Allah SWT senantiasa memberikan tanda-tanda bagi setiap Muslim agar waspada dan berhati-hati terhadap orang kafir ataupun orang munafik yang bersembunyi di balik tampilan lahiriahnya. Seperti orang-orang yang hendak mencuri Jasad Nabi Muhammad SAW.
Bersama Salahuddin Al-Ayyubi, Sultan Nuruddin Mahmud Zanki (1168-1174) dikenal sebagai pahlawan Islam yang berhasil menghancurkan tentara Salib dalam Perang Salib I, sekaligus merebut kembali Al-Quds (Yerussalem) dari cengkraman mereka.
Dalam Beberapa Bagian dari Sejarah Madinah karya Ali Hafidh dalam Kitab Fusul Min Tarikhi Al-Madinah Al Munawarah dikisahkan, suatu malam Sultan Nuruddin mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam mimpi tersebut Rasulullah memanggil-manggil Nuruddin dan menyuruhnya agar segera pergi ke Madinah, karena ada dua orang berkulit putih yang hendak menyakiti beliau.
Bermimpi seperti itu, Sultan Nuruddin pun tersentak dan terbangun dari tidurnya. Betapa jelas kata-kata yang diucapkan Nabi Muhammad tersebut. Ia pun segera mengambil air wudhu lalu shalat beberapa rakaat. Kemudian ia tidur kembali.
Dalam tidur keduanya, Sultan Nuruddin mendapatkan mimpi yang sama bahkan terasa lebih jelas. Mimpi itu terus terulang hingga tiga kali.
Keesokan harinya, Sultan Nuruddin menyampaikan mimpinya tersebut pada Jamaluddin Al-Muwashshali, seorang menteri yang dikenal luas pengetahuannya, alim allamah dan sangat rendah hati. Jamaluddin pun menyarankan agar Sultan segera pergi ke Madinah dan tidak menceritakan mimpi tersebut pada siapapun.
Dengan membawa seribu pasukan berkuda terbaik dan harta yang banyak, Sultan berangkat ke Madinah. Dibutuhkan 16 hari lamanya bagi Sultan Nuruddin dan pasukannya untuk sampai ke Madinah dari Syam. Ia menghabiskan 16 hari perjalanan dari Syam (Suriah) ke Madinah.
Sesampainya di Madinah, ia segera shalat di Raudhah, lalu menziarahi pusara Rasulullah SAW. Sultan duduk termenung di depan pusara Rasul.
Segera setelah itu, ia memerintahkan agar seluruh penduduk Madinah berkumpul, terutama penduduk dan peziarah di sekitar Masjid Nabawi. Sultan membagi-bagikan hadiah pada setiap orang yang datang dengan harapan bisa bertemu dengan dua orang yang dilihatnya dalam mimpi.
Sayang, ia tidak bertemu dengan dua orang yang dicarinya tersebut. Maka berkatalah Sultan Nuruddin, "Apakah ada yang belum mendapat hadiah?". Mereka menjawab, "Tidak ada, kecuali dua orang dari Andalusia. Keduanya tidak mengambil sedikitpun, Keduanya adalah orang shalih dan kaya serta banyak memberikan sedekah kepada orang-orang yang membutuhkan, Mereka tengah khusyuk beribadah di Raudhah dekat makam Nabi". Saat ditanyakan bagaimana warna kulit kedua orang itu, maka dijawablah bahwa kulit mereka putih kemerahan.
Setelah dicari, kedua orang itu segera dihadapkan kepada Sultan Nuruddin untuk diinterogasi. Pada awalnya mereka mengaku sebagai peziarah Muslim dari Andalusia. Terlihat dari wajah mereka gurat-gurat ketakutan dan jawabannya pun berbelit-belit.
Sultan berkata, “Jujurlah kalian!” Tapi keduanya diam membisu, maka Sultan berkata, “Di mana tempat tinggal kalian?” Lalu Sultan diberitahu bahwa keduanya tinggal di pondokan dekat makam Nabi.
Maka Sultan memegang keduanya untuk dibawa ke tempat tinggal keduanya, dan di sana Sultan mendapati banyak harta, dua koper dan kitab-kitab tentang kelembutan hati, namun tidak melihat sesuatu pun yang selain itu. Lalu penduduk Madinah banyak memuji kedua orang tersebut dengan mengatakan, “Keduanya rajin puasa, selalu shalat di raudhah, ziarah ke makam Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam dan ke Baqi’ setiap pagi, datang ke masjid Quba’ setiap Sabtu, dan tidak pernah menolak orang yang meminta sama sekali. Di mana keduanya menutupi kebutuhan penduduk Madinah pada tahun paceklik ini.”
Maka Sultan mengatakan, “Subhanallah!”
Lalu Sultan mengelilingi rumah mereka, kemudian mengangkat tikar yang terdapat di dalam rumah, betapa kagetnya, Sultan melihat galian terowongan ke arah kamar makam Nabi, maka bergemetarlah manusia karena itu. Ketika itulah Sultan mengatakan, “Jujurlah kalian berdua!” Dan Sultan memukul keduanya dengan sangat keras.
Keduanya mengaku bahwa mereka sejatinya adalah orang Kristiani yang diutus oleh Raja mereka dengan berpenampilan jamaah haji dari Maghribi serta dibekali banyak harta, dan diperintahkan untuk melakukan hal besar yang menjadi khayalan mereka. Di mana mereka mengira akan bisa melakukan apa yang dihiaskan oleh Iblis dalam memindahkan jasad Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam dan dampak yang terjadi karenanya.
Keduanya bertempat di rumah yang paling dekat ke makam Nabi dan melakukan penggalian terowongan pada malam hari, di mana masing-masing memiliki tas koper kulit dan busana Maghribi. Lalu tanah yang terkumpul dimasukkan ke dalam koper, dan keduanya keluar seraya menampakkan ziarah ke Baqi’ dengan maksud membuang tanah hasil galian ke pemakaman Baqi’. Demikian itulah muslihat jahat yang dilakukan keduanya dalam tempo cukup lama dengan harapan bisa memindahkan jasad Nabi agar bisa dibawa ke negeri mereka.
Hingga ketika galian keduanya telah mendekati makam Nabi, maka langit bergemuruh petir dan terjadilah guncangan besar.
Untuk memperkuat dugaan Sultan dengan fakta yang ada, kedua orang tersebut di bawa ke balik dinding, lalu dibukalah celananya. Ternyata kedua orang itu tidak berkhitan! Setelah diinterogasi terus menerus, keduanya mengaku bahwa mereka adalah tentara Salib, yang diutus oleh raja mereka untuk mencuri jasad Nabi Muhammad SAW (Dalam kisah lain disebutkan orang Yahudi).
Usaha untuk mencuri jasad Nabi Muhammad, sudah mereka lakukan sejak lama dengan cara menggali terowongan di sebelah kiblat luar masjid. Setelah itu, keduanya dihukum mati dan mayatnya dibakar di luar Masjid Nabawi. Agar kejadian serupa tidak terulang kembali, Sultan Nuruddin memerintahkan untuk menggali tanah sekitar pusara dan menuangkan ke dalamnya cairan tembaga agar membeku, agar pusara Nabi Muhammad SAW terlindungi.
Makam Nabi Muhammad |
Bersama Salahuddin Al-Ayyubi, Sultan Nuruddin Mahmud Zanki (1168-1174) dikenal sebagai pahlawan Islam yang berhasil menghancurkan tentara Salib dalam Perang Salib I, sekaligus merebut kembali Al-Quds (Yerussalem) dari cengkraman mereka.
Dalam Beberapa Bagian dari Sejarah Madinah karya Ali Hafidh dalam Kitab Fusul Min Tarikhi Al-Madinah Al Munawarah dikisahkan, suatu malam Sultan Nuruddin mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam mimpi tersebut Rasulullah memanggil-manggil Nuruddin dan menyuruhnya agar segera pergi ke Madinah, karena ada dua orang berkulit putih yang hendak menyakiti beliau.
Bermimpi seperti itu, Sultan Nuruddin pun tersentak dan terbangun dari tidurnya. Betapa jelas kata-kata yang diucapkan Nabi Muhammad tersebut. Ia pun segera mengambil air wudhu lalu shalat beberapa rakaat. Kemudian ia tidur kembali.
Dalam tidur keduanya, Sultan Nuruddin mendapatkan mimpi yang sama bahkan terasa lebih jelas. Mimpi itu terus terulang hingga tiga kali.
Keesokan harinya, Sultan Nuruddin menyampaikan mimpinya tersebut pada Jamaluddin Al-Muwashshali, seorang menteri yang dikenal luas pengetahuannya, alim allamah dan sangat rendah hati. Jamaluddin pun menyarankan agar Sultan segera pergi ke Madinah dan tidak menceritakan mimpi tersebut pada siapapun.
Dengan membawa seribu pasukan berkuda terbaik dan harta yang banyak, Sultan berangkat ke Madinah. Dibutuhkan 16 hari lamanya bagi Sultan Nuruddin dan pasukannya untuk sampai ke Madinah dari Syam. Ia menghabiskan 16 hari perjalanan dari Syam (Suriah) ke Madinah.
Sesampainya di Madinah, ia segera shalat di Raudhah, lalu menziarahi pusara Rasulullah SAW. Sultan duduk termenung di depan pusara Rasul.
Segera setelah itu, ia memerintahkan agar seluruh penduduk Madinah berkumpul, terutama penduduk dan peziarah di sekitar Masjid Nabawi. Sultan membagi-bagikan hadiah pada setiap orang yang datang dengan harapan bisa bertemu dengan dua orang yang dilihatnya dalam mimpi.
Sayang, ia tidak bertemu dengan dua orang yang dicarinya tersebut. Maka berkatalah Sultan Nuruddin, "Apakah ada yang belum mendapat hadiah?". Mereka menjawab, "Tidak ada, kecuali dua orang dari Andalusia. Keduanya tidak mengambil sedikitpun, Keduanya adalah orang shalih dan kaya serta banyak memberikan sedekah kepada orang-orang yang membutuhkan, Mereka tengah khusyuk beribadah di Raudhah dekat makam Nabi". Saat ditanyakan bagaimana warna kulit kedua orang itu, maka dijawablah bahwa kulit mereka putih kemerahan.
Setelah dicari, kedua orang itu segera dihadapkan kepada Sultan Nuruddin untuk diinterogasi. Pada awalnya mereka mengaku sebagai peziarah Muslim dari Andalusia. Terlihat dari wajah mereka gurat-gurat ketakutan dan jawabannya pun berbelit-belit.
Sultan berkata, “Jujurlah kalian!” Tapi keduanya diam membisu, maka Sultan berkata, “Di mana tempat tinggal kalian?” Lalu Sultan diberitahu bahwa keduanya tinggal di pondokan dekat makam Nabi.
Maka Sultan memegang keduanya untuk dibawa ke tempat tinggal keduanya, dan di sana Sultan mendapati banyak harta, dua koper dan kitab-kitab tentang kelembutan hati, namun tidak melihat sesuatu pun yang selain itu. Lalu penduduk Madinah banyak memuji kedua orang tersebut dengan mengatakan, “Keduanya rajin puasa, selalu shalat di raudhah, ziarah ke makam Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam dan ke Baqi’ setiap pagi, datang ke masjid Quba’ setiap Sabtu, dan tidak pernah menolak orang yang meminta sama sekali. Di mana keduanya menutupi kebutuhan penduduk Madinah pada tahun paceklik ini.”
Maka Sultan mengatakan, “Subhanallah!”
Lalu Sultan mengelilingi rumah mereka, kemudian mengangkat tikar yang terdapat di dalam rumah, betapa kagetnya, Sultan melihat galian terowongan ke arah kamar makam Nabi, maka bergemetarlah manusia karena itu. Ketika itulah Sultan mengatakan, “Jujurlah kalian berdua!” Dan Sultan memukul keduanya dengan sangat keras.
Keduanya mengaku bahwa mereka sejatinya adalah orang Kristiani yang diutus oleh Raja mereka dengan berpenampilan jamaah haji dari Maghribi serta dibekali banyak harta, dan diperintahkan untuk melakukan hal besar yang menjadi khayalan mereka. Di mana mereka mengira akan bisa melakukan apa yang dihiaskan oleh Iblis dalam memindahkan jasad Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam dan dampak yang terjadi karenanya.
Keduanya bertempat di rumah yang paling dekat ke makam Nabi dan melakukan penggalian terowongan pada malam hari, di mana masing-masing memiliki tas koper kulit dan busana Maghribi. Lalu tanah yang terkumpul dimasukkan ke dalam koper, dan keduanya keluar seraya menampakkan ziarah ke Baqi’ dengan maksud membuang tanah hasil galian ke pemakaman Baqi’. Demikian itulah muslihat jahat yang dilakukan keduanya dalam tempo cukup lama dengan harapan bisa memindahkan jasad Nabi agar bisa dibawa ke negeri mereka.
Hingga ketika galian keduanya telah mendekati makam Nabi, maka langit bergemuruh petir dan terjadilah guncangan besar.
Untuk memperkuat dugaan Sultan dengan fakta yang ada, kedua orang tersebut di bawa ke balik dinding, lalu dibukalah celananya. Ternyata kedua orang itu tidak berkhitan! Setelah diinterogasi terus menerus, keduanya mengaku bahwa mereka adalah tentara Salib, yang diutus oleh raja mereka untuk mencuri jasad Nabi Muhammad SAW (Dalam kisah lain disebutkan orang Yahudi).
Usaha untuk mencuri jasad Nabi Muhammad, sudah mereka lakukan sejak lama dengan cara menggali terowongan di sebelah kiblat luar masjid. Setelah itu, keduanya dihukum mati dan mayatnya dibakar di luar Masjid Nabawi. Agar kejadian serupa tidak terulang kembali, Sultan Nuruddin memerintahkan untuk menggali tanah sekitar pusara dan menuangkan ke dalamnya cairan tembaga agar membeku, agar pusara Nabi Muhammad SAW terlindungi.