Akibat gencarnya tuntutan persamaan hak dan emansipasi wanita yang didengungkan di mana-mana —mulai pertemuan arisan, penataran, perkantoran hingga yel-yel demonstrasi yang ditayangkan di layar kaca dan di media massa— para istri mulai berani menuntut persamaan derajat dan kekuasaan kepada suami mereka. Tak ayal lagi terjadi perebutan kekuasaan dalam biduk rumah tangga. Akibat kepatuhan istri terhadap suami berkurang, beberapa keluarga lebih didominasi sang istri dalam memimpin keluarga. Dilema semacam ini hampir selalu terjadi dalam keluarga yang berpaham emansipasi.
Siapa yang mesti memimpin dan siapa yang harus dipimpin, kerap menjadi pertanyaan besar bagi kalangan suami-istri. Siapa yang harus taat dan siapa yang harus ditaati, tampaknya kian kabur dan kian banyak terjadi kekeliruan.
Bagi mereka yang mengaku sebagai keluarga Muslim, mestinya tidak ada keraguan lagi untuk mendudukkan suami di singgasana kekuasaan. Kodrat dan fitrah lelaki memang telah dirancang Allah agar sesuai tugas itu.
Allah dengan jelas telah memberikan ketegasan: “Suami sebagai wali yang berkuasa atas istrinya, karena kelebihan yang telah diberikan oleh Allah pada masing-masing, dan karena belanja yang mereka berikan dari harta mereka sendiri. Maka wanita shalihah itu ialah yang taat, dapat memelihara diri sewaktu tidak ada suami, sebagaimana pemeliharaan Allah “. (QS An-Nisaa': 34)
Ibarat sebuah kapal, suami adalah nakhodanya. Ibarat kerajaan, suami adalah rajanya dan istri permaisuri sekaligus rakyatnya. Pendeknya, suami adalah pimpinan rumah tangga dan istri wajib taat kepadanya. Sebaliknya, suami wajib memberikan perlindungan kepada rakyat yang dipimpinnya, lahir batin.
Keluarga Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah perumpamaan kerajaan ideal yang patut diteladani, dengan Muhammad sebagai raja dan Khadijah sebagai rakyatnya. Keluarga mulia ini diawali dengan keberadaan istri yang berharta banyak dan berkedudukan bangsawan di mata masyarakat pada saat itu. Sementara suami yang tanpa membawa harta sepeserpun, hanya menyandang jawatan sebagai pengembala kambing.
Namun setelah tali ikatan perkawinan terjalin, toh tanpa ragu-ragu dan canggung Khadijah menyerahkan tampuk kekuasaan ke tangan `bocah telantar' yang mengawininya. Dan secara gemilang berhasil mewujudkan ketaatan sebagaimana seorang rakyat terhadap rajanya. Alhasil, perjalanan keluarga inipun berjalan mulus dan harmonis.
Sepertinya tak perlu ada dilema bagi keluarga-keluarga zaman sekarang. Contoh yang diperankan Khadijah sebagai wanita karier yang sukses dengan perkembangan dagangnya yang pesat, telah jelas nyata di depan mata. Para wanita pekerja perlu meneladaninya, sekarang.
Suatu ketika di zaman Rasulullah, datang seseorang dari Hira, menceritakan tentang orang-orang yang bersujud kepada kepala negaranya. Maka Abu Hurairah datang kepada Nabi dan berkata, “Engkau ya Rasulullah, lebih layak bagi kami bersujud kepadamu.” Maka Rasululah pun bersabda, “Andaikan saya mengizinkan seseorang bersujud kepada manusia lain, tentu saya menyuruh istri bersujud kepada suaminya.”
Riwayat tersebut menerangkan, sebenarnya adalah kepatutan semata apabila ada perintah bagi istri untuk mensujudi suaminya. Tersirat gambaran betapa mutlaknya ketaatan istri kepada suaminya. Bahkan juga melebihi ketaatan kepada orang tuanya sendiri. Memang, sebelum seorang gadis memasuki jenjang pernikahan, adalah kewajiban baginya untuk taat kepada kedua orang tua sebagai wali dirinya. Tetapi setelah bersuami, ia menjadi lebih mengutamakan ketaatan kepada suami karena suamilah yang bertanggung jawab atas dirinya. Tentu saja, sepanjang ketaatannya itu berada di jalan Allah.
Rasulullah bersabda, “Jika istri melakukan shalat lima waktu, puasa Ramadhan sebulan penuh, memelihara kehormatannya dan mematuhi suaminya, ditawarkan kepadanya, `Masuklah ke surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki'”.
Masya Allah! Mudah benar tampaknya persyaratan seleksi wanita calon penghuni surga. Tetapi kenyataannya, teramat sulit bagi seorang istri untuk dapat melaksanakan persyaratan terakhir itu. Wajar bila Allah menghargai ketaatan istri dengan surga, karena nilainya adalah seperti jihad di dalam perang bagi laki-laki. Derajatnya sama dengan mati syahid.
Dalam haditsnya yang lain Rasulullah menjelaskan, “Sampaikan kepada wanita-wanita yang engkau jumpai, bahwa patuh kepada suami dan memenuhi hak-haknya, sama pahalanya dengan pahala jihad. Tetapi hanya sedikit di antara mereka yang melakukan itu.”
Asiyah, istri Fir'aun, adalah contoh orang yang telah mengalami pahit getirnya cobaan hidup dalam hal taat kepada suami. Hati wanita mulia ini berpihak kepada Musa yang membawanya kebenaran, sementara ia mendapatkan kenyataan bahwa dirinya terbelenggu oleh kedudukannya sebagai istri seorang tirani musuh kebenaran.
Posisi sebagai istri itu, mewajibkan ia tetap melayani suami sebaik-baiknya, sepanjang perintah yang ia terima tidak bertentangan dengan keyakinan ketauhidannya. Seburuk-buruk Fir'aun, ia adalah pemimpin rumah tangga yang mempunyai hak untuk dilayani. Tetapi manakala Fir'aun menyuruh Asiyah meninggalkan ketauhidannya, ia tak bersedia mentaati perintah itu. Akibat penolakannya, nyawa Asiyah harus melayang di tangan suaminya sendiri.
Itulah risiko bagi wanita yang bersuami sekarakter atau seide dengan Fir'aun. Sejelek-jelek perangai suami, selama ia memerintah istri dengan perintah benar. Wajib bagi istri untuk mematuhinya.
Ketaatan yang dituntut bagi seorang istri bukannya tanpa alasan. Suami sebagai pimpinan, bertanggung jawab langsung menghidupi keluarga, melindungi keluarga dan menjaga keselamatan mereka lahir batin, dunia akhirat.
Tanggung jawab seperti itu bukan main beratnya. Para suami harus berusaha mengantar istri dan anak-anaknya untuk bisa memperoleh jaminan surga. Apabila anggota keluarganya itu sampai terjerumus ke neraka karena salah bimbing, maka suamilah yang akan menanggung siksaan besar nantinya (al-Hadits).
Di kali yang lain, Rasulullah menambahkan, “Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, ia tak bersedia, sehingga menimbulkan kemarahan suami, maka ia dikutuk malaikat sampai pagi.”
Keinginan untuk berkumpul, kadang-kala datang tidak bersamaan antara suami istri. Di sinilah dituntut perjuangan kaum istri untuk bisa melayani kehendak suami dengan sebaik-baiknya, walau dia sendiri tak berkeinginan. Dan di sini sebenarnya wanita telah dianugerahi kekuatan luar biasa untuk tidak menampik keinginan kekasihnya. Ia bisa melayani keinginan suaminya kapan saja.
Tetapi terkadang memenuhi panggilan seperti itu tidak mudah dilakukan. Apalagi bila tubuh sedang penat, pikiran kusut, tulang-tulang terasa ngilu, belum lagi bila rasa kantuk menyerang mata, sehingga panggilan itu menjadi berat. Begitu pula di saat perasaan sedang marah, jengkel, atau dilanda kesusahan.
Seharusnya hal-hal seperti itu tak dijadikan alasan untuk menolak keinginan suami. Utamanya bagi mereka yang lebih banyak berada di luar rumah. Bekerja di luar rumah akan menghabiskan banyak kekuatan fisik, menimbulkan ketegangan pikiran, kelelahan yang luar biasa, dan mental yang kacau akibat hiruk-pikuk suasana di luar. Akibatnya, mereka menemui satu kondisi yang berlainan dan bahkan berlawanan dengan kodratnya yang lembut.
Dalam hal ketaatan ini Rasulullah menambahkan, “Tidak boleh bagi seorang istri melakukan puasa (sunat) sedangkan suaminya ada, kecuali dia (suami) mengizinkannya. Dan ia tidak boleh mengizinkan orang masuk ke rumahnya melainkan dengan izin suaminya.”
Menurut ajaran hadits tersebut, seorang istri dilarang menerima kehadiran seorang teman tanpa izin suaminya. Tampaknya aneh dan janggal aturan ini. Namun jika kita teliti lebih jauh, itu memang wajar untuk dilaksanakan. Dengan aturan ini istri akan lebih bisa menjaga kehormatan di balik pembelakangan suami dan menghilangkan terjadinya bahaya fitnah.
Mu'adz bin Jabal menerangkan, ia pernah mendengar Rasululah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak boleh bagi seorang istri yang beriman kepada Allah untuk memberi izin seseorang di rumah suaminya, sementara suaminya benci-patuh kepada seseorang, meninggalkan tempat tidurnya dan membahayakannya.” Bila mereka hendak pergi keluar rumah hendaklah terlebih dahulu meminta izin kepada suaminya.
Subhanallah, ungguh indah Islam yang telah mengatur hubungan suami-istri ini. Suami pergi ke luar rumah mencari nafkah, sementara istri mengurus pekerjaan di rumah, mendidik anak dan menjaga kehormatannya di rumah. Apabila sebuah keluarga telah menerapkan ajaran ini, suasana cerah ceria akan selalu menghiasi rumah tangga. Insya Allah, keluarga sakinah yang didambakan bukan hanya sebuah khayalan.
Siapa yang mesti memimpin dan siapa yang harus dipimpin, kerap menjadi pertanyaan besar bagi kalangan suami-istri. Siapa yang harus taat dan siapa yang harus ditaati, tampaknya kian kabur dan kian banyak terjadi kekeliruan.
Bagi mereka yang mengaku sebagai keluarga Muslim, mestinya tidak ada keraguan lagi untuk mendudukkan suami di singgasana kekuasaan. Kodrat dan fitrah lelaki memang telah dirancang Allah agar sesuai tugas itu.
Allah dengan jelas telah memberikan ketegasan: “Suami sebagai wali yang berkuasa atas istrinya, karena kelebihan yang telah diberikan oleh Allah pada masing-masing, dan karena belanja yang mereka berikan dari harta mereka sendiri. Maka wanita shalihah itu ialah yang taat, dapat memelihara diri sewaktu tidak ada suami, sebagaimana pemeliharaan Allah “. (QS An-Nisaa': 34)
Ibarat sebuah kapal, suami adalah nakhodanya. Ibarat kerajaan, suami adalah rajanya dan istri permaisuri sekaligus rakyatnya. Pendeknya, suami adalah pimpinan rumah tangga dan istri wajib taat kepadanya. Sebaliknya, suami wajib memberikan perlindungan kepada rakyat yang dipimpinnya, lahir batin.
Keluarga Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah perumpamaan kerajaan ideal yang patut diteladani, dengan Muhammad sebagai raja dan Khadijah sebagai rakyatnya. Keluarga mulia ini diawali dengan keberadaan istri yang berharta banyak dan berkedudukan bangsawan di mata masyarakat pada saat itu. Sementara suami yang tanpa membawa harta sepeserpun, hanya menyandang jawatan sebagai pengembala kambing.
Namun setelah tali ikatan perkawinan terjalin, toh tanpa ragu-ragu dan canggung Khadijah menyerahkan tampuk kekuasaan ke tangan `bocah telantar' yang mengawininya. Dan secara gemilang berhasil mewujudkan ketaatan sebagaimana seorang rakyat terhadap rajanya. Alhasil, perjalanan keluarga inipun berjalan mulus dan harmonis.
Sepertinya tak perlu ada dilema bagi keluarga-keluarga zaman sekarang. Contoh yang diperankan Khadijah sebagai wanita karier yang sukses dengan perkembangan dagangnya yang pesat, telah jelas nyata di depan mata. Para wanita pekerja perlu meneladaninya, sekarang.
Suatu ketika di zaman Rasulullah, datang seseorang dari Hira, menceritakan tentang orang-orang yang bersujud kepada kepala negaranya. Maka Abu Hurairah datang kepada Nabi dan berkata, “Engkau ya Rasulullah, lebih layak bagi kami bersujud kepadamu.” Maka Rasululah pun bersabda, “Andaikan saya mengizinkan seseorang bersujud kepada manusia lain, tentu saya menyuruh istri bersujud kepada suaminya.”
Riwayat tersebut menerangkan, sebenarnya adalah kepatutan semata apabila ada perintah bagi istri untuk mensujudi suaminya. Tersirat gambaran betapa mutlaknya ketaatan istri kepada suaminya. Bahkan juga melebihi ketaatan kepada orang tuanya sendiri. Memang, sebelum seorang gadis memasuki jenjang pernikahan, adalah kewajiban baginya untuk taat kepada kedua orang tua sebagai wali dirinya. Tetapi setelah bersuami, ia menjadi lebih mengutamakan ketaatan kepada suami karena suamilah yang bertanggung jawab atas dirinya. Tentu saja, sepanjang ketaatannya itu berada di jalan Allah.
Rasulullah bersabda, “Jika istri melakukan shalat lima waktu, puasa Ramadhan sebulan penuh, memelihara kehormatannya dan mematuhi suaminya, ditawarkan kepadanya, `Masuklah ke surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki'”.
Masya Allah! Mudah benar tampaknya persyaratan seleksi wanita calon penghuni surga. Tetapi kenyataannya, teramat sulit bagi seorang istri untuk dapat melaksanakan persyaratan terakhir itu. Wajar bila Allah menghargai ketaatan istri dengan surga, karena nilainya adalah seperti jihad di dalam perang bagi laki-laki. Derajatnya sama dengan mati syahid.
Dalam haditsnya yang lain Rasulullah menjelaskan, “Sampaikan kepada wanita-wanita yang engkau jumpai, bahwa patuh kepada suami dan memenuhi hak-haknya, sama pahalanya dengan pahala jihad. Tetapi hanya sedikit di antara mereka yang melakukan itu.”
Asiyah, istri Fir'aun, adalah contoh orang yang telah mengalami pahit getirnya cobaan hidup dalam hal taat kepada suami. Hati wanita mulia ini berpihak kepada Musa yang membawanya kebenaran, sementara ia mendapatkan kenyataan bahwa dirinya terbelenggu oleh kedudukannya sebagai istri seorang tirani musuh kebenaran.
Posisi sebagai istri itu, mewajibkan ia tetap melayani suami sebaik-baiknya, sepanjang perintah yang ia terima tidak bertentangan dengan keyakinan ketauhidannya. Seburuk-buruk Fir'aun, ia adalah pemimpin rumah tangga yang mempunyai hak untuk dilayani. Tetapi manakala Fir'aun menyuruh Asiyah meninggalkan ketauhidannya, ia tak bersedia mentaati perintah itu. Akibat penolakannya, nyawa Asiyah harus melayang di tangan suaminya sendiri.
Itulah risiko bagi wanita yang bersuami sekarakter atau seide dengan Fir'aun. Sejelek-jelek perangai suami, selama ia memerintah istri dengan perintah benar. Wajib bagi istri untuk mematuhinya.
Ketaatan yang dituntut bagi seorang istri bukannya tanpa alasan. Suami sebagai pimpinan, bertanggung jawab langsung menghidupi keluarga, melindungi keluarga dan menjaga keselamatan mereka lahir batin, dunia akhirat.
Tanggung jawab seperti itu bukan main beratnya. Para suami harus berusaha mengantar istri dan anak-anaknya untuk bisa memperoleh jaminan surga. Apabila anggota keluarganya itu sampai terjerumus ke neraka karena salah bimbing, maka suamilah yang akan menanggung siksaan besar nantinya (al-Hadits).
Di kali yang lain, Rasulullah menambahkan, “Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, ia tak bersedia, sehingga menimbulkan kemarahan suami, maka ia dikutuk malaikat sampai pagi.”
Keinginan untuk berkumpul, kadang-kala datang tidak bersamaan antara suami istri. Di sinilah dituntut perjuangan kaum istri untuk bisa melayani kehendak suami dengan sebaik-baiknya, walau dia sendiri tak berkeinginan. Dan di sini sebenarnya wanita telah dianugerahi kekuatan luar biasa untuk tidak menampik keinginan kekasihnya. Ia bisa melayani keinginan suaminya kapan saja.
Tetapi terkadang memenuhi panggilan seperti itu tidak mudah dilakukan. Apalagi bila tubuh sedang penat, pikiran kusut, tulang-tulang terasa ngilu, belum lagi bila rasa kantuk menyerang mata, sehingga panggilan itu menjadi berat. Begitu pula di saat perasaan sedang marah, jengkel, atau dilanda kesusahan.
Seharusnya hal-hal seperti itu tak dijadikan alasan untuk menolak keinginan suami. Utamanya bagi mereka yang lebih banyak berada di luar rumah. Bekerja di luar rumah akan menghabiskan banyak kekuatan fisik, menimbulkan ketegangan pikiran, kelelahan yang luar biasa, dan mental yang kacau akibat hiruk-pikuk suasana di luar. Akibatnya, mereka menemui satu kondisi yang berlainan dan bahkan berlawanan dengan kodratnya yang lembut.
Dalam hal ketaatan ini Rasulullah menambahkan, “Tidak boleh bagi seorang istri melakukan puasa (sunat) sedangkan suaminya ada, kecuali dia (suami) mengizinkannya. Dan ia tidak boleh mengizinkan orang masuk ke rumahnya melainkan dengan izin suaminya.”
Menurut ajaran hadits tersebut, seorang istri dilarang menerima kehadiran seorang teman tanpa izin suaminya. Tampaknya aneh dan janggal aturan ini. Namun jika kita teliti lebih jauh, itu memang wajar untuk dilaksanakan. Dengan aturan ini istri akan lebih bisa menjaga kehormatan di balik pembelakangan suami dan menghilangkan terjadinya bahaya fitnah.
Mu'adz bin Jabal menerangkan, ia pernah mendengar Rasululah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak boleh bagi seorang istri yang beriman kepada Allah untuk memberi izin seseorang di rumah suaminya, sementara suaminya benci-patuh kepada seseorang, meninggalkan tempat tidurnya dan membahayakannya.” Bila mereka hendak pergi keluar rumah hendaklah terlebih dahulu meminta izin kepada suaminya.
Subhanallah, ungguh indah Islam yang telah mengatur hubungan suami-istri ini. Suami pergi ke luar rumah mencari nafkah, sementara istri mengurus pekerjaan di rumah, mendidik anak dan menjaga kehormatannya di rumah. Apabila sebuah keluarga telah menerapkan ajaran ini, suasana cerah ceria akan selalu menghiasi rumah tangga. Insya Allah, keluarga sakinah yang didambakan bukan hanya sebuah khayalan.