Tamparan Keras Mantan Menteri Agama Untuk Da’i Televisi │ Televisi atau TV memang menjadi semacam kebutuhan primer di masyarakat karena didalamnya seseorang bisa mendapatkan berbagai hiburan, pendidikan dan yang lainnya.
Dengan banyaknya muslim yang memiliki televisi, otomatis para pengelola TV pun menyediakan ruang atau waktu untuk acara dakwah dengan berbagai format yang menarik. Salah satu strategi yang digunakan adalah dengan menggunakan da’i yang ganteng, menarik dan mampu menarik perhatian pemirsa. Padahal dari segi kapasitas ilmu sangatlah kurang.
Fenomena ini mengusik mantan Menteri Agama RI Sayid Agil Husin Al Munawwar yang terkadang melihat para da’i salah dalam memaknai suatu ayat Al Qur’an dan juga Hadist Rasulullah. Hal ini diungkapkannya ketika menghadiri sebuah acara di Pesawaran, Lampung pada hari Sabtu (21/5/2016).
Belum lagi adanya selebritis yang baru bertobat dan dijadikan nara sumber. Kemudian dalam ceramahnya menyalah-nyalahkan ulama atau kyai yang sudah cukup lama belajar di pesantren ataupun perguruan tinggi. Dan masyarakat kemudian mempercayai apa yang diucapkannya tersebut tanpa terlebih dahulu bertabayun.
Bahkan jika dilihat dengan seksama banyak da’i yang memperlihatkan keduniaannya yang mewah kepada masyarakat sehingga da’i semacam itu bukan lagi menjadi seorang panutan, melainkan seorang penghibur dengan konten agama sebagai materi hiburannya.
Tampilnya da’i di televisi juga membuat mereka menarifkan harga yang mahal sehingga menyebabkan ia jauh dengan masyarakat. Seakan dakwah ini begitu mahal dan membuat orang pedesaan yang butuh ilmu tak mampu mencapainya.
Belum lagi perjalanan hidup da’i tersebut yang sering bepergian ke berbagai dunia atau membeli barang mewah. Padahal warga masyarakat dengan susah payah berusaha mendatangkan da’i tersebut secara patungan di tengah kemiskinan yang melanda negeri. Dengan kata lain berdakwah kini bukan lagi panggilan jiwa, melainkan sebuh profesi yang sah dan patut untuk ditarif dengan harga yang tinggi.
Jika seperti itu, maka pesan yang disampaikan hanya akan masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Dakwah bukan lagi dari hati ke hati lagi yang mampu mengubah masyarakat dengan pesan yang disampaikannya serta pendakwah bukan lagi tokoh agama yang bisa menjadi panutan.
Televisi memang menjadi industri yang hanya memikirkan bagaimana caranya agar setiap tayangan bisa memiliki rating tinggi sehingga semakin banyak pengiklan yang masuk. Sementara untuk kualitas dari kontennya akan dijadikan penilaian terakhir. Ini pun membuat banyak keluhan di masyarakat yang menyatakan bahwa acara di TV sekarang ini tidaklah bermutu dan lebih condong untuk merusak masyarakat.
KPI yang memiliki tugas dalam bidang pengawasan mutu acara televisi pun kini seakan tidak mampu menjalankan tugasnya dengan maksimal dikarenakan harus berhadapan langsung dengan nama media televisi yang semakin membesar.
Seharusnya da’i yang tampil di televisi seperti almarhum KH Zainuddin MZ yang memiliki keilmuan mumpuni dengan gaya penyampaian yang menarik. Namun sayangnya media televisi hanya ingin instan mencari da’i yang terlihat populer, meskipun keilmuannya belum memadai dan merugikan masyarakat.
Setujukah dengan yang diucapkan oleh mantan Menteri Agama tersebut?
Dengan banyaknya muslim yang memiliki televisi, otomatis para pengelola TV pun menyediakan ruang atau waktu untuk acara dakwah dengan berbagai format yang menarik. Salah satu strategi yang digunakan adalah dengan menggunakan da’i yang ganteng, menarik dan mampu menarik perhatian pemirsa. Padahal dari segi kapasitas ilmu sangatlah kurang.
Fenomena ini mengusik mantan Menteri Agama RI Sayid Agil Husin Al Munawwar yang terkadang melihat para da’i salah dalam memaknai suatu ayat Al Qur’an dan juga Hadist Rasulullah. Hal ini diungkapkannya ketika menghadiri sebuah acara di Pesawaran, Lampung pada hari Sabtu (21/5/2016).
Belum lagi adanya selebritis yang baru bertobat dan dijadikan nara sumber. Kemudian dalam ceramahnya menyalah-nyalahkan ulama atau kyai yang sudah cukup lama belajar di pesantren ataupun perguruan tinggi. Dan masyarakat kemudian mempercayai apa yang diucapkannya tersebut tanpa terlebih dahulu bertabayun.
Bahkan jika dilihat dengan seksama banyak da’i yang memperlihatkan keduniaannya yang mewah kepada masyarakat sehingga da’i semacam itu bukan lagi menjadi seorang panutan, melainkan seorang penghibur dengan konten agama sebagai materi hiburannya.
Tampilnya da’i di televisi juga membuat mereka menarifkan harga yang mahal sehingga menyebabkan ia jauh dengan masyarakat. Seakan dakwah ini begitu mahal dan membuat orang pedesaan yang butuh ilmu tak mampu mencapainya.
Belum lagi perjalanan hidup da’i tersebut yang sering bepergian ke berbagai dunia atau membeli barang mewah. Padahal warga masyarakat dengan susah payah berusaha mendatangkan da’i tersebut secara patungan di tengah kemiskinan yang melanda negeri. Dengan kata lain berdakwah kini bukan lagi panggilan jiwa, melainkan sebuh profesi yang sah dan patut untuk ditarif dengan harga yang tinggi.
Jika seperti itu, maka pesan yang disampaikan hanya akan masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Dakwah bukan lagi dari hati ke hati lagi yang mampu mengubah masyarakat dengan pesan yang disampaikannya serta pendakwah bukan lagi tokoh agama yang bisa menjadi panutan.
Televisi memang menjadi industri yang hanya memikirkan bagaimana caranya agar setiap tayangan bisa memiliki rating tinggi sehingga semakin banyak pengiklan yang masuk. Sementara untuk kualitas dari kontennya akan dijadikan penilaian terakhir. Ini pun membuat banyak keluhan di masyarakat yang menyatakan bahwa acara di TV sekarang ini tidaklah bermutu dan lebih condong untuk merusak masyarakat.
KPI yang memiliki tugas dalam bidang pengawasan mutu acara televisi pun kini seakan tidak mampu menjalankan tugasnya dengan maksimal dikarenakan harus berhadapan langsung dengan nama media televisi yang semakin membesar.
Seharusnya da’i yang tampil di televisi seperti almarhum KH Zainuddin MZ yang memiliki keilmuan mumpuni dengan gaya penyampaian yang menarik. Namun sayangnya media televisi hanya ingin instan mencari da’i yang terlihat populer, meskipun keilmuannya belum memadai dan merugikan masyarakat.
Baca Juga: Pendakwah Tak Pantas Meminta TarifAlangkah lebih baiknya jika industri televisi bekerja sama dengan pihak pesantren ataupun organisasi islam untuk menemukan da’i yang benar-benar mumpuni, meskipun perlu ada polesan agar tampil lebih menarik. Namun jika hal ini dilakukan, maka dalam jangka waktu panjang, da’i yang berkualitas pun bisa menguntungkan pihak televisi sekaligus masyarakat.
Setujukah dengan yang diucapkan oleh mantan Menteri Agama tersebut?