Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Admin Kabarmakkah.com yang saya hormati, Maaf mau tanya, Bolehkah mendoakan dan menshalati orang yang mati bunuh diri? Karena Beberapa waktu yang lalu ada saudara yang meninggal karena bunuh diri dan sebagian besar tetangga tak mau mendoakan dan menshalatinya.
Atas jawabannya, saya ucapkan terima kasih. (Guntur/Bandung)
Jawaban
Wa'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Ada yang pernah bertanya pada Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang pernah menjabat sebagai Mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam,
“Bolehkah menyalatkan orang yang mati bunuh diri? Misalnya, ia sengaja menggantung dirinya, menusuk diri dengan sebilah pisau, membakar diri, mengonsumsi racun atau menenggelamkan dirinya di tepi pantai. Sebagian muslim menganggap ia tidak boleh dishalatkan. Namun bagaimana pandangan Islam itu sendiri?”
Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Jika ia seorang muslim, maka ia tetap dishalatkan baik ia mati bunuh diri atau dibunuh oleh orang lain. Jika ia sampai membunuh dirinya sendiri, itu termasuk dosa besar. Karena seorang muslim tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Allah mengharamkan seseorang membunuh dirinya sendiri. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisa’: 29)
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu cara yang ada di dunia, niscaya pada hari kiamat, niscaya ia akan disiksa dengan cara seperti itu pula.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika ia jelas bunuh diri, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar. Namun ia tetap dishalatkan. Walau ada yang berbeda penilaian, namun yang tepat ia tetap dishalatkan. Sebagian muslim tetap menyolatkan, memandikan, mengafani dan menguburkannya.
Begitu pula ketika diketahui ia dibunuh oleh orang lain secara zalim, ia tetap dimandikan dan dishalatkan. Ia dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan di pemakaman kaum muslimin. Wallahul musta’an. Laa hawla wa laa quwwata illa billah, tidak ada daya dan kekuatan melainkan dari Allah.
Demikian fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Umat Islam bersepakat bahwa orang yang melakukan dosa meskipun melakukan dosa besar tetap dishalatkan. Telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
“Shalatkanlah setiap orang yang mengucapkan ‘Laa ilaha illallahu Muhammad Rasulullah (Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad itu utusan Allah)”, meskipun dalam sanadnya ada kelemahan. Apa yang kami sebutkan dari ijma (konsensus) dapat menguatkan dan menshahihkannya.” (Al Istidzkar, 3: 29)
Imam Nawawi berkata, “Al Qadhi mengatakan, menurut pendapat para ulama, setiap jenazah muslim baik meninggal karena suatu hukuman, dirajam, bunuh diri dan anak zina tetap dishalatkan. Imam Malik dan lainnya berpendapat bahwa pemimpin umat sebaiknya tidak menyalati orang seperti itu ketika ia dihukum mati karena suatu hukuman. Dari Az Zuhri, ia berkata bahwa orang yang terkena hukuman rajam dan yang diqishash tetap dishalatkan. Adapun Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang berbuat keonaran dan orang yang terbunuh dari kalangan kelompok pembangkang tidak dishalatkan.” (Lihat Syarh Muslim karangan Nawawi)
Dalil yang menunjukkan akan kewajiban shalat kepada pelaku kemaksiatan adalah apa yang diriwayatkan oleh Samurah radhiyallahu anhu,
“Ada orang yang bunuh diri dengan pisau, maka Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Kalau saya, maka saya tidak shalatkan dia.” (HR. An Nasa’i)
Nampaknya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyetujui para sahabat yang menyalatinya. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam enggan menyalatinya sebagai hukuman terhadap kemaksiatannya dan sebagai pelajaran bagi orang lain atas perbuatannya.
Ini menunjukkan dianjurkannya menyalatkan pelaku maksiat kecuali pemimpin umat. Seyogyanya dia tidak menyalatkan pelaku dosa besar yang terus menerus dan mati dalam kondisi seperti itu. Hal ini dilakukan karena mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya yang lain jera dan tidak melakukan semacam itu.
Ibnu Abdul Barr mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil bahwa imam dan para pemimpin agama tidak menyalati pelaku dosa besar. Akan tetapi tidak boleh melarang orang lain menyalatkannya. Bahkan ia harus memberikan arahan pada orang lain sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan, ‘Shalatkanlah sahabat kalian’.” (Al Istidzkar, 5: 85)
Wallahu Ta'ala A'lam.
Admin Kabarmakkah.com yang saya hormati, Maaf mau tanya, Bolehkah mendoakan dan menshalati orang yang mati bunuh diri? Karena Beberapa waktu yang lalu ada saudara yang meninggal karena bunuh diri dan sebagian besar tetangga tak mau mendoakan dan menshalatinya.
Atas jawabannya, saya ucapkan terima kasih. (Guntur/Bandung)
Jawaban
Wa'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Ada yang pernah bertanya pada Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang pernah menjabat sebagai Mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam,
“Bolehkah menyalatkan orang yang mati bunuh diri? Misalnya, ia sengaja menggantung dirinya, menusuk diri dengan sebilah pisau, membakar diri, mengonsumsi racun atau menenggelamkan dirinya di tepi pantai. Sebagian muslim menganggap ia tidak boleh dishalatkan. Namun bagaimana pandangan Islam itu sendiri?”
Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Jika ia seorang muslim, maka ia tetap dishalatkan baik ia mati bunuh diri atau dibunuh oleh orang lain. Jika ia sampai membunuh dirinya sendiri, itu termasuk dosa besar. Karena seorang muslim tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Allah mengharamkan seseorang membunuh dirinya sendiri. Allah Ta’ala berfirman,
وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَىْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Jika ia jelas bunuh diri, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar. Namun ia tetap dishalatkan. Walau ada yang berbeda penilaian, namun yang tepat ia tetap dishalatkan. Sebagian muslim tetap menyolatkan, memandikan, mengafani dan menguburkannya.
Begitu pula ketika diketahui ia dibunuh oleh orang lain secara zalim, ia tetap dimandikan dan dishalatkan. Ia dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan di pemakaman kaum muslimin. Wallahul musta’an. Laa hawla wa laa quwwata illa billah, tidak ada daya dan kekuatan melainkan dari Allah.
Demikian fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Umat Islam bersepakat bahwa orang yang melakukan dosa meskipun melakukan dosa besar tetap dishalatkan. Telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
صلوا على كل من قال لا إله إلا الله محمد رسول الله
Imam Nawawi berkata, “Al Qadhi mengatakan, menurut pendapat para ulama, setiap jenazah muslim baik meninggal karena suatu hukuman, dirajam, bunuh diri dan anak zina tetap dishalatkan. Imam Malik dan lainnya berpendapat bahwa pemimpin umat sebaiknya tidak menyalati orang seperti itu ketika ia dihukum mati karena suatu hukuman. Dari Az Zuhri, ia berkata bahwa orang yang terkena hukuman rajam dan yang diqishash tetap dishalatkan. Adapun Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang berbuat keonaran dan orang yang terbunuh dari kalangan kelompok pembangkang tidak dishalatkan.” (Lihat Syarh Muslim karangan Nawawi)
Dalil yang menunjukkan akan kewajiban shalat kepada pelaku kemaksiatan adalah apa yang diriwayatkan oleh Samurah radhiyallahu anhu,
أَنَّ رَجُلا قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَمَّا أَنَا فَلا أُصَلِّي عَلَيْه
Nampaknya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyetujui para sahabat yang menyalatinya. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam enggan menyalatinya sebagai hukuman terhadap kemaksiatannya dan sebagai pelajaran bagi orang lain atas perbuatannya.
Ini menunjukkan dianjurkannya menyalatkan pelaku maksiat kecuali pemimpin umat. Seyogyanya dia tidak menyalatkan pelaku dosa besar yang terus menerus dan mati dalam kondisi seperti itu. Hal ini dilakukan karena mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya yang lain jera dan tidak melakukan semacam itu.
Baca Juga: Pria Bernama Pahinggar Indrawan Ini Bunuh Diri Secara Live Di Facebook
Ibnu Abdul Barr mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil bahwa imam dan para pemimpin agama tidak menyalati pelaku dosa besar. Akan tetapi tidak boleh melarang orang lain menyalatkannya. Bahkan ia harus memberikan arahan pada orang lain sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan, ‘Shalatkanlah sahabat kalian’.” (Al Istidzkar, 5: 85)
Wallahu Ta'ala A'lam.