Agaknya ia kini terkurung rapuh dalam ranjangnya, ia kini hanya bisa merintih dan merepotkanmu minta di ambilkan sekadar air minum atau segala keperluan lain. Sebab barangkali tulangnya kini telah runyam termakan masa, usianya hampir enam puluhan, kedua kakinya yang kian lapuk bahkan acapkali bergetar meski hanya untuk menopang tubuhnya sendiri berdiri. Ialah ibumu, yang kini telah terenggut kekuatan jasmaniah dan rohaniahnya oleh usia, ia kini terbelenggu macam – macam penyakit yang bersarang di setiap organ tubuhnya.
Mungkin juga terkadang kau sendiri harus merasa jijik dan terepotkan sebab tiap hari harus membersihkan serakan air kencingnya di lantai. Atau barangkali suatu saat kau mulai lelah dengan segala ulah – ulahnya akibat ketidak berdayaannya kini?
Ialah ibu terkasihmu itu, yang mungkin barangkali masih terekam sedu belai kasihnya padamu bertahun – tahun silam. Tatkala jemarinya yang masih cekatan menyuapimu supaya kau mau makan, tatkala langkah kakinya masih kukuh untuk menggendongmu setiap malam menjelang, tatkala suaranya masih kuat terdengar untuk menghiburmu yang menangis tengah malam. Ialah ibumu, yang dengan penuh kasih rela mengorbankan segenap tenaganya yang telah terkuras mengerjakan segala keperluan domestik untuk mengantar dan menunggumu sekolah, tiap pagi ia sediakan sarapan, memeriksa PR dan buku perlajaranmu dan menyisipkan uang saku. Hingga tatkala kau pulang dari sekolah ia bertanya, “Bagaimana sekolahmu hari ini nak?”, “Berapa nilaimu?”.
Kelopak matanya yang keriput menghitam dan terlihat kuyu karena terjaga semalaman untuk melayani dan menjagamu saat kau sakit. Ialah ibumu, barangkali masih begitu lamat otak lapuk ini mengenangnya. Dan sekarang ia telah begitu renta, ia tak mampu berbuat apa – apa, walau bahkan hanya untuk mengangkat badannya sendiri.
Namun mengapa kau merasa keberatan untuk merawatnya, mengapa kau banyak mengeluh untuk melayani kemauannya. Mengapa kau harus merasa jijik untuk memandikan dan membersihkan kotorannya? Bahkan tidak sedikit penulis jumpai, para anak yang tega menitipkan orang tuanya yang telah renta ke panti jumpo, sementara mereka sendiri hakikatnya masih mampu dan mungkin untuk merawatnya sendiri di rumah.
Bila tidak bisa berbuat kasih kepada orang tua, lalu apa salahnya sedikit membalas jasa atas kasihnya hingga kita tumbuh sebesar dan sesukses ini.
Mereka layak di perlakukan dengan baik, mereka layak di perhatikan sebagaimana posisi dan hak mereka sebagai ibu yang telah mengandung dan membersarkan anaknya. Mereka layak mendapatkan perawatan dan sentuhan kasih langsung dari anaknya yang lembut dan ikhlas tanpa kata – kata penghakiman, hinaan, cemoohan ataupun bentakan dari mulut sang anak hanya karena ulah yang di sebabkan karena ketidak berdayaannya.
Mengenai realita di atas, tetiba imaji penulis melambung pada suatu kisah yang patutnya dapat kita teladani, yakn Uwais Al Qarni, seorang pemuda fakir yang konon begitu istimewa di mata Nabi. tak hanya istimewa di mata Nabi, ia pun konon makhluk tersohor dan begitu masyhur di langit. Ia tinggal di Yaman hanya bersama ibunya yang renta, lumpuh dan buta.
Untuk menghidupi dirinya juga ibunya, ia mengais riski dengan menggembalakan kambing dan unta milik orang. Begitu ikhlas ia menekuni pekerjaannya itu sebagai wujud bakti dan kasihnya kepada sang ibu, kali – kali bila uangnya lebih senantiasa ia sisipkan untuk orang lain yang membutuhkan.
Selain taat kepada sang ibu, Uwais juga di kenal ahli ibadah. Hari – harinya ia habiskan untuk bersungkur sujud di hadapan Tuhan, terutama pada tengah – tengah malam, ia terjaga menunaikan shalat – shalat malam, ia lakoni juga puasa dan peribadahan lain. Namun, di samping itu sesungguhnya ia bersedih dan iri tatkala menyaksikan banyak tetangganya yang pulang dari Madinah dan bisa berjumpa dengan Nabi. Sebenarnya telah begitu memendam rindu pada sosok Muhammad kekasih Allah itu, bahkan saking cintanya, ia pun turut menggetok giginya dengan batu hingga terpatah tatkala mendengar patahnya gigi Nabi saat perang Uhud.
Hingga suatu hari, mengamini rasa rindunya pada sang terkasih utusan Allah yang kian membuncah itu, ia dekati ibunya, melimpahkan segenap maksud dan isi hatinya dan memohon izin kepada sang ibu untuk di perkenankan pergi menemui Rasulullah di Madinah. Ibu Uwais yang sudah uzur itu begitu terharu seraya berkata, “Pergilah wahai Uwais anakku, temuilah nabi di rumahnya dan bila telah berjumpa padanya, segeralah engkau kembali pulang”.
Alangkah gembira hati Uwais mendengarkan ucapan ibunya itu. Bersegeralah ia berkemas, tak lupa ia persiapkan segala keperluan sang ibu di rumah serta berpesan kepada tetanggnya supaya dapat menemani atau sekadar menjaganya selama ia pergi. Sesudah berpamitan dan mencium ibunya, Uwais bergegas menuju Madinah.
Setelah menempuh perjalanan yang begitu jauh selama berhari – hari, tibalah ia di rumah Nabi. ia ketuk pintu rumahnya seraya mengucapkan salam hingga keluar seorang seraya membalas salamnya. Namun rupanya, Nabi sedang tidak berada di rumahnya, beliau sedang berada di medan pertempuran. Betapa kecewa hati Uwais. Dari jauh ia datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi, utusan Allah yang telah lama di rindukannya itu. Namun malangnya harapan itu sirna.
Dalam lubuk hati Uwais Al Qarni, bergejolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi dari medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang? Sedangkan masih begitu terekam di perkupingannya akan pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia lekas pulang ke Yaman, “Engkau harus lepas pulang.”
Akhirnya, demi mewujudkan bakti dan ketaatan pada ibunya, bayangan akan ibunya di rumah mampu mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi. Karena hal itu tidak mungkin, Uwais Al Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti Aisyah r.a., untuk segera pulang kembali ke Yaman seraya menitipkan salamnya untuk Nabi. Setelah itu, Uwais pun segera berlalu pulang mengayunkan lengkahnya dengan perasaan amat sedih haru biru.
Peperangan telah usai dan Nabi pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi menanyakan kepada Siti Aisyah r.a., tentang orang yang mencarinya. Nabi menyampaikan bahwa Uwais anak yang di kenal begitu bakti pada ibunya adalah pesohor langit. Mendengar perkataan Nabi, Siti Aisyah r.a. dan para sahabat tertegun.
Menurut keterangan Siti Aisyah r.a. memang benar ada yang mencari Nabi dan segera pulang ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi Muhammad melanjutkan keterangan ihwal Uwais Al Qarni, penghuni langit itu, kepada sahabatnya, “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda putih di tengah telapak tangannya.”
Sesudah itu Nabi menatap lamat Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab seraya berkata, “Suatu ketika apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.”
Masa kian bergilir, dan Nabi kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun telah digantikan pula oleh Umar bin Khattab. Syahdan tatkala Khalifah Umar teringat akan sabda Nabi ihwal Uwais Al Qarni sang pesohor langit. Beliau segera mengingatkan kembali sabda Nabi itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib selalu menanyakan tentang Uwais Al Qarni, si fakir yang tak punya apa-apa itu. yang kerjanya hanya menggembalakan domba dan unta setiap hari? Mengapa Khalifah Umar dan sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib selalu menanyakan dia?
Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais Al Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu pun tiba di kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang baru datang dari Yaman, segera Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais Al Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu mengatakan bahwa Uwais ada bersama mereka, dia sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib segera pergi menjumpai Uwais Al Qarni.
Tetibanya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib memberi salam. Tapi rupanya Uwais sedang menunaikan shalat. Setelah mengakhiri shalatnya dengan salam, barulah Uwais menjawab salam Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib sambil mendekati kedua sahabat Nabi tersebut. Lantas ia ulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah dengan segera membalikan telapak tangan Uwais, seperti yang pernah dikatakan Nabi. Memang benar! Tampaklah tanda putih di telapak tangan Uwais Al Qarni.
Wajah Uwais nampak bercahaya. Sebagaimana sabda nabi, ia adalah penghuni langit. Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib menanyakan namanya, dan dijawab, “Abdullah”. Mendengar jawaban Uwais, mereka tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?” Uwais kemudian berkata, “Nama saya Uwais Al Qarni”.
Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. akhirnya Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib memohon agar Uwais membacakan doa dan Istighfar untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “Saya lah yang harus meminta do’a pada kalian”.
Mendengar tanggapan Uwais, “Khalifah berkata, “Kami datang kesini untuk mohon doa dan istighfar dari Anda”. Seperti dikatakan Rasulullah sebelum wafatnya. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais Al Qarni akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan membacakan istighfar.
Setelah itu Khalifah Umar berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menampik dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”
Tatkala Uwais Al Qarni Wafat
Selang beberapa tahun kemudian, terisar kabar bahwa Uwais Al Qarni telah berpulang ke Rahmatullah. Anehnya, pada saat jasadnya hendak di mandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang ingin berebutan ingin memandikannya.
Dan tatkala di bawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun sudah banyak yang menunggu untuk mengafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburannya, di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa ke pekuburannya, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk menusungnya.
Wafatnya Uwais Al Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi peristiwa yang aganya begitu ganjil dan mengherankan. Sedemikian banyaknya orang tak di kenal yang berbondong – bondong berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais Al Qarni adalah seorang yang fakir dan tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu.
Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “Siapakah sebenarnya engkau Wahai Uwais Al Qarni? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai pengembala domba dan unta?
Tapi, ketika hari wafatnya, engkau menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal.mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya.
”Berita meninggalnya Uwais Al Qarni serta senarai kejanggalan yang terjadi ketika wafatnya telah tersebar kemana-mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya Uwais Al Qarni. Selama ini tidak ada orang yang mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al Qarni disebabkan permintaan Uwais Al Qarni sendiri kepada Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib agar merahasiakan tentang dia. Barulah di hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang telah di sabdakan oleh Nabi, bahwa Uwais Al Qarni adalah pesohor langit.
Demikian, uraian kisah mengenai Uwais al – Qarni, seorang pemuda fakir yang asmanya di kenang Nabi sebagai anak yang begitu bakti pada ibunya.
Adakah kini sesuatu yang benderang di ruang hatimu? Adakah kini engkau mafhum dan bersedia membalas jasa kasih ibumu dengan ridho, ikhlas penuh kelembutan? Dan adakah kini engkau tergerak hatinya untuk meminta maaf dan menciumi ibumu yang telah renta itu? Sebelum penulis akhiri, kiranya ada baiknya kita resapi lamat – lamat intisari sabda Rasulullah ketika beliau ditanya tentang peranan kedua orang tua. Dan beliau menjawab, “Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu.” (HR Ibnu Majah).
Mungkin juga terkadang kau sendiri harus merasa jijik dan terepotkan sebab tiap hari harus membersihkan serakan air kencingnya di lantai. Atau barangkali suatu saat kau mulai lelah dengan segala ulah – ulahnya akibat ketidak berdayaannya kini?
Ialah ibu terkasihmu itu, yang mungkin barangkali masih terekam sedu belai kasihnya padamu bertahun – tahun silam. Tatkala jemarinya yang masih cekatan menyuapimu supaya kau mau makan, tatkala langkah kakinya masih kukuh untuk menggendongmu setiap malam menjelang, tatkala suaranya masih kuat terdengar untuk menghiburmu yang menangis tengah malam. Ialah ibumu, yang dengan penuh kasih rela mengorbankan segenap tenaganya yang telah terkuras mengerjakan segala keperluan domestik untuk mengantar dan menunggumu sekolah, tiap pagi ia sediakan sarapan, memeriksa PR dan buku perlajaranmu dan menyisipkan uang saku. Hingga tatkala kau pulang dari sekolah ia bertanya, “Bagaimana sekolahmu hari ini nak?”, “Berapa nilaimu?”.
Kelopak matanya yang keriput menghitam dan terlihat kuyu karena terjaga semalaman untuk melayani dan menjagamu saat kau sakit. Ialah ibumu, barangkali masih begitu lamat otak lapuk ini mengenangnya. Dan sekarang ia telah begitu renta, ia tak mampu berbuat apa – apa, walau bahkan hanya untuk mengangkat badannya sendiri.
Namun mengapa kau merasa keberatan untuk merawatnya, mengapa kau banyak mengeluh untuk melayani kemauannya. Mengapa kau harus merasa jijik untuk memandikan dan membersihkan kotorannya? Bahkan tidak sedikit penulis jumpai, para anak yang tega menitipkan orang tuanya yang telah renta ke panti jumpo, sementara mereka sendiri hakikatnya masih mampu dan mungkin untuk merawatnya sendiri di rumah.
Bila tidak bisa berbuat kasih kepada orang tua, lalu apa salahnya sedikit membalas jasa atas kasihnya hingga kita tumbuh sebesar dan sesukses ini.
Mereka layak di perlakukan dengan baik, mereka layak di perhatikan sebagaimana posisi dan hak mereka sebagai ibu yang telah mengandung dan membersarkan anaknya. Mereka layak mendapatkan perawatan dan sentuhan kasih langsung dari anaknya yang lembut dan ikhlas tanpa kata – kata penghakiman, hinaan, cemoohan ataupun bentakan dari mulut sang anak hanya karena ulah yang di sebabkan karena ketidak berdayaannya.
Mengenai realita di atas, tetiba imaji penulis melambung pada suatu kisah yang patutnya dapat kita teladani, yakn Uwais Al Qarni, seorang pemuda fakir yang konon begitu istimewa di mata Nabi. tak hanya istimewa di mata Nabi, ia pun konon makhluk tersohor dan begitu masyhur di langit. Ia tinggal di Yaman hanya bersama ibunya yang renta, lumpuh dan buta.
Untuk menghidupi dirinya juga ibunya, ia mengais riski dengan menggembalakan kambing dan unta milik orang. Begitu ikhlas ia menekuni pekerjaannya itu sebagai wujud bakti dan kasihnya kepada sang ibu, kali – kali bila uangnya lebih senantiasa ia sisipkan untuk orang lain yang membutuhkan.
Selain taat kepada sang ibu, Uwais juga di kenal ahli ibadah. Hari – harinya ia habiskan untuk bersungkur sujud di hadapan Tuhan, terutama pada tengah – tengah malam, ia terjaga menunaikan shalat – shalat malam, ia lakoni juga puasa dan peribadahan lain. Namun, di samping itu sesungguhnya ia bersedih dan iri tatkala menyaksikan banyak tetangganya yang pulang dari Madinah dan bisa berjumpa dengan Nabi. Sebenarnya telah begitu memendam rindu pada sosok Muhammad kekasih Allah itu, bahkan saking cintanya, ia pun turut menggetok giginya dengan batu hingga terpatah tatkala mendengar patahnya gigi Nabi saat perang Uhud.
Hingga suatu hari, mengamini rasa rindunya pada sang terkasih utusan Allah yang kian membuncah itu, ia dekati ibunya, melimpahkan segenap maksud dan isi hatinya dan memohon izin kepada sang ibu untuk di perkenankan pergi menemui Rasulullah di Madinah. Ibu Uwais yang sudah uzur itu begitu terharu seraya berkata, “Pergilah wahai Uwais anakku, temuilah nabi di rumahnya dan bila telah berjumpa padanya, segeralah engkau kembali pulang”.
Alangkah gembira hati Uwais mendengarkan ucapan ibunya itu. Bersegeralah ia berkemas, tak lupa ia persiapkan segala keperluan sang ibu di rumah serta berpesan kepada tetanggnya supaya dapat menemani atau sekadar menjaganya selama ia pergi. Sesudah berpamitan dan mencium ibunya, Uwais bergegas menuju Madinah.
Setelah menempuh perjalanan yang begitu jauh selama berhari – hari, tibalah ia di rumah Nabi. ia ketuk pintu rumahnya seraya mengucapkan salam hingga keluar seorang seraya membalas salamnya. Namun rupanya, Nabi sedang tidak berada di rumahnya, beliau sedang berada di medan pertempuran. Betapa kecewa hati Uwais. Dari jauh ia datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi, utusan Allah yang telah lama di rindukannya itu. Namun malangnya harapan itu sirna.
Dalam lubuk hati Uwais Al Qarni, bergejolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi dari medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang? Sedangkan masih begitu terekam di perkupingannya akan pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia lekas pulang ke Yaman, “Engkau harus lepas pulang.”
Akhirnya, demi mewujudkan bakti dan ketaatan pada ibunya, bayangan akan ibunya di rumah mampu mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi. Karena hal itu tidak mungkin, Uwais Al Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti Aisyah r.a., untuk segera pulang kembali ke Yaman seraya menitipkan salamnya untuk Nabi. Setelah itu, Uwais pun segera berlalu pulang mengayunkan lengkahnya dengan perasaan amat sedih haru biru.
Peperangan telah usai dan Nabi pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi menanyakan kepada Siti Aisyah r.a., tentang orang yang mencarinya. Nabi menyampaikan bahwa Uwais anak yang di kenal begitu bakti pada ibunya adalah pesohor langit. Mendengar perkataan Nabi, Siti Aisyah r.a. dan para sahabat tertegun.
Menurut keterangan Siti Aisyah r.a. memang benar ada yang mencari Nabi dan segera pulang ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi Muhammad melanjutkan keterangan ihwal Uwais Al Qarni, penghuni langit itu, kepada sahabatnya, “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda putih di tengah telapak tangannya.”
Sesudah itu Nabi menatap lamat Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab seraya berkata, “Suatu ketika apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.”
Masa kian bergilir, dan Nabi kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun telah digantikan pula oleh Umar bin Khattab. Syahdan tatkala Khalifah Umar teringat akan sabda Nabi ihwal Uwais Al Qarni sang pesohor langit. Beliau segera mengingatkan kembali sabda Nabi itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib selalu menanyakan tentang Uwais Al Qarni, si fakir yang tak punya apa-apa itu. yang kerjanya hanya menggembalakan domba dan unta setiap hari? Mengapa Khalifah Umar dan sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib selalu menanyakan dia?
Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais Al Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu pun tiba di kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang baru datang dari Yaman, segera Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais Al Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu mengatakan bahwa Uwais ada bersama mereka, dia sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib segera pergi menjumpai Uwais Al Qarni.
Tetibanya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib memberi salam. Tapi rupanya Uwais sedang menunaikan shalat. Setelah mengakhiri shalatnya dengan salam, barulah Uwais menjawab salam Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib sambil mendekati kedua sahabat Nabi tersebut. Lantas ia ulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah dengan segera membalikan telapak tangan Uwais, seperti yang pernah dikatakan Nabi. Memang benar! Tampaklah tanda putih di telapak tangan Uwais Al Qarni.
Wajah Uwais nampak bercahaya. Sebagaimana sabda nabi, ia adalah penghuni langit. Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib menanyakan namanya, dan dijawab, “Abdullah”. Mendengar jawaban Uwais, mereka tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?” Uwais kemudian berkata, “Nama saya Uwais Al Qarni”.
Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. akhirnya Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib memohon agar Uwais membacakan doa dan Istighfar untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “Saya lah yang harus meminta do’a pada kalian”.
Mendengar tanggapan Uwais, “Khalifah berkata, “Kami datang kesini untuk mohon doa dan istighfar dari Anda”. Seperti dikatakan Rasulullah sebelum wafatnya. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais Al Qarni akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan membacakan istighfar.
Setelah itu Khalifah Umar berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menampik dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”
Tatkala Uwais Al Qarni Wafat
Selang beberapa tahun kemudian, terisar kabar bahwa Uwais Al Qarni telah berpulang ke Rahmatullah. Anehnya, pada saat jasadnya hendak di mandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang ingin berebutan ingin memandikannya.
Dan tatkala di bawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun sudah banyak yang menunggu untuk mengafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburannya, di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa ke pekuburannya, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk menusungnya.
Wafatnya Uwais Al Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi peristiwa yang aganya begitu ganjil dan mengherankan. Sedemikian banyaknya orang tak di kenal yang berbondong – bondong berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais Al Qarni adalah seorang yang fakir dan tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu.
Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “Siapakah sebenarnya engkau Wahai Uwais Al Qarni? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai pengembala domba dan unta?
Tapi, ketika hari wafatnya, engkau menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal.mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya.
”Berita meninggalnya Uwais Al Qarni serta senarai kejanggalan yang terjadi ketika wafatnya telah tersebar kemana-mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya Uwais Al Qarni. Selama ini tidak ada orang yang mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al Qarni disebabkan permintaan Uwais Al Qarni sendiri kepada Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib agar merahasiakan tentang dia. Barulah di hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang telah di sabdakan oleh Nabi, bahwa Uwais Al Qarni adalah pesohor langit.
Demikian, uraian kisah mengenai Uwais al – Qarni, seorang pemuda fakir yang asmanya di kenang Nabi sebagai anak yang begitu bakti pada ibunya.
Adakah kini sesuatu yang benderang di ruang hatimu? Adakah kini engkau mafhum dan bersedia membalas jasa kasih ibumu dengan ridho, ikhlas penuh kelembutan? Dan adakah kini engkau tergerak hatinya untuk meminta maaf dan menciumi ibumu yang telah renta itu? Sebelum penulis akhiri, kiranya ada baiknya kita resapi lamat – lamat intisari sabda Rasulullah ketika beliau ditanya tentang peranan kedua orang tua. Dan beliau menjawab, “Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu.” (HR Ibnu Majah).