Begitu banyak karamah yang merenteti hari – harinya, bahkan menjelang kepergiannya menghadap sang Khalik, beliau masih sempat – sempatnya meminya maaf kepada ibundanya. Demikian KH. Abdullah Mansyur, meskipun kehidupan yang jalaninya amat sederhana, beliau masih tersohor di kampungnya sebagai lelaki yang pemurah. Beliau sering membagikan makanan kepada para tetangganya, bahkan beliau juga sudi memberikan barang – barang miliknya kepada orang – orang yang menginginkannya.
Menurut KH. Ihsan Mansur, anaknya, tatkala ayahnya mendapat undangan untuk mengisi acara pengajian – pengajian untuk berceramah, beliau kerapkali pulang tanpa membawa makanan ataupun uang bayaran. Hal ini tentu bukan karena orang yang mengundangnya memang tidak memberikannya imbalan, baik berupa uang maupun makanan, melainkan uang dan makanan yang didapatkannya tersebut telah ia bagi – bagikan kepada orang – orang miskin yang di jumpainya jalanan.
Meskipun telah dikenal sebagai lelaki yang dermawan, namun lelakunya pada waktu itu tepatnya satu hari sebelum Idul Fitri 1995 sempat membuat anak – anaknya heran, pasalnya tidak biasanya beliau pulang dari pasar membawa beras sampai sebanyak satu ton. Selain itu, beliau juga menyuruh orang memetik banyak buah kelapa di kebunnya.
Lebih herannya lagi, begitu berton – ton beras dan banyak buah kelapa telah sampai di tangannya, ulama saleh ini langsung membagi – bagikan seluruhnya kepada orang - orang di sekitarnya. Dan tatkala para anak dan santrinya hendak ikut membantu membagikannya, beliau malah menolaknya.
“beliau sendirilah yang membagikan beras dan buah kelapa itu. setiap satu rumah beliau berikan tiga liter beras dan dua buah kelapa, padahal biasanya kalau beliau mau membagi – bagikan sesuatu kepada para tetangganya, beliau menyuruh anak – anak dan para santrinya yang ada disini. Tetapi pada hari itu, beliau sendiri yang membagikannya dan ketika kami mau membantunya, beliau tidak mau dibantu.” Cerita anaknya.
Rupanya satu lelaku anehnya tersebut merupakan satu pertanda akan dekatnya hari kematian beliau. Sebab terhitung lima hari kemudian, beliau wafat dengan begitu tenang dan indahnya. Tatkala beliau hendak menghembuskan nafas terakhirnya pun, ada satu keistimewaan yang terjadi pada diri beliau. Empat hari setelah Idul Fitri 1995 selepas waktu Ashar, KH. Abdullah Mansur hendak mengambil air wudhu seraya menunggu waktu maghrib tiba.
Namun ketika di kamar mandi, beliau terpelantig, anak – anaknya datang bergegas membopongnya dan membaringkannya di pembaringan kamarnya. Selepas itu, KH. Abdullah Mansur meminta dipanggilkan ibunya yang tatkala itu masih hidup. Selepas menghadap ibunya, beliau meminta maaf kepadanya dan memintanya mengikhlaskan segala jasa – jasanya selama ini. Melihat keanehan KH Abdullah Mansur, lantas Ibundanya menitikkan air mata dan menangis, rupanya ia mempunya satu firasat akan kepergian anak terkasihnya itu.
Sebenarnya selepas kejadian itu, kondisi KH. Abdullah Mansur masih terlihat baik – baik saja sampai selepas Maghrib. Bahkan salah seorang adiknya, Haji Hudairi sempat menjenguk dan berbincang – bincang dengannya di kamar selayaknya seorang kakak beradik.
“Ketika beliau sedang berbincang dengan adiknya itu, beliau beberapa kali sempat berhenti berbicara dan melihat – lihat ke atas sambil tersenyum – senyum. Adiknya mengaku heran dengan kelakuan beliau.” Kenang KH. Ihsan Mansur.
Setelah cukup lama mereka berbincang – bincang, adiknya pun berpamitan untuk pulang kembali ke rumahnya. Begitu adiknya belalu, KH. Abdullah Mansur kemudian memanggil – manggil istrinya, Hj. Nafisatun Nisa, namun belum sampai istrinya itu ke kamar tiba – tiba ia mendengar KH. Abdullah Mansur berdzikir dan bertakbir, “Allahu Akbar!” dzikirnya terdengar sampai beberapa kali.
Sesampainya di kamar suami, Hj. Nafisatun Nisa terkejut setelah mendapati suaminya sudah dalam keadaan tertelungkup atau bersujud menghadap kiblat layaknya orang shalat. Beliau kemudian bergegas mendekati suaminya dan mencoba mengusik tubuh suaminya, namun tak jua bergerak. Lagi karena penasaran dengan tingkah suaminya, beliau kemudian membalikkan posisi tubuh suaminya dan betata terkejutnya beliau karena tubuh suaminya benar – benar lunglai tak bergerak dan anehnya lagi ia mendapati suaminya telah terpejam matanya dan bibirnya tersenyum. Seketika beliau langsung memanggil anak – anaknya.
“Begitu melihat bapak sudah tidak bergerak lagi, semua adik – adik saya menangis. Mereka tahu bahwa bapak sudah meninggal. Tetapi saya bilang kepada mereka bahwa bapak hanya pingsan. Kami usik – usik tubuh bapak, tetapi beliau tidak juga bergerak. Karena penasaran saya mengambil cermin dan mendekatkan ujung cermin itu ke ujung hidung bapak. Kami ingin memastikan apakah bapak masih mengeluarkan nafas atau tidak.
Ternyata tidak ada bekas nafas bapak di cermin itu. tetapi saya belum yakin kalau bapak sudah meninggal. Karena itu saya panggilkan dokter untuk memastikan keadaan bapak akan tetapi mereka pun menyatakan bahwa bapak memang sudah meninggal dunia.” Kenang KH. Ihsan Mansur.
Karena masih belum juga percaya bahwa ayahnya telah meninggal, KH. Ihsan Mansur meminta untuk membiarkan jasad ayahnya dulu selama dua jam dan jangan dimandikan. Atas persetujuan keluarga, akhirnya mereka pun mendiamkan jasad KH. Abdullah Mansur selama dua jam dan tidak dibiarkan untuk tidak diapa – apakan dahulu.
Namun anehnya kala itu, sudah banyak orang yang berbondong – bondong datang ke rumahnya, mereka mengaku mendengar kabar bahwa KH. Abdullah Mansur telah meninggal dunia.
Hingga keesokan harinya, semakin banyak saja tamu yang berdatangan untuk bertakziah dan ingin ikut mengurusi jasad almarhum, terutama menyolatkannya. Begitu banyak orang – orang yang ingin tutu menyolati jasad almarhum, karena begitu banyaknya, akhirnya sholat jenazah itu dilaksanakan secara bergantian.
Sholat jenazah dilakukan dari jam tujuh pagi dan baru selesai pada pukul sepuluh pagi. “Sebenarnya waktu itu masih banyak yang ingin menyolati jasad almarhum, namun karena waktunya sudah siang. Akhirnya oleh KH. Aang Encun, shalat jenazah itu diberhentikan pada pukul sepuluh saja.” Demikian ujar KH Ihsan Mansur.
Setelah sholat jenazah selesai, jasad beliau kemudian dibawa ke are pemakaman yang berjarak agaknya satu kilometer dari rumahnya. Saking banyaknya orang yang turut ingin menggotong kerana (kurung batang) jasad beliau.
Akhirnya keranda itu tak sempat digotong melainkan diberikan secara estafet oleh orang – orang yang sudah berkerumun dan berbaris sepanjang rumah beliau hingga lokasi pemakaman, sehingga orang – orang pun tak perlu menggotongnya dengan berjalan.
Setelah prosesi pemakaman selesai, sore harinya terjadi suatu keanehan lain. Para tamu menyaksikan satu cahaya kuning secara terang benderang terpancar dari menara masjid.
“Semua orang yang berada di situ melihat cahaya tersebut, termasuk saya sendiri. Cahaya itu keluar lewat menara masjid setelah ashar dan terus melesat ke atas sampai menghilang dari penglihatan. Saya sendiri tidak tahu apakah cahaya yang kelaur dari masjid itu. tetapi itu mungkin satu isyarat selama hidupnya beliau kan selalu berada di masjid kalau tidak menerima tamu. Ada kotoran atau retak – retak sedikit saja pada masjid, beliau pasti tahu.” Kenang KH Ihsan Mansur.
Siapakah KH. Abdullah Mansur?
Beliau merupakan pemimpin Pondok Pesantren Al-Mukmin yang terletak di Kampung Pasir Rengit, Desa Jaya Bakti, Kecamatan Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. Menurut KH. Ihsan Mansur, selama hayatnya, beliau merupakan sosok yang gemar hidup dalam kesederhanaan. Ia ingat betul tatkala mereka makan bersama dalam satu keluarga, KH. Abdullah Mansur kerapkali menangis sebelum memasukkan nasi ke dalam mulutnya seraya mengingatkan kepada anak – anaknya untuk senantiasa bersyukur karena mereka masih diberi rizki untuk makan.
“Kalau mau makan bersama, Bapak sering menangis. Bapak selalu bilang kepada kami, ‘Alhamdulillah, kita masih diberi rizki padahal masih banyak orang – orang diluar yang tidak bisa makan seperti kita.’. begitu juga kalau dibelikan baju baru, bapak selalu bilang seperti itu.” cerita KH. Ihsan Mansur.
Selain itu, almarhum juga dikenal dekat dengan santri – santrinya. Beliau menyayangi mereka semua seperti halnya beliau menyayangi anak – anaknya. Tak pernah sekalipun beliau membedakan antara anak dan santrinya, begitu juga dengan biaya, beliau selalu melarang santri – santrinya untuk membayar uang makan maupun uang pengajian. Semua biaya santri ditanggung oleh beliau. Bahkan beliau juga membelikan santri – santrinya pakaian. Namun di samping itu, beliau agak keras dan tegas dalam hal mengingatkan anak – anaknya untuk senantiasa shalat tahajud dan shalat berjamaah.
“Bapak paling benci melihat anak – anaknya shalat di rumah. Kalau ada anaknya yang mau shalat di rumah dan ketahuan oleh bapak pasti langsung diusir.” Kenang KH Ihsan Mansur.
Menurut anaknya, beliau tak pernah takut kepada siapapun apalagi jiklaau menyangkut masalah dakwah islamiyah. Namun demikian beliau begitu segan dengan orang tuanya, kaum dhuafa, dan juga guru – gurunya. Pernah suatu ketika ada di kampung tetangga almarhum, ada aliran sesat yang dibawa dan hendak disebarluaskan di kampung tersebut. Ajaran itu dibawa oleh seorang tentara, mengetahui akan hal itu, beliau segera bertindak maju di atas podium dan meluruskan aliran sesat itu.
“Ternyata, tentara itu marah kepada beliau. Tentara itu naik ke atas panggung dan menodongkan pistol ke arah tubuh beliau. Namun beliau tidak gentar sedikitpun, tentara itu semakin marah dan langsung melepaskan tembakan. Tetapi anehnya pistrol tersebut tidak bisa meletus.” Cerita KH Ihsan Mansur.
Selama hidupnya, beliau memang begitu segan dan menghormati guru – gurunya. Setiap waktu, beliau senantiasa mengunjungi mereka untuk sekadar bersilaturahmi dan bahkan memberikan mereka ongkos untuk berhaji, padahal guru beliau jumlahnya ada 46, semuanya beliau hajikan baik yang kaya maupun yang sederhana.
“Salah satu wasiat yang sering beliau ungkapkan kepada kami adalah jangan meninggalkan shalat berjamaah dan jangan mengunjungi murid – murid. Mungkin beliau tidak mau jika kunjungannya merepotkan murid – muridnya, beliau juga berpesan kalau mau pergi ke suatu tempat, baik untuk bertamu maupun untuk berdakwah hendaklah mengisi perut dan saku terlebih dahulu. Dengan begitu, kita akhan pulang dalam keadaan ikhlas (tanpa mengharap imbalan).” Kenang KH. Ihsan Mansur.
Demikian, akhir yang indah dari KH. Abdullah Mansur seorang ulama shaleh yang dikenal dermawan dan begitu sederhana. Semoga keteladanan hidup beliau dapat kita ambil untuk pelajaran hidup kita. Aamiin
Ilustrasi |
Menurut KH. Ihsan Mansur, anaknya, tatkala ayahnya mendapat undangan untuk mengisi acara pengajian – pengajian untuk berceramah, beliau kerapkali pulang tanpa membawa makanan ataupun uang bayaran. Hal ini tentu bukan karena orang yang mengundangnya memang tidak memberikannya imbalan, baik berupa uang maupun makanan, melainkan uang dan makanan yang didapatkannya tersebut telah ia bagi – bagikan kepada orang – orang miskin yang di jumpainya jalanan.
Meskipun telah dikenal sebagai lelaki yang dermawan, namun lelakunya pada waktu itu tepatnya satu hari sebelum Idul Fitri 1995 sempat membuat anak – anaknya heran, pasalnya tidak biasanya beliau pulang dari pasar membawa beras sampai sebanyak satu ton. Selain itu, beliau juga menyuruh orang memetik banyak buah kelapa di kebunnya.
Lebih herannya lagi, begitu berton – ton beras dan banyak buah kelapa telah sampai di tangannya, ulama saleh ini langsung membagi – bagikan seluruhnya kepada orang - orang di sekitarnya. Dan tatkala para anak dan santrinya hendak ikut membantu membagikannya, beliau malah menolaknya.
“beliau sendirilah yang membagikan beras dan buah kelapa itu. setiap satu rumah beliau berikan tiga liter beras dan dua buah kelapa, padahal biasanya kalau beliau mau membagi – bagikan sesuatu kepada para tetangganya, beliau menyuruh anak – anak dan para santrinya yang ada disini. Tetapi pada hari itu, beliau sendiri yang membagikannya dan ketika kami mau membantunya, beliau tidak mau dibantu.” Cerita anaknya.
Rupanya satu lelaku anehnya tersebut merupakan satu pertanda akan dekatnya hari kematian beliau. Sebab terhitung lima hari kemudian, beliau wafat dengan begitu tenang dan indahnya. Tatkala beliau hendak menghembuskan nafas terakhirnya pun, ada satu keistimewaan yang terjadi pada diri beliau. Empat hari setelah Idul Fitri 1995 selepas waktu Ashar, KH. Abdullah Mansur hendak mengambil air wudhu seraya menunggu waktu maghrib tiba.
Namun ketika di kamar mandi, beliau terpelantig, anak – anaknya datang bergegas membopongnya dan membaringkannya di pembaringan kamarnya. Selepas itu, KH. Abdullah Mansur meminta dipanggilkan ibunya yang tatkala itu masih hidup. Selepas menghadap ibunya, beliau meminta maaf kepadanya dan memintanya mengikhlaskan segala jasa – jasanya selama ini. Melihat keanehan KH Abdullah Mansur, lantas Ibundanya menitikkan air mata dan menangis, rupanya ia mempunya satu firasat akan kepergian anak terkasihnya itu.
Sebenarnya selepas kejadian itu, kondisi KH. Abdullah Mansur masih terlihat baik – baik saja sampai selepas Maghrib. Bahkan salah seorang adiknya, Haji Hudairi sempat menjenguk dan berbincang – bincang dengannya di kamar selayaknya seorang kakak beradik.
“Ketika beliau sedang berbincang dengan adiknya itu, beliau beberapa kali sempat berhenti berbicara dan melihat – lihat ke atas sambil tersenyum – senyum. Adiknya mengaku heran dengan kelakuan beliau.” Kenang KH. Ihsan Mansur.
Setelah cukup lama mereka berbincang – bincang, adiknya pun berpamitan untuk pulang kembali ke rumahnya. Begitu adiknya belalu, KH. Abdullah Mansur kemudian memanggil – manggil istrinya, Hj. Nafisatun Nisa, namun belum sampai istrinya itu ke kamar tiba – tiba ia mendengar KH. Abdullah Mansur berdzikir dan bertakbir, “Allahu Akbar!” dzikirnya terdengar sampai beberapa kali.
Sesampainya di kamar suami, Hj. Nafisatun Nisa terkejut setelah mendapati suaminya sudah dalam keadaan tertelungkup atau bersujud menghadap kiblat layaknya orang shalat. Beliau kemudian bergegas mendekati suaminya dan mencoba mengusik tubuh suaminya, namun tak jua bergerak. Lagi karena penasaran dengan tingkah suaminya, beliau kemudian membalikkan posisi tubuh suaminya dan betata terkejutnya beliau karena tubuh suaminya benar – benar lunglai tak bergerak dan anehnya lagi ia mendapati suaminya telah terpejam matanya dan bibirnya tersenyum. Seketika beliau langsung memanggil anak – anaknya.
“Begitu melihat bapak sudah tidak bergerak lagi, semua adik – adik saya menangis. Mereka tahu bahwa bapak sudah meninggal. Tetapi saya bilang kepada mereka bahwa bapak hanya pingsan. Kami usik – usik tubuh bapak, tetapi beliau tidak juga bergerak. Karena penasaran saya mengambil cermin dan mendekatkan ujung cermin itu ke ujung hidung bapak. Kami ingin memastikan apakah bapak masih mengeluarkan nafas atau tidak.
Ternyata tidak ada bekas nafas bapak di cermin itu. tetapi saya belum yakin kalau bapak sudah meninggal. Karena itu saya panggilkan dokter untuk memastikan keadaan bapak akan tetapi mereka pun menyatakan bahwa bapak memang sudah meninggal dunia.” Kenang KH. Ihsan Mansur.
Karena masih belum juga percaya bahwa ayahnya telah meninggal, KH. Ihsan Mansur meminta untuk membiarkan jasad ayahnya dulu selama dua jam dan jangan dimandikan. Atas persetujuan keluarga, akhirnya mereka pun mendiamkan jasad KH. Abdullah Mansur selama dua jam dan tidak dibiarkan untuk tidak diapa – apakan dahulu.
Namun anehnya kala itu, sudah banyak orang yang berbondong – bondong datang ke rumahnya, mereka mengaku mendengar kabar bahwa KH. Abdullah Mansur telah meninggal dunia.
Hingga keesokan harinya, semakin banyak saja tamu yang berdatangan untuk bertakziah dan ingin ikut mengurusi jasad almarhum, terutama menyolatkannya. Begitu banyak orang – orang yang ingin tutu menyolati jasad almarhum, karena begitu banyaknya, akhirnya sholat jenazah itu dilaksanakan secara bergantian.
Sholat jenazah dilakukan dari jam tujuh pagi dan baru selesai pada pukul sepuluh pagi. “Sebenarnya waktu itu masih banyak yang ingin menyolati jasad almarhum, namun karena waktunya sudah siang. Akhirnya oleh KH. Aang Encun, shalat jenazah itu diberhentikan pada pukul sepuluh saja.” Demikian ujar KH Ihsan Mansur.
Setelah sholat jenazah selesai, jasad beliau kemudian dibawa ke are pemakaman yang berjarak agaknya satu kilometer dari rumahnya. Saking banyaknya orang yang turut ingin menggotong kerana (kurung batang) jasad beliau.
Akhirnya keranda itu tak sempat digotong melainkan diberikan secara estafet oleh orang – orang yang sudah berkerumun dan berbaris sepanjang rumah beliau hingga lokasi pemakaman, sehingga orang – orang pun tak perlu menggotongnya dengan berjalan.
Setelah prosesi pemakaman selesai, sore harinya terjadi suatu keanehan lain. Para tamu menyaksikan satu cahaya kuning secara terang benderang terpancar dari menara masjid.
“Semua orang yang berada di situ melihat cahaya tersebut, termasuk saya sendiri. Cahaya itu keluar lewat menara masjid setelah ashar dan terus melesat ke atas sampai menghilang dari penglihatan. Saya sendiri tidak tahu apakah cahaya yang kelaur dari masjid itu. tetapi itu mungkin satu isyarat selama hidupnya beliau kan selalu berada di masjid kalau tidak menerima tamu. Ada kotoran atau retak – retak sedikit saja pada masjid, beliau pasti tahu.” Kenang KH Ihsan Mansur.
Siapakah KH. Abdullah Mansur?
Beliau merupakan pemimpin Pondok Pesantren Al-Mukmin yang terletak di Kampung Pasir Rengit, Desa Jaya Bakti, Kecamatan Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. Menurut KH. Ihsan Mansur, selama hayatnya, beliau merupakan sosok yang gemar hidup dalam kesederhanaan. Ia ingat betul tatkala mereka makan bersama dalam satu keluarga, KH. Abdullah Mansur kerapkali menangis sebelum memasukkan nasi ke dalam mulutnya seraya mengingatkan kepada anak – anaknya untuk senantiasa bersyukur karena mereka masih diberi rizki untuk makan.
“Kalau mau makan bersama, Bapak sering menangis. Bapak selalu bilang kepada kami, ‘Alhamdulillah, kita masih diberi rizki padahal masih banyak orang – orang diluar yang tidak bisa makan seperti kita.’. begitu juga kalau dibelikan baju baru, bapak selalu bilang seperti itu.” cerita KH. Ihsan Mansur.
Selain itu, almarhum juga dikenal dekat dengan santri – santrinya. Beliau menyayangi mereka semua seperti halnya beliau menyayangi anak – anaknya. Tak pernah sekalipun beliau membedakan antara anak dan santrinya, begitu juga dengan biaya, beliau selalu melarang santri – santrinya untuk membayar uang makan maupun uang pengajian. Semua biaya santri ditanggung oleh beliau. Bahkan beliau juga membelikan santri – santrinya pakaian. Namun di samping itu, beliau agak keras dan tegas dalam hal mengingatkan anak – anaknya untuk senantiasa shalat tahajud dan shalat berjamaah.
“Bapak paling benci melihat anak – anaknya shalat di rumah. Kalau ada anaknya yang mau shalat di rumah dan ketahuan oleh bapak pasti langsung diusir.” Kenang KH Ihsan Mansur.
Menurut anaknya, beliau tak pernah takut kepada siapapun apalagi jiklaau menyangkut masalah dakwah islamiyah. Namun demikian beliau begitu segan dengan orang tuanya, kaum dhuafa, dan juga guru – gurunya. Pernah suatu ketika ada di kampung tetangga almarhum, ada aliran sesat yang dibawa dan hendak disebarluaskan di kampung tersebut. Ajaran itu dibawa oleh seorang tentara, mengetahui akan hal itu, beliau segera bertindak maju di atas podium dan meluruskan aliran sesat itu.
“Ternyata, tentara itu marah kepada beliau. Tentara itu naik ke atas panggung dan menodongkan pistol ke arah tubuh beliau. Namun beliau tidak gentar sedikitpun, tentara itu semakin marah dan langsung melepaskan tembakan. Tetapi anehnya pistrol tersebut tidak bisa meletus.” Cerita KH Ihsan Mansur.
Selama hidupnya, beliau memang begitu segan dan menghormati guru – gurunya. Setiap waktu, beliau senantiasa mengunjungi mereka untuk sekadar bersilaturahmi dan bahkan memberikan mereka ongkos untuk berhaji, padahal guru beliau jumlahnya ada 46, semuanya beliau hajikan baik yang kaya maupun yang sederhana.
“Salah satu wasiat yang sering beliau ungkapkan kepada kami adalah jangan meninggalkan shalat berjamaah dan jangan mengunjungi murid – murid. Mungkin beliau tidak mau jika kunjungannya merepotkan murid – muridnya, beliau juga berpesan kalau mau pergi ke suatu tempat, baik untuk bertamu maupun untuk berdakwah hendaklah mengisi perut dan saku terlebih dahulu. Dengan begitu, kita akhan pulang dalam keadaan ikhlas (tanpa mengharap imbalan).” Kenang KH. Ihsan Mansur.
Demikian, akhir yang indah dari KH. Abdullah Mansur seorang ulama shaleh yang dikenal dermawan dan begitu sederhana. Semoga keteladanan hidup beliau dapat kita ambil untuk pelajaran hidup kita. Aamiin