lagi-lagi dia berteriak.
Disambung dengan “Keluar! Ngapain sih pada lama-lama di situ!”
Hah?! Aku makin tercengang. Raudhah itu tempat yang diutamakan..tempat di mana orang rela antri untuk bisa masuk ke dalamnya. Maka kalimat ‘ngapain pada lama-lama disitu menjadi absurd terdengar.
Sudah jelas orang datang ke Raudhah itu untuk shalat dan berdoa bukan? Koq ditanya ‘ngapain’ ?
Dan..berlama-lama?
Sepengetahuan aku, orang dimasukkan ke Raudah secara bergiliran per kelompok. Kelompok yang masuk itu secara rata-rata akan mendapat waktu sekitar 10 menit sebelum diminta untuk bergeser keluar.
Dan aku yakin, di kisaran waktu itulah kami berada.
Petugas tersebut tiba-tiba berteriak lagi dalam nada tinggi, ” Sudah dibilang juga, shalat dua rakaat saja lalu keluar ! “
Ealaaahhhhhhh…
Memangnya kapan dia katakan pada kami hal tersebut? Orang-orang yang sedang bergerak keluar itu kebanyakan berada di dekatku sejak kami mengantri di luar Raudhah. Dan tak ada seorang petugas haji Indonesiapun yang datang bicara pada kami bahwa kami hanya boleh shalat dua rakaat lalu harus keluar.
Satu-satunya petugas haji Indonesia yang kulihat sejak di luar tadi hanya petugas yang mengingatkan agar berhati -hati dengan barang bawaan, tidak ada yang lain.
“Keluar ! ” petugas haji itu membentak lagi.
Cukup sudah.
Kudekati dia, kutatap mukanya. Kukatakan padanya, ” Bisa bicara baik-baik? Tidak usah pakai marah-marah begitu dong ! “
Dia rupanya tak mengira akan dihampiri dan ditanggapi seperti itu. Reaksinya spontan, ” Saya tidak marah !!!”
Lho, bahkan menjawabpun nadanya membentak.
Benar sih..mungkin dia ‘tidak marah’. Sebab menurut ukuranku, kata-kata yang dia gunakan, nada tinggi yang jelas terdengar, itu bukan marah lagi namanya tapi “marah besar” alias marah sekali.
“Nanti kalau keinjak- injak orang ****** gimana..makanya keluar ! ” (dia menyebutkan nama negara-negara yang sedang antri diluar, menanti masuk setelah giliran kami)
Duh, sudahlah, pikirku. Petugas ini sudah bicara keluar konteks. Sebab bahkan hingga kami menuju keluar saat itu sekalipun, kelihatannya rombongan orang dari negara-negara yang disebutkannya itu belum mendapat giliran masuk Raudhah. Artinya kami justru sudah akan keluar lebih dulu daripada orang-orang yang disebutkannya itu masuk.
Kutinggalkan saja petugas itu.
Sampai saat ini, tak bisa kupahami sikap petugas haji yang kemarin mengusir-usir jamaah untuk keluar dari Raudhah dengan bentakan-bentakan bernada tinggi itu.
Apa sebenarnya yang ada di benaknya ya?
Setahu aku, petugas haji disediakan oleh Pemerintah Indonesia untuk membantu jamaah haji Indonesia selama berada di Tanah Suci. Dan jelas menurut pendapatku, membantu itu tidak bisa diwujudkan dalam bentuk bentakan-bentakan kasar bernada tinggi atau kalimat tudingan semacam “sudah dikasih tahu juga…dst dsb” seperti yang diucapkan — juga dengan suara tinggi dan nada keras — oleh petugas haji Indonesia itu.
Tidak bisakah dia bersikap lebih lemah lembut? Bicara baik-baik dengan nada yang terjaga?
Lupakah dia bahwa Islam mengajarkan kelembutan?
Dan sikap arogan serta defensif itu…ketika diingatkan untuk bicara baik-baik tanpa marah-marah malah mengatakan dia tidak marah lalu mengancam dan menakut-nakuti akan terinjak-injak jamaah negara lain.
Selayaknya dia kan bisa memilih kata-kata yang lebih enak didengar. Katakan saja waktu sudah habis, sudah waktunya keluar sebab sebentar lagi rombongan dari negara lain akan masuk.
Kecuali jika ada yang luar biasa membandel atau dalam keadaan darurat yang sangat mendesak, bolehlah suara dikeraskan. Tapi bukan seperti kemarin, yang nggak ujan nggak angin tiba-tiba muncul marah-marah tanpa juntrungan tanpa pula jelas sebab musababnya.
Barangkali tahun depan, saat menyeleksi petugas haji, perlu dilakukan simulasi beberapa kondisi tertentu dan dilihat reaksi para calon petugas itu. Lalu pilihlah orang-orang yang tegas tapi tenang. Bukan yang suka marah-marah dan merusak suasana yang sebetulnya justru bisa dan sedang tenang…
Sumber: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/09/19/masukan-untuk-petugas-haji-indonesia-laporan-langsung-dari-madinah-679812.html
Seperti apa atribut yang mereka gunakan (rompi hitam bertuliskan ‘petugas haji Indonesia’ di punggung), juga telah kudapatkan informasinya.
Di hari kedua kami berada di Madinah, saat itulah aku pertama kali melihat keberadaan mereka. Di tempat yang sebelumnya aku tak tahu bahwa mereka ada.
Kupikir tadinya mereka ditempatkan di bagian luar Masjid Nabawi, tapi kutemukan mereka di sekitar Raudhah, area yang terletak di antara rumah Rasulullah, Nabi Muhammad saw, dengan mimbarnya, di bagian Masjid Nabawi yang asli yang dibangun oleh Rasulullah.
menunggu antrian di roudhoh |
Area Raudhah yang kini ditandai dengan karpet berwarna hijau itu tak pernah sepi pengunjung. Banyak jamaah yang berkunjung ke masjid Nabawi juga ingin berkunjung ke sini, menyampaikan salam bagi Rasulullah dan para sahabatnya, serta shalat dan berdoa di situ.
Sebab Raudhah adalah tempat di mana doa-doa yg dilantunkan di sana dijanjikan akan terkabul.
Kulihat untuk pertama kalinya petugas haji tersebut saat kami mengantri menjelang masuk ke Raudhah.
Baca Juga: Segini Luasnya Ukuran Rumah Nabi
Jadwal masuk ke Raudhah biasanya dibuat berdasarkan pengelompokan per negara. Kami sedang mengantri dengan banyak jamaah haji Indonesia lain ketika itu saat kulihat seseorang berompi hitam dengan tulisan ‘petugas haji Indonesia’ memberikan keterangan pada sekelompok orang yang duduk tak jauh dari tempatnya duduk.
Inti pesan yang diberikan adalah agar para jamaah menjaga barang bawaannya masing-masing. Sering terjadi, katanya, jamaah menaruh tasnya di lantai, di samping atau depannya, dan tas itu raib diambil orang saat pemiliknya sedang bersujud shalat dan berdoa.
Keterangan itu sejalan dengan apa yang pernah kubaca di sebuah artikel. Maka aku sendiri membawa tas bertali panjang yang kuselempangkan menyilang di badan dan posisi tas itu tetap begitu saat shalat, tak kuletakkan di lantai.
Lalu, giliran kami untuk masuk tiba. Alhamdulillah, rejeki kami bagus dan kemudahan menghampiri kami. Kami tak mengantri lama dan..mendapat tempat lapang persis di depan mimbar di Raudhah.
Kuperhatikan teman serombonganku rata-rata mendapat tempat cukup lapang untuk bisa bersujud, artinya, bisa melaksanakan shalat. Sebab adakalanya tempat itu begitu sempit sehingga orang hanya bisa berdiri berdoa, tak bisa shalat sebab tak ada ruang cukup untuk bersujud.
Kusyukuri keadaan itu.
Sebab sejak awal, kuniatkan untuk tak memaksakan diri. Jika kondisi tak memungkinkan, aku bahkan sudah ikhlas jika tak bisa masuk Raudhah sama sekali.
Sebab saat melaksanakan umrah saja, kulihat kondisi kepadatan Raudhah. Apalagi musim haji begini ketika jutaan orang bersamaan tumplek-blek berada di Masjid Nabawi, pikirku.
Tapi begitulah. Rejeki memang tidak kemana. Ketika hati justru sudah dipersiapkan untuk gagal memasuki Raudhah atau bisa masuk tapi mengantri lamaaaaaaa sekali atau juga hanya bisa melintas cepat membaca doa singkat di sana tanpa sempat shalat, ternyata bukan itu yang terjadi.
Aku bahkan baru membaca sedikit buku doa dan dzikir yang kubawa dan kubaca saat mengantri, saat kami diijinkan masuk. Tampak di dalam Raudhah penuh padat, di belakang kami di luar tampak rombongan dari negara lain yang terkenal dengan fisik yang tinggi besar dan kekar serta konon tidak sabaran, sedang mengantri.
Konon, tidak sabar itu. Sebab walau sering kudengar ceritanya, tapi aku sendiri belum pernah menemui hal serupa itu. Sejak di airport, maupun di masjid, sikap mereka yang terlihat olehku malah baik- baik saja.
Dan apa yang menjadi kehandakNya terjadilah.
Tak perduli kami saksikan begitu padatnya area Raudhah, mayoritas dari rombongan kami segera bisa mendapat tempat lapang, walau kulihat juga satu dua orang harus wira-wiri mencari tempat.
Kumulai shalatku dengan shalat sunat mutlak dua rakaat. Aku shalat tanpa terganggu atau tersenggol sama sekali.
Kuingat apa yang dipesankan oleh mutawif setempat yang mengantar kami: jika kondisi masih memungkinkan silahkan ditambah shalatnya atau teruskan dengan berdoa.
Kusambung shalat mutlak itu dengan doa-doa. Lalu sebab kondisi masih lapang, belum ada aba-aba untuk bergerak keluar, kulanjutkan dengan shalat taubat dua rakaat. Lalu shalat hajat dua rakaat. Disambung dengan shalat hajat lagi dua rakaat.
Membanjir air mataku ketika itu. Mensyukuri begitu banyak karunia dan kemudahan serta rejeki yang dilimpahkan Yang Kuasa. Juga kupanjatkan doa, permohonan dan harapan bagi para sahabat, kerabat dan keluarga kami.
Kemudian kudengar suara mutawif yang mengantar kami: ibu-ibu, sudah cukup, mari keluar.
Maka kusudahi shalat dan doaku. Aku lalu berdiri dan berjalan ke arah luar, bersamaan dengan beberapa teman serombongan yang melakukan hal serupa.
Dan saat itulah hal yang tak perlu terjadi dan tak diharapkan ternyata terjadi.
Seorang Petugas Haji Indonesia berompi hitam masuk menghampiri dan tiba-tiba membentak- bentak dengan suara keras.
Dia tak menujukan itu pada satu orang tertentu tapi secara umum.
Kebetulan petugas haji indonesia itu berdiri tak jauh dari aku yang sedang bergerak berjalan keluar.
Petugas Haji Indonesia |
Teriakan dalam nada tinggi itu begitu keras dan kasar tertangkap telingaku. Membuatku yang sedang berjalan menghentikan langkahku. Sedetik, dua detik, memperhatikan.petugas haji itu.
” Keluar.. keluar !!!!! ” bentakan itu begitu keras terdengar.
Bagiku terdengar seperti seseorang yang sedang mengusir orang lain yang tak berhak berada di sana.
Aku agak heran sebab petugas itu masuk dari arah pintu keluar dan bicara seperti itu di tengah-tengah deretan orang yang justru sedang bergerak keluar.
“Keluarrrr !” lagi-lagi dia berteriak.
Disambung dengan “Keluar! Ngapain sih pada lama-lama di situ!”
Hah?! Aku makin tercengang. Raudhah itu tempat yang diutamakan..tempat di mana orang rela antri untuk bisa masuk ke dalamnya. Maka kalimat ‘ngapain pada lama-lama disitu menjadi absurd terdengar.
Sudah jelas orang datang ke Raudhah itu untuk shalat dan berdoa bukan? Koq ditanya ‘ngapain’ ?
Dan..berlama-lama?
Sepengetahuan aku, orang dimasukkan ke Raudah secara bergiliran per kelompok. Kelompok yang masuk itu secara rata-rata akan mendapat waktu sekitar 10 menit sebelum diminta untuk bergeser keluar.
Dan aku yakin, di kisaran waktu itulah kami berada.
Petugas tersebut tiba-tiba berteriak lagi dalam nada tinggi, ” Sudah dibilang juga, shalat dua rakaat saja lalu keluar ! “
Ealaaahhhhhhh…
Memangnya kapan dia katakan pada kami hal tersebut? Orang-orang yang sedang bergerak keluar itu kebanyakan berada di dekatku sejak kami mengantri di luar Raudhah. Dan tak ada seorang petugas haji Indonesiapun yang datang bicara pada kami bahwa kami hanya boleh shalat dua rakaat lalu harus keluar.
Satu-satunya petugas haji Indonesia yang kulihat sejak di luar tadi hanya petugas yang mengingatkan agar berhati -hati dengan barang bawaan, tidak ada yang lain.
“Keluar ! ” petugas haji itu membentak lagi.
Cukup sudah.
Kudekati dia, kutatap mukanya. Kukatakan padanya, ” Bisa bicara baik-baik? Tidak usah pakai marah-marah begitu dong ! “
Dia rupanya tak mengira akan dihampiri dan ditanggapi seperti itu. Reaksinya spontan, ” Saya tidak marah !!!”
Lho, bahkan menjawabpun nadanya membentak.
Benar sih..mungkin dia ‘tidak marah’. Sebab menurut ukuranku, kata-kata yang dia gunakan, nada tinggi yang jelas terdengar, itu bukan marah lagi namanya tapi “marah besar” alias marah sekali.
“Nanti kalau keinjak- injak orang ****** gimana..makanya keluar ! ” (dia menyebutkan nama negara-negara yang sedang antri diluar, menanti masuk setelah giliran kami)
Duh, sudahlah, pikirku. Petugas ini sudah bicara keluar konteks. Sebab bahkan hingga kami menuju keluar saat itu sekalipun, kelihatannya rombongan orang dari negara-negara yang disebutkannya itu belum mendapat giliran masuk Raudhah. Artinya kami justru sudah akan keluar lebih dulu daripada orang-orang yang disebutkannya itu masuk.
Kutinggalkan saja petugas itu.
Sampai saat ini, tak bisa kupahami sikap petugas haji yang kemarin mengusir-usir jamaah untuk keluar dari Raudhah dengan bentakan-bentakan bernada tinggi itu.
Apa sebenarnya yang ada di benaknya ya?
Setahu aku, petugas haji disediakan oleh Pemerintah Indonesia untuk membantu jamaah haji Indonesia selama berada di Tanah Suci. Dan jelas menurut pendapatku, membantu itu tidak bisa diwujudkan dalam bentuk bentakan-bentakan kasar bernada tinggi atau kalimat tudingan semacam “sudah dikasih tahu juga…dst dsb” seperti yang diucapkan — juga dengan suara tinggi dan nada keras — oleh petugas haji Indonesia itu.
Tidak bisakah dia bersikap lebih lemah lembut? Bicara baik-baik dengan nada yang terjaga?
Lupakah dia bahwa Islam mengajarkan kelembutan?
Dan sikap arogan serta defensif itu…ketika diingatkan untuk bicara baik-baik tanpa marah-marah malah mengatakan dia tidak marah lalu mengancam dan menakut-nakuti akan terinjak-injak jamaah negara lain.
Selayaknya dia kan bisa memilih kata-kata yang lebih enak didengar. Katakan saja waktu sudah habis, sudah waktunya keluar sebab sebentar lagi rombongan dari negara lain akan masuk.
Kecuali jika ada yang luar biasa membandel atau dalam keadaan darurat yang sangat mendesak, bolehlah suara dikeraskan. Tapi bukan seperti kemarin, yang nggak ujan nggak angin tiba-tiba muncul marah-marah tanpa juntrungan tanpa pula jelas sebab musababnya.
Barangkali tahun depan, saat menyeleksi petugas haji, perlu dilakukan simulasi beberapa kondisi tertentu dan dilihat reaksi para calon petugas itu. Lalu pilihlah orang-orang yang tegas tapi tenang. Bukan yang suka marah-marah dan merusak suasana yang sebetulnya justru bisa dan sedang tenang…
Sumber: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/09/19/masukan-untuk-petugas-haji-indonesia-laporan-langsung-dari-madinah-679812.html