Muhammad Al Zahra (30) yang meninggalkan anaknya yang masih kecil dan istrinya yang hamil 7 bulan itu, dibakar massa, awal Agustus. Tanpa pengadilan, dikepruk kepalanya, ditelanjangi, dibakar hidup-hidup, disaksikan ratusan bahkan ribuan warga.
Ya Allah, mereka ini berbangsa apa? Kenapa menjadi bar-bar begitu?
Bagaimana bisa sebagai manusia menyaksikan orang dibakar hidup-hidup dengan sorak sorai dan tepuk tangan? Ada apa dengan jiwa anak-anak bangsa ini? Dimana peran Ulama?
Kenapa kita lebih takut kehilangan aksesoris masjid dibanding kehilangan jiwa seseorang. Bahkan, nyawa seorang Muslim.
Bukankah nubuwah mengingatkan? Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim. Dosa membunuh seorang Mukmin lebih dahsyat dibanding hancurnya dunia.
Dada ini serasa terguncang membaca berita pembakaran pemuda shaleh di Bekasi. Sungguh miris.
Terlebih, satu per satu kesaksian muncul jika korban adalah orang shaleh di daerahnya.
Zubaidah mengatakan, selama ini anak sulungnya lebih dekat dengan suaminya, Joya. Saat dikabarkan meninggal, anaknya (AS) kerap menanyakan keberadaan Joya, terlebih di saat datang waktu shalat.
"Dia (AS) masih suka tanya di mana abinya (ayahnya). Walaupun banyak yang bilang abinya sudah tidak ada, tapi dia masih belum mengerti. Dia hanya paham kalau abinya sedang tidur. Kalau azan, dia (AS) suka tanya 'Abi mana? Kok engga shalat'. Biasanya dia selalu shalat sama abinya," kata Zubaidah.
Mertua korban, Pandi, Beliau bersaksi jika korban shalatnya tak pernah ketinggalan.
Engkung Amir, Ketua RT 05, lingkungan korban tinggal, bersaksi almarhum merupakan sosok yang baik, mudah bergaul, dan rajin beribadah. Bahkan kerap menjadi imam shalat dan guru mengaji.
Kesaksian tentang perilaku terpuji dan keshalehan korban juga tersua dari para tetangga, tokoh masyarakat sampai pengurus masjid setempat.
Haji Darta, Ketua DKM, Mushala Baiturrahman Cikarang Kota, bersaksi jika almarhum Muhammad Zahra sering shalat di mushala tersebut. Bahkan, memberi sedekah mic untuk mushala.
Kesaksian akhlak korban juga tersebar dalam media, video dan pelbagai tulisan yang viral. Almarhum juga diketahui sebagai tukang servis dan jual beli amplifier.
Bahkan, kisah haru tersua dari istri korban ketika anaknya menanyakan keberadaan sang ayah. Terlebih anak tersebut kerap diajak shalat jamaah oleh korban.
Lantas, kenapa kita mudah memvonis seseorang bahkan melukai dan membakar hidup-hidup?
Ironinya lagi, saat membaca media online Merdeka, 2/8/2017, bertajuk: Polisi tegaskan pria yang dibakar warga pencuri amplifier mushola.
Kutipannya:
"Ada laporan polisinya," kata Kasat Reskrim Polres Metro Bekasi AKBP Rizal Marito, Rabu (2/8).
Menurut dia, laporan polisi yang membuat adalah marbot di sebuah mushola yang amplifiernya hilang di Kampung Muara Bakti RT 012 RW 07, Desa Muara Bakti, Kecamatan Babelan.
Karena itu, Rizal membantah, bahwa MA merupakan korban salah sasaran yang disebutkan di media sosial yang kini menjadi viral.
"Hasil penyelidikan menyebutkan, bahwa korban yang dibakar massa ini adalah pelaku pencurian amplifier mushala," ujarnya.
Penyelidikan, kata dia, dengan cara memintai keterangan saksi, seperti marbot mushala. Demikian mereka, melaporkan.
Jika berita itu benar, janggal sekali keterangan polisi tersebut. Sebab bertolak belakang dengan kesaksian keluarga, tetangga, tokoh agama, dan tokoh masyarakat di lingkungan korban.
Lucunya lagi, diklaim membuat surat kehilangan laporan amplifier. Lalu, korban muncul membawa ampli dan langsung divonis maling.
Kejanggalan keterangan polisi itu: tak disebut laporan kehilangan kapan, korban muncul lalu diteriaki maling.
Logikanya, laporan dibuat setelah barang hilang. Lantas, maling mana yang bodoh datang kembali ke tempat pencurian?
Kenapa pula korban tidak ditanya, dan lalu main vonis. Sedangkan korban sempat menegaskan tidak mencuri, tapi tetap dihakimi massa.
Provokator dan pelaku pembakaran pun belum ditangkap, padahal wajahnya terekam dalam video yang menjadi viral. Belakangan, simpati dan dukungan terhadap korban serta keluarga terus mengalir bak gelombang pasang. Mulai masyarakat, anggota DPR sampai menteri.
Alangkah baiknya polisi menarik keterangan tudingan jika korban adalah pelaku pencurian. Sekaligus membersihkan nama baik korban dan keluarga. Janganlah tega menimpa mereka yang sudah jatuh masih ditimpa tangga.
Jika benar mencuri, entah dari mana bisa datangkan bukti-bukti valid itu. Sedang korban sudah tiada. Pengadilan tak mungkin digelar.
Aneh rasanya mencerna logika hukum: bila bukti sekadar dari keterangan saksi yang cuma sepihak. Belakangan, keterangan dari banyak saksi justru bertolak belakang dari saksi versi polisi.
Masyarakat kini tinggal berharap: mampukah polisi segera menangkap provokator dan pelaku pengroyokan serta pembakaran. Bukankah video pembakaran sudah tersebar viral di sosial media.
Tragedi tersebut menjadi pelajaran amat berharga bagi semua. Kemana jati diri bangsa ini? Sudah hilangkah nurani. Kemana nilai kemanusiaan kita? Kemana iman kita? Kemana pula para Ulama?
Semoga para Ulama berkenan kembali ke khittahnya: mendidik dan menjaga umat. Tak tergelincir arus politik, nikmat semu kepopuleran atau kelezatan palsu kemewahan.
Ini pun menjadi pelajaran bagi pengurus masjid. Sayangilah jiwa dan nyawa manusia tenimbang sekadar kehilangan asesoris masjid.
Bukan kita membiarkan seenaknya kasus pencurian. Tapi mari kembali mengingat sejarah kehidupan Rasul dan Sahabat. Dengan kemuliaan akhlak, merangkul hati, menembus jiwa-jiwa yang rusak.
Dalam kasus tragedi amfli, pengurus masjid tak diancam dibunuh. Korban tak membahayakan.
Pelaku pun belum bisa dipastikan secara de facto sebagai pencuri. Tiba-tiba diteriaki maling: lalu menimbulkan anak yatim baru.
Mampukah kita kemballikan fungsi masjid? Membumikan akhlak mulia, welas asih dan rahmatan lil alaamiin dari masjid. Ini PR besar bagi semua.
Pertanyaan selanjutnya: Beranikah para algojo pembakar itu membakar koruptor? Tentu saja mustahil. Sebab, amat sangat dilarang.
Sebesar apapun kesalahan manusia, tak patut bagi kita seenaknya main hukum riba. Bukankah semua sudah aturannya.
Lantas, beranikah para algojo pengroyokan dan pembakaran mendatangi dan meminta maaf pada keluarga korban?
Terutama pada istri dan anaknya. Seperti keberaniannya ketika membakar korban. Lalu, menyerahkan diri ke polisi. Ah mungkin, lebih mustahil lagi.
Ketika para algojo menjadi pengecut meminta maaf, ketika itu pula ketenangan jiwa takkan mungkin diraihnya. Bahkan mungkin, selama sisa hidupnya.
Ikut duka pada keluarga korban. Semoga Sang Maha memberi ganti yang jauh lebih baik di dunia dan akhirat.
Semoga si kecil, yatim anak korban, menjadi orang besar: yang mampu menebar manfaat untuk umat dan bangsa.
Ikut berduka pula terhadap rasa kemanusian bangsa ini. Juga, duka pada jiwa-jiwa kita yang mungkin amat banyak kerusakannya.
Baca Juga:
Allahumaghfir ummata Muhammad. Allahummaslih ummata Muhammad. Shallallahu alaa Muhammad.
Al Fatihah untuk almarhum Muhammad Al Zahra Zoya...
Ya Allah, mereka ini berbangsa apa? Kenapa menjadi bar-bar begitu?
Bagaimana bisa sebagai manusia menyaksikan orang dibakar hidup-hidup dengan sorak sorai dan tepuk tangan? Ada apa dengan jiwa anak-anak bangsa ini? Dimana peran Ulama?
Kenapa kita lebih takut kehilangan aksesoris masjid dibanding kehilangan jiwa seseorang. Bahkan, nyawa seorang Muslim.
Bukankah nubuwah mengingatkan? Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim. Dosa membunuh seorang Mukmin lebih dahsyat dibanding hancurnya dunia.
Dada ini serasa terguncang membaca berita pembakaran pemuda shaleh di Bekasi. Sungguh miris.
Terlebih, satu per satu kesaksian muncul jika korban adalah orang shaleh di daerahnya.
Zubaidah mengatakan, selama ini anak sulungnya lebih dekat dengan suaminya, Joya. Saat dikabarkan meninggal, anaknya (AS) kerap menanyakan keberadaan Joya, terlebih di saat datang waktu shalat.
"Dia (AS) masih suka tanya di mana abinya (ayahnya). Walaupun banyak yang bilang abinya sudah tidak ada, tapi dia masih belum mengerti. Dia hanya paham kalau abinya sedang tidur. Kalau azan, dia (AS) suka tanya 'Abi mana? Kok engga shalat'. Biasanya dia selalu shalat sama abinya," kata Zubaidah.
Mertua korban, Pandi, Beliau bersaksi jika korban shalatnya tak pernah ketinggalan.
Engkung Amir, Ketua RT 05, lingkungan korban tinggal, bersaksi almarhum merupakan sosok yang baik, mudah bergaul, dan rajin beribadah. Bahkan kerap menjadi imam shalat dan guru mengaji.
Kesaksian tentang perilaku terpuji dan keshalehan korban juga tersua dari para tetangga, tokoh masyarakat sampai pengurus masjid setempat.
Haji Darta, Ketua DKM, Mushala Baiturrahman Cikarang Kota, bersaksi jika almarhum Muhammad Zahra sering shalat di mushala tersebut. Bahkan, memberi sedekah mic untuk mushala.
Kesaksian akhlak korban juga tersebar dalam media, video dan pelbagai tulisan yang viral. Almarhum juga diketahui sebagai tukang servis dan jual beli amplifier.
Bahkan, kisah haru tersua dari istri korban ketika anaknya menanyakan keberadaan sang ayah. Terlebih anak tersebut kerap diajak shalat jamaah oleh korban.
Lantas, kenapa kita mudah memvonis seseorang bahkan melukai dan membakar hidup-hidup?
Ironinya lagi, saat membaca media online Merdeka, 2/8/2017, bertajuk: Polisi tegaskan pria yang dibakar warga pencuri amplifier mushola.
Kutipannya:
"Ada laporan polisinya," kata Kasat Reskrim Polres Metro Bekasi AKBP Rizal Marito, Rabu (2/8).
Menurut dia, laporan polisi yang membuat adalah marbot di sebuah mushola yang amplifiernya hilang di Kampung Muara Bakti RT 012 RW 07, Desa Muara Bakti, Kecamatan Babelan.
Karena itu, Rizal membantah, bahwa MA merupakan korban salah sasaran yang disebutkan di media sosial yang kini menjadi viral.
"Hasil penyelidikan menyebutkan, bahwa korban yang dibakar massa ini adalah pelaku pencurian amplifier mushala," ujarnya.
Penyelidikan, kata dia, dengan cara memintai keterangan saksi, seperti marbot mushala. Demikian mereka, melaporkan.
Jika berita itu benar, janggal sekali keterangan polisi tersebut. Sebab bertolak belakang dengan kesaksian keluarga, tetangga, tokoh agama, dan tokoh masyarakat di lingkungan korban.
Lucunya lagi, diklaim membuat surat kehilangan laporan amplifier. Lalu, korban muncul membawa ampli dan langsung divonis maling.
Kejanggalan keterangan polisi itu: tak disebut laporan kehilangan kapan, korban muncul lalu diteriaki maling.
Logikanya, laporan dibuat setelah barang hilang. Lantas, maling mana yang bodoh datang kembali ke tempat pencurian?
Kenapa pula korban tidak ditanya, dan lalu main vonis. Sedangkan korban sempat menegaskan tidak mencuri, tapi tetap dihakimi massa.
Provokator dan pelaku pembakaran pun belum ditangkap, padahal wajahnya terekam dalam video yang menjadi viral. Belakangan, simpati dan dukungan terhadap korban serta keluarga terus mengalir bak gelombang pasang. Mulai masyarakat, anggota DPR sampai menteri.
Alangkah baiknya polisi menarik keterangan tudingan jika korban adalah pelaku pencurian. Sekaligus membersihkan nama baik korban dan keluarga. Janganlah tega menimpa mereka yang sudah jatuh masih ditimpa tangga.
Jika benar mencuri, entah dari mana bisa datangkan bukti-bukti valid itu. Sedang korban sudah tiada. Pengadilan tak mungkin digelar.
Aneh rasanya mencerna logika hukum: bila bukti sekadar dari keterangan saksi yang cuma sepihak. Belakangan, keterangan dari banyak saksi justru bertolak belakang dari saksi versi polisi.
Masyarakat kini tinggal berharap: mampukah polisi segera menangkap provokator dan pelaku pengroyokan serta pembakaran. Bukankah video pembakaran sudah tersebar viral di sosial media.
Tragedi tersebut menjadi pelajaran amat berharga bagi semua. Kemana jati diri bangsa ini? Sudah hilangkah nurani. Kemana nilai kemanusiaan kita? Kemana iman kita? Kemana pula para Ulama?
Semoga para Ulama berkenan kembali ke khittahnya: mendidik dan menjaga umat. Tak tergelincir arus politik, nikmat semu kepopuleran atau kelezatan palsu kemewahan.
Ini pun menjadi pelajaran bagi pengurus masjid. Sayangilah jiwa dan nyawa manusia tenimbang sekadar kehilangan asesoris masjid.
Bukan kita membiarkan seenaknya kasus pencurian. Tapi mari kembali mengingat sejarah kehidupan Rasul dan Sahabat. Dengan kemuliaan akhlak, merangkul hati, menembus jiwa-jiwa yang rusak.
Dalam kasus tragedi amfli, pengurus masjid tak diancam dibunuh. Korban tak membahayakan.
Pelaku pun belum bisa dipastikan secara de facto sebagai pencuri. Tiba-tiba diteriaki maling: lalu menimbulkan anak yatim baru.
Mampukah kita kemballikan fungsi masjid? Membumikan akhlak mulia, welas asih dan rahmatan lil alaamiin dari masjid. Ini PR besar bagi semua.
Pertanyaan selanjutnya: Beranikah para algojo pembakar itu membakar koruptor? Tentu saja mustahil. Sebab, amat sangat dilarang.
Sebesar apapun kesalahan manusia, tak patut bagi kita seenaknya main hukum riba. Bukankah semua sudah aturannya.
Lantas, beranikah para algojo pengroyokan dan pembakaran mendatangi dan meminta maaf pada keluarga korban?
Terutama pada istri dan anaknya. Seperti keberaniannya ketika membakar korban. Lalu, menyerahkan diri ke polisi. Ah mungkin, lebih mustahil lagi.
Ketika para algojo menjadi pengecut meminta maaf, ketika itu pula ketenangan jiwa takkan mungkin diraihnya. Bahkan mungkin, selama sisa hidupnya.
Ikut duka pada keluarga korban. Semoga Sang Maha memberi ganti yang jauh lebih baik di dunia dan akhirat.
Semoga si kecil, yatim anak korban, menjadi orang besar: yang mampu menebar manfaat untuk umat dan bangsa.
Ikut berduka pula terhadap rasa kemanusian bangsa ini. Juga, duka pada jiwa-jiwa kita yang mungkin amat banyak kerusakannya.
Baca Juga:
- Jeritan Hati Siti Zubaedah: 'Suami Saya Bukan Hewan'
- Tudingan Pencurian Ampli Dibantah Sang Istri, Ia Beberkan 3 Hal Ini
- Ini Video Detik-detik Pria Yang Dituduh Curi Ampli Dibakar Massa
Allahumaghfir ummata Muhammad. Allahummaslih ummata Muhammad. Shallallahu alaa Muhammad.
Al Fatihah untuk almarhum Muhammad Al Zahra Zoya...