Banyak orang bertanya-tanya, sebenarnya apa arti istidraj? dan apa penyebab terjadinya istidraj? Barangkali kita pernah melihat seseorang yang suka maksiat namun rezekinya lancar dan semakin dia jauh dari Allah maka semakin lancar pula rezeki yang datang padanya. Nah, gambaran gamblangnya dari arti istidraj adalah seperti itu.
Pengertian dan Arti Kata Istidraj
Dari segi bahasa, Istidraj berasal dari kata da-ro-ja (Al-Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyah, درج ) yang artinya naik dari satu tingkatan ke tingkatan yang lebih tinggi. Namun kata Istidraj ini lebih menuju ke arah ‘hukuman’ yang diberikan sedikit demi sedikit dan terkesan seperti membuai pelakunya. Allah sengaja membiarkan orang ini tidak disegerakan adzabnya.
Dari Uqbah bin Amir radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika kamu melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu sebenarnya adalah istidraj dari Allah.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah,
“Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) (HR. Ahmad).
Istidraj sendiri juga disebut dalam Al Qur'an,
“Nanti Kami akan menghukum mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-Qalam: 44)
Dari berbagai dalil diatas, Kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pengertian Istidraj adalah kesenangan dan nikmat yang Allah berikan kepada orang yang jauh dari-Nya yang sebenarnya itu adalah merupakan jebakan dan menjadi azab baginya apakah dia mau bertaubat dan bersyukur atau semakin jauh dan kufur.
Sederhananya adalah, jika kita lihat seseorang yang menjauh dari Allah, semakin tidak ikhlas, berkurang kuantitas dan kualitas ibadahnya, sementara maksiat yang ia lakukan semakin banyak, baik maksiat kepada Allah maupun manusia, namun Allah berikan padanya rezeki yang melimpah ruah, kesenangan hidup yang mudah didapatkan, tak pernah sakit dan terkena musibah, panjang umur, bahkan Allah berikan keluarbiasaan pada kekuatan tubuhnya. Maka, waspadalah bisa jadi ini adalah istidraj, bukan karomah. Pelan tapi pasti, Allah akan menariknya dalam kebinasaan.
Contoh Istidraj
Jadi, ketika Allah membiarkan kita:
1. Sengaja meninggalkan shalat.
2. Sengaja meninggalkan puasa.
3. Tidak ada perasaan berdosa ketika bermaksiat dan membuka aurat.
4. Berat untuk bershadaqah.
5. Merasa bangga dengan apa yang dimiliki.
6. Mengabaikan semua atau mungkin sebagian perintah Allah.
7. Menganggap enteng perintah- perintah Allah.
8. Merasa umurnya panjang dan menunda-nunda taubat.
9. Tidak mau menuntut ilmu syar'I.
10. Lupa akan kematian.
Namun Allah tetap memberikan kita:
1. Rezeki yang melimpah ruah.
2. Kesenangan terus menerus.
3. Dikagumi dan disanjung banyak orang.
4. Tak pernah diberi sakit dan penyakit.
5. Tak pernah terkena musibah.
6. Hidupnya merasa aman sentosa.
Hati-hati karena semuanya itu adalah ISTIDRAJ ... Ini merupakan bentuk kesengajaan dan pembiaran yang dilakukan Allah pada hambaNya yang sengaja berpaling dari perintah-perintah Allah, Allah menunda segala bentuk adzabNya.
Kisah Istidraj dalam Al Qur'an
Dalam surat Al Qalam diceritakan tentang kisah pemilik kebun yang terjangkit Istidraj,
Dalam kitab tafsirnya, Syaikh As Sa’di menjelaskan ayat diatas,
“Kisah di atas menunjukkan tentang bagaimanakah akhir keadaan orang-orang yang mendustakan kebaikan. Mereka telah diberi harta, anak, umur yang panjang serta berbagai nikmat yang mereka inginkan. Semua itu diberikan bukan karena mereka memang mulia. Namun diberikan sebagai bentuk istidraj tanpa mereka sadari.“ (Tafsir As Sa’di, hal. 928)
Jika ada di antara kita, saat ini rezeki sangat mudah didapat atau dengan gampang meraih pangkat dan menduduki jabatan bergengsi, jangan buru-buru melantunkan kata Alhamdulilah. Melainkan hendaknya harus mengoreksi diri dan intropeksi.
Sebab, jika semua itu adalah hasil dari korupsi, suap atau cara-cara lain yang diharamkan, semua kebahagiaan duniawi dan jabatan yang bergengsi itu bukanlah suatu ni'mat yang harus disyukuri, melainkan justru niqmah atau bencana yang harus diwaspadai.
Apabila kita lihat ada orang yang tidak pernah melakukan shalat, sering tidak puasa Ramadhan, jauh dari Allah, namun hidupnya terlihat makmur, sentosa dan bergelimang banyak harta, maka jelas ini adalah istidraj.
Ketika kita lihat ada kelompok atau organisasi yang menghidupi anggota dan organisasinya dari uang haram, namun terlihat lebih maju dengan semakin bertambahnya anggota dan pendukungnya atau semakin luasnya pengaruh dan cabang-cabang di seluruh nusantara, ini pun juga termasuk salah satu bentuk istidraj.
Jika kita lihat seseorang meraih pangkat dan jabatan atau kemenangan dengan cara-cara yang dzalim yang diharamkan oleh agama, maka hal ini juga salah satu contoh istidraj.
Demikian juga, jika ada negara yang ingkar pada Allah, melegalkan beragam bentuk maksiat, menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, memusuhi orang-orang yang mencintai Allah dan utusan-Nya, namun secara dzahir terlihat tampak berkembang bahkan maju di beragam aspek kehidupan, maka hal ini juga salah satu dari bentuk bentuk istidraj.
Begitu dahsyatnya bahaya istidraj, sampai-sampai Sayyidina Umar bin Khaththab pernah berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu menjadi mustadraj (orang yang ditarik dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan)" (Al Umm, Imam Syafi'i, IV/157).
Maka, waspadalah terhadap istidraj, karena ia adalah kenikmatan dan penguluran waktu yang akhirnya akan membinasakan. Na'udzubillahi min dzalik.
Marilah kita berusaha menjauhi maksiat dengan jujur. Semoga segala nikmat yang Allah beri pada kita bukan merupakan istidraj.
Bahaya Istidraj |
Pengertian dan Arti Kata Istidraj
Dari segi bahasa, Istidraj berasal dari kata da-ro-ja (Al-Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyah, درج ) yang artinya naik dari satu tingkatan ke tingkatan yang lebih tinggi. Namun kata Istidraj ini lebih menuju ke arah ‘hukuman’ yang diberikan sedikit demi sedikit dan terkesan seperti membuai pelakunya. Allah sengaja membiarkan orang ini tidak disegerakan adzabnya.
Dari Uqbah bin Amir radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ تَعَالى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ
“Jika kamu melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu sebenarnya adalah istidraj dari Allah.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah,
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
“Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) (HR. Ahmad).
Istidraj sendiri juga disebut dalam Al Qur'an,
سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لاَ يَعْلَمُونَ
“Nanti Kami akan menghukum mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-Qalam: 44)
Dari berbagai dalil diatas, Kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pengertian Istidraj adalah kesenangan dan nikmat yang Allah berikan kepada orang yang jauh dari-Nya yang sebenarnya itu adalah merupakan jebakan dan menjadi azab baginya apakah dia mau bertaubat dan bersyukur atau semakin jauh dan kufur.
Sederhananya adalah, jika kita lihat seseorang yang menjauh dari Allah, semakin tidak ikhlas, berkurang kuantitas dan kualitas ibadahnya, sementara maksiat yang ia lakukan semakin banyak, baik maksiat kepada Allah maupun manusia, namun Allah berikan padanya rezeki yang melimpah ruah, kesenangan hidup yang mudah didapatkan, tak pernah sakit dan terkena musibah, panjang umur, bahkan Allah berikan keluarbiasaan pada kekuatan tubuhnya. Maka, waspadalah bisa jadi ini adalah istidraj, bukan karomah. Pelan tapi pasti, Allah akan menariknya dalam kebinasaan.
Contoh Istidraj
Jadi, ketika Allah membiarkan kita:
1. Sengaja meninggalkan shalat.
2. Sengaja meninggalkan puasa.
3. Tidak ada perasaan berdosa ketika bermaksiat dan membuka aurat.
4. Berat untuk bershadaqah.
5. Merasa bangga dengan apa yang dimiliki.
6. Mengabaikan semua atau mungkin sebagian perintah Allah.
7. Menganggap enteng perintah- perintah Allah.
8. Merasa umurnya panjang dan menunda-nunda taubat.
9. Tidak mau menuntut ilmu syar'I.
10. Lupa akan kematian.
Namun Allah tetap memberikan kita:
1. Rezeki yang melimpah ruah.
2. Kesenangan terus menerus.
3. Dikagumi dan disanjung banyak orang.
4. Tak pernah diberi sakit dan penyakit.
5. Tak pernah terkena musibah.
6. Hidupnya merasa aman sentosa.
Hati-hati karena semuanya itu adalah ISTIDRAJ ... Ini merupakan bentuk kesengajaan dan pembiaran yang dilakukan Allah pada hambaNya yang sengaja berpaling dari perintah-perintah Allah, Allah menunda segala bentuk adzabNya.
Kisah Istidraj dalam Al Qur'an
Dalam surat Al Qalam diceritakan tentang kisah pemilik kebun yang terjangkit Istidraj,
إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ (17) وَلَا يَسْتَثْنُونَ (18) فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ (19) فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ (20) فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ (21) أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَارِمِينَ (22) فَانْطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ (23) أَنْ لَا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ (24) وَغَدَوْا عَلَى حَرْدٍ قَادِرِينَ (25) فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ (26) بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ (27) قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ (28) قَالُوا سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ (29) فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَلَاوَمُونَ (30) قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا طَاغِينَ (31) عَسَى رَبُّنَا أَنْ يُبْدِلَنَا خَيْرًا مِنْهَا إِنَّا إِلَى رَبِّنَا رَاغِبُونَ (32) كَذَلِكَ الْعَذَابُ وَلَعَذَابُ الْآَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
- Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)-nya di pagi hari,
- dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin),
- lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Rabbmu ketika mereka sedang tidur,
- maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita.
- lalu mereka panggil memanggil di pagi hari:
- “Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.”
- Maka pergilah mereka saling berbisik-bisik.
- “Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.”
- Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka (menolongnya).
- Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan),
- bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)
- Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)
- Mereka mengucapkan: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang dzalim.”
- Lalu sebahagian mereka menghadapi sebahagian yang lain seraya cela mencela.
- Mereka berkata: “Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas.”
- Mudah-mudahan Rabb kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Rabb kita.
- Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui. (QS. Al Qalam: 17-33).
Dalam kitab tafsirnya, Syaikh As Sa’di menjelaskan ayat diatas,
“Kisah di atas menunjukkan tentang bagaimanakah akhir keadaan orang-orang yang mendustakan kebaikan. Mereka telah diberi harta, anak, umur yang panjang serta berbagai nikmat yang mereka inginkan. Semua itu diberikan bukan karena mereka memang mulia. Namun diberikan sebagai bentuk istidraj tanpa mereka sadari.“ (Tafsir As Sa’di, hal. 928)
Jika ada di antara kita, saat ini rezeki sangat mudah didapat atau dengan gampang meraih pangkat dan menduduki jabatan bergengsi, jangan buru-buru melantunkan kata Alhamdulilah. Melainkan hendaknya harus mengoreksi diri dan intropeksi.
Sebab, jika semua itu adalah hasil dari korupsi, suap atau cara-cara lain yang diharamkan, semua kebahagiaan duniawi dan jabatan yang bergengsi itu bukanlah suatu ni'mat yang harus disyukuri, melainkan justru niqmah atau bencana yang harus diwaspadai.
Apabila kita lihat ada orang yang tidak pernah melakukan shalat, sering tidak puasa Ramadhan, jauh dari Allah, namun hidupnya terlihat makmur, sentosa dan bergelimang banyak harta, maka jelas ini adalah istidraj.
Ketika kita lihat ada kelompok atau organisasi yang menghidupi anggota dan organisasinya dari uang haram, namun terlihat lebih maju dengan semakin bertambahnya anggota dan pendukungnya atau semakin luasnya pengaruh dan cabang-cabang di seluruh nusantara, ini pun juga termasuk salah satu bentuk istidraj.
Jika kita lihat seseorang meraih pangkat dan jabatan atau kemenangan dengan cara-cara yang dzalim yang diharamkan oleh agama, maka hal ini juga salah satu contoh istidraj.
Demikian juga, jika ada negara yang ingkar pada Allah, melegalkan beragam bentuk maksiat, menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, memusuhi orang-orang yang mencintai Allah dan utusan-Nya, namun secara dzahir terlihat tampak berkembang bahkan maju di beragam aspek kehidupan, maka hal ini juga salah satu dari bentuk bentuk istidraj.
Begitu dahsyatnya bahaya istidraj, sampai-sampai Sayyidina Umar bin Khaththab pernah berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu menjadi mustadraj (orang yang ditarik dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan)" (Al Umm, Imam Syafi'i, IV/157).
Maka, waspadalah terhadap istidraj, karena ia adalah kenikmatan dan penguluran waktu yang akhirnya akan membinasakan. Na'udzubillahi min dzalik.
Marilah kita berusaha menjauhi maksiat dengan jujur. Semoga segala nikmat yang Allah beri pada kita bukan merupakan istidraj.