KabarMakkah.Com - Banyak orang kaya yang hidup di muka bumi ini dengan sombong dan menganggap orang lain remeh. Mereka tidak memandang orang lain kecuali dengan sebelah mata. Mereka merasa bahwa orang lain tidak berharga, tidak ada nilainya dibandingkan dengan dirinya. Di sisi lain banyak orang miskin yang begitu berkeluh kesah dengan kemiskinannya hingga mereka menjadi kufur dengan nikmat-nikmat Allah yang telah dianugerahkan-Nya.
Padahal kita sebagai seorang muslim haruslah menyadari bahwa kaya dan miskin hanyalah dua buah kata sifat bukan kata benda. Artinya kaya dan miskin akan terkait dengan perasaan seseorang bukan dengan banyaknya harta benda yang ia miliki. Maka sebanyak apa pun harta benda yang dimiliki, jika ia memiliki sifat rakus maka ia akan selalu merasa kurang. Sebaliknya jika seseorang mempunyai sifat tawadhu maka sedikit apa pun harta benda yang ia miliki maka ia akan selalu merasa cukup.
Sebuah hadits menyatakan: “Seorang muslim yang mencurahkan seluruh perhatiannya untuk akhirat dan tidak mempedulikan nikmat duniawi maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan memasukkan rasa kaya ke dalam hatinya, dunia akan menjadi hina baginya, dan dunia akan datang sendiri kepadanya. Sebaliknya barangsiapa mencurahkan seluruh perhatiannya untuk keduniaan, maka dia akan diliputi kesusahan dan bencana, namun dia tidak akan menerima lebih dari yang seharusnya dia terima”.
Setelah membaca wahyu Allah tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: ‘Wahai manusia, sembahlah Aku, niscaya aku akan melapangkan dadamu dari kekhawatiran, dan Aku akan menghapuskan rasa kemiskinanmu. Jika tidak, Aku akan memenuhi hatimu dengan kegelisahan dan Aku tidak akan menghilangkan rasa kemiskinanmu”. (Hadist Qudsi).
Perhatikan hadits di atas, kaya dan miskin adalah dua buah rasa yang dimasukkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala ke dalam hati manusia. Untuk mendapatkan rasa kaya, curahkanlah seluruh perhatian bagi kehidupan akhirat. Sedangkan mereka yang mencurahkan seluruh perhatiannya untuk kehidupan dunia, maka Allah akan meliputi hatinya dengan kesusahan dan bencana. Hatinya penuh dengan kegelisahan dan Allah tidak akan menghilangkan rasa kemiskinan darinya.
Maka dari itu ternyata selama ini kita telah keliru dengan menyangka bahwa kaya dan miskin diukur dari seberapa bagus rumah yang ditinggali, dari seberapa luas kebun dan sawah yang dimiliki, dari seberapa banyak mobil dan motor yang terparkir di garasi dan dari seberapa penuh emas dan perak yang menghiasi.
Sungguh disayangkan banyak manusia yang keliru memahami ayat Al Qur’an di bawah ini:
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari adzab api neraka”. (QS. Al Baqarah: 201)
Kita salah menyangka bahwa yang dimaksud dengan kebaikan di dunia adalah kekayaan berupa harta benda yang melimpah. Mengenai maksud sebenarnya dari ayat di atas telah ditafsirkan oleh para sahabat dan para tabi’in sebagai berikut:
Qatadah Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Kebaikan di dunia itu adalah keselamatan dan keperluan hidup yang cukup”.
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Kebaikan di dunia itu maksudnya istri yang shalehah”.
Hasan Basri Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Kebaikan di dunia itu maksudnya ilmu tentang Islam serta ibadah”.
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Kebaikan di dunia itu artinya anak-anak yang berbakti pada orang tua dan menghormati orang lain”.
Ja’far Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Kebaikan di dunia itu artinya badan sehat, rezeki yang cukup, pengetahuan Al Qur’an, kemenangan atas musuh Islam dan bergaul dengan orang-orang shaleh”.
Jadi yang dimaksud kebaikan dunia itu bukanlah melulu tentang harta benda. Dan kalaupun kebaikan di dunia ini diartikan sebagai kemajuan ekonomi, namun itu pun semata-mata untuk keperluan ibadah. Kemajuan ekonomi menjadi sarana bagi kita untuk berbakti dan mengabdi kepada-Nya.
Hidup jujur dan makmur tidaklah dilarang dalam Islam. Asalkan kita tidak tenggelam dalam kesibukan kehidupan dunia dan melupakan kehidupan akhirat dengan melalaikan perintah-perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ingatlah bahwa dunia bukanlah tujuan utama hidup kita.
Sebaliknya, hal ini juga bukan berarti kita harus selalu menyibukkan diri dengan urusan ukhrawi, apalagi sampai berdo’a agar Allah menghancurkan keduniaan kita. Kita harus sadar bahwa untuk memperjuangkan agama perlu didukung pula oleh kekuatan ekonomi. Seorang muslim yang kuat lebih disukai oleh Allah daripada seorang muslim yang lemah. Kuat di sini dalam artian kuat secara fisik dan ekonomi sehingga ia mampu menyalurkan kekuatannya untuk memperjuangkan agama Allah.
Yang salah adalah mereka yang bakhil dan sombong dengan melimpahnya harta benda yang Allah titipkan di sisinya. Yang salah adalah mereka yang hidup dalam kubangan keluh kesah karena minimnya harta benda yang Allah titipkan disisinya. Maka sadarilah bahwa kaya dan miskin hanyalah kata sifat, artinya ia hanyalah perasaan yang Allah masukkan dalam hati manusia.
Curahkanlah fokus perhatianmu untuk akhirat, bahkan ketika engkau sedang mencari nafkah dunia, niscaya Allah sisipkan rasa kaya di hatimu.
Wallahu A’lam
Padahal kita sebagai seorang muslim haruslah menyadari bahwa kaya dan miskin hanyalah dua buah kata sifat bukan kata benda. Artinya kaya dan miskin akan terkait dengan perasaan seseorang bukan dengan banyaknya harta benda yang ia miliki. Maka sebanyak apa pun harta benda yang dimiliki, jika ia memiliki sifat rakus maka ia akan selalu merasa kurang. Sebaliknya jika seseorang mempunyai sifat tawadhu maka sedikit apa pun harta benda yang ia miliki maka ia akan selalu merasa cukup.
Sebuah hadits menyatakan: “Seorang muslim yang mencurahkan seluruh perhatiannya untuk akhirat dan tidak mempedulikan nikmat duniawi maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan memasukkan rasa kaya ke dalam hatinya, dunia akan menjadi hina baginya, dan dunia akan datang sendiri kepadanya. Sebaliknya barangsiapa mencurahkan seluruh perhatiannya untuk keduniaan, maka dia akan diliputi kesusahan dan bencana, namun dia tidak akan menerima lebih dari yang seharusnya dia terima”.
Setelah membaca wahyu Allah tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: ‘Wahai manusia, sembahlah Aku, niscaya aku akan melapangkan dadamu dari kekhawatiran, dan Aku akan menghapuskan rasa kemiskinanmu. Jika tidak, Aku akan memenuhi hatimu dengan kegelisahan dan Aku tidak akan menghilangkan rasa kemiskinanmu”. (Hadist Qudsi).
Perhatikan hadits di atas, kaya dan miskin adalah dua buah rasa yang dimasukkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala ke dalam hati manusia. Untuk mendapatkan rasa kaya, curahkanlah seluruh perhatian bagi kehidupan akhirat. Sedangkan mereka yang mencurahkan seluruh perhatiannya untuk kehidupan dunia, maka Allah akan meliputi hatinya dengan kesusahan dan bencana. Hatinya penuh dengan kegelisahan dan Allah tidak akan menghilangkan rasa kemiskinan darinya.
Maka dari itu ternyata selama ini kita telah keliru dengan menyangka bahwa kaya dan miskin diukur dari seberapa bagus rumah yang ditinggali, dari seberapa luas kebun dan sawah yang dimiliki, dari seberapa banyak mobil dan motor yang terparkir di garasi dan dari seberapa penuh emas dan perak yang menghiasi.
Sungguh disayangkan banyak manusia yang keliru memahami ayat Al Qur’an di bawah ini:
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari adzab api neraka”. (QS. Al Baqarah: 201)
Kita salah menyangka bahwa yang dimaksud dengan kebaikan di dunia adalah kekayaan berupa harta benda yang melimpah. Mengenai maksud sebenarnya dari ayat di atas telah ditafsirkan oleh para sahabat dan para tabi’in sebagai berikut:
Qatadah Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Kebaikan di dunia itu adalah keselamatan dan keperluan hidup yang cukup”.
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Kebaikan di dunia itu maksudnya istri yang shalehah”.
Hasan Basri Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Kebaikan di dunia itu maksudnya ilmu tentang Islam serta ibadah”.
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Kebaikan di dunia itu artinya anak-anak yang berbakti pada orang tua dan menghormati orang lain”.
Ja’far Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Kebaikan di dunia itu artinya badan sehat, rezeki yang cukup, pengetahuan Al Qur’an, kemenangan atas musuh Islam dan bergaul dengan orang-orang shaleh”.
Jadi yang dimaksud kebaikan dunia itu bukanlah melulu tentang harta benda. Dan kalaupun kebaikan di dunia ini diartikan sebagai kemajuan ekonomi, namun itu pun semata-mata untuk keperluan ibadah. Kemajuan ekonomi menjadi sarana bagi kita untuk berbakti dan mengabdi kepada-Nya.
Hidup jujur dan makmur tidaklah dilarang dalam Islam. Asalkan kita tidak tenggelam dalam kesibukan kehidupan dunia dan melupakan kehidupan akhirat dengan melalaikan perintah-perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ingatlah bahwa dunia bukanlah tujuan utama hidup kita.
Sebaliknya, hal ini juga bukan berarti kita harus selalu menyibukkan diri dengan urusan ukhrawi, apalagi sampai berdo’a agar Allah menghancurkan keduniaan kita. Kita harus sadar bahwa untuk memperjuangkan agama perlu didukung pula oleh kekuatan ekonomi. Seorang muslim yang kuat lebih disukai oleh Allah daripada seorang muslim yang lemah. Kuat di sini dalam artian kuat secara fisik dan ekonomi sehingga ia mampu menyalurkan kekuatannya untuk memperjuangkan agama Allah.
Yang salah adalah mereka yang bakhil dan sombong dengan melimpahnya harta benda yang Allah titipkan di sisinya. Yang salah adalah mereka yang hidup dalam kubangan keluh kesah karena minimnya harta benda yang Allah titipkan disisinya. Maka sadarilah bahwa kaya dan miskin hanyalah kata sifat, artinya ia hanyalah perasaan yang Allah masukkan dalam hati manusia.
Curahkanlah fokus perhatianmu untuk akhirat, bahkan ketika engkau sedang mencari nafkah dunia, niscaya Allah sisipkan rasa kaya di hatimu.
Wallahu A’lam