“Tor, besok pagi shalat gerhana berjama’ah di masjid barengan, ya?” ajak Mamad.
“Ah ga bisa. Aku udah janjian sama kawan-kawan nonton bareng GMT di pantai. Sorry ya, Bro,” tukas Jontor.
“Kita sebagai umat Islam disunnahkan sholat gerhana lho, Tor.”
“Gimana ya Bro, ni momen seumur hidup sekali. Ga mungkin aku lewatin. Kalau aku ikut shalat gerhana … ga bisa liat dong. Lagian shalat gerhana cuma sunnah. Aku ga dosa kan kalau ninggalin.”
“Makanya kesempatan langka buat kita bisa shalat gerhana. Toh bisa liat siaran ulang di TV atau internet.”
“Beda sensasi, Bro!”
“Ya udah deh. Gini aja … lu di sana ntar banyak zikir, doa, jangan lupa sedekah juga. Gitu pesan Rasulullah saat gerhana.”
“Oke, Kang Ustad heheh!” seloroh Jontor.
===
Saya tak hendak mengadu dasar pendapat mereka berdua, karena sebenarnya semuanya sudah jelas. Sebuah pelajaran penting dari fenomena gerhana adalah perilaku masyarakat tak lepas dari kekuatan media.
Kita lihat perilaku yang bertolak belakang pada gerhana matahari total pada tahun 1983 dibanding GMT 2016 sekarang. Ketika itu saya masih berumur sekitar 5 tahun tetapi masih ingat suasana saat itu. Mungkin waktu itu adalah siang paling senyap dalam sejarah hidup yang saya alami. Hampir tidak ada seorang pun yang berada di luar rumah.
Kenapa bisa seperti itu? Karena kekuatan media TVRI sebagai corong pemerintah, saat itu belum ada stasiun swasta yang berdiri. Sehingga arus informasi tidak beragam seperti sekarang. Publikasi dan sosialisasi dilakukan pemerintah jauh hari melalui televisi dan radio. Iklan himbauan selalu muncul setiap jeda waktu antar pergantian acara.
Sebaliknya sekarang di mana arus informasi tak terbendung. Dunia maya dan social media juga sangat berpengaruh. Perilaku masyarakat luar negeri saat gerhana pun menjadi trend. Ya, nonton bareng!
Efeknya semua hotel di daerah GMT penuh, bahkan banyak yang sudah di-booking sejak tahun 2015. Pemerintah pun menyediakan fasilitas dan tempat-tempat “nobar” tersebut. Padahal pada tahun GMT 1983 juga ada nonton bareng. Bedanya dulu nonton siaran langsung TVRI, sekarang nonton langsung matahari.
Lalu apa kabar shalat gerhana? Banyak kok yang mengadakan. Mungkin cuma kalah publikasi dan sosialisasi saja. Mudah-mudahan jama’ah shalat gerhana besok pagi tidak hanya berisi para pensiunan, manula, dan orang-orang tua.
Sumber: Om Koko
“Ah ga bisa. Aku udah janjian sama kawan-kawan nonton bareng GMT di pantai. Sorry ya, Bro,” tukas Jontor.
“Kita sebagai umat Islam disunnahkan sholat gerhana lho, Tor.”
“Gimana ya Bro, ni momen seumur hidup sekali. Ga mungkin aku lewatin. Kalau aku ikut shalat gerhana … ga bisa liat dong. Lagian shalat gerhana cuma sunnah. Aku ga dosa kan kalau ninggalin.”
“Makanya kesempatan langka buat kita bisa shalat gerhana. Toh bisa liat siaran ulang di TV atau internet.”
“Beda sensasi, Bro!”
“Ya udah deh. Gini aja … lu di sana ntar banyak zikir, doa, jangan lupa sedekah juga. Gitu pesan Rasulullah saat gerhana.”
“Oke, Kang Ustad heheh!” seloroh Jontor.
===
Saya tak hendak mengadu dasar pendapat mereka berdua, karena sebenarnya semuanya sudah jelas. Sebuah pelajaran penting dari fenomena gerhana adalah perilaku masyarakat tak lepas dari kekuatan media.
Kita lihat perilaku yang bertolak belakang pada gerhana matahari total pada tahun 1983 dibanding GMT 2016 sekarang. Ketika itu saya masih berumur sekitar 5 tahun tetapi masih ingat suasana saat itu. Mungkin waktu itu adalah siang paling senyap dalam sejarah hidup yang saya alami. Hampir tidak ada seorang pun yang berada di luar rumah.
Kenapa bisa seperti itu? Karena kekuatan media TVRI sebagai corong pemerintah, saat itu belum ada stasiun swasta yang berdiri. Sehingga arus informasi tidak beragam seperti sekarang. Publikasi dan sosialisasi dilakukan pemerintah jauh hari melalui televisi dan radio. Iklan himbauan selalu muncul setiap jeda waktu antar pergantian acara.
Sebaliknya sekarang di mana arus informasi tak terbendung. Dunia maya dan social media juga sangat berpengaruh. Perilaku masyarakat luar negeri saat gerhana pun menjadi trend. Ya, nonton bareng!
Efeknya semua hotel di daerah GMT penuh, bahkan banyak yang sudah di-booking sejak tahun 2015. Pemerintah pun menyediakan fasilitas dan tempat-tempat “nobar” tersebut. Padahal pada tahun GMT 1983 juga ada nonton bareng. Bedanya dulu nonton siaran langsung TVRI, sekarang nonton langsung matahari.
Lalu apa kabar shalat gerhana? Banyak kok yang mengadakan. Mungkin cuma kalah publikasi dan sosialisasi saja. Mudah-mudahan jama’ah shalat gerhana besok pagi tidak hanya berisi para pensiunan, manula, dan orang-orang tua.
Sumber: Om Koko