KabarMakkah.Com – Saat ini dialog antara anak dan ayah hanya berkutat pada masalah duniawi saja. Bahkan terkadang hal yang tidak penting dan tidak memberikan manfaat seakan mengisi waktu antara ayah dengan seorang anak. Padahal saat itulah seorang ayah bisa memberikan ilmu sekaligus wasiat kepada anaknya tentang kehidupan yang sesungguhnya. Atau bahkan sebaliknya dimana sang anak akan menjadi jalan hidayah bagi seorang ayah.
Berbeda dengan kisah ini dimana percakapan anak dan ayah sarat akan makna dan membuat kita tercengang melihatnya. Adalah seorang bernama Abu Yazid al Busthami suatu hari bertanya kepada ayahnya mengenai tafsir dari surat Al Muzzammil ayat 1 dan 2.
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya).”
Abu Yazid kemudian bertanya kepada ayahnya, “Wahai ayahku, siapakah yang diperintahkan Allah Ta’ala untuk bangun sebagaimana yang telah disebutkan dalam ayat tersebut?”
Dengan enteng ayahnya berkata, “ ia adalah Nabi Muhammad.”
Sang anak kemudian melanjutnya pertanyaannya, “Lantas, mengapa engkau tidak mengerjakan seperti apa yang dikerjakan oleh Nabi?”
“Bagi Nabi Muhammad, shalat malam dihukumi wajib. Akan tetapi bagi umatnya, shalat malam adalah sunat. Ayat tersebut secara khusus ditujukan kepada Nabi Muhammad, wahai anakku.” Pungkasnya
Abu Yazid pun merasa cukup puas dengan jawaban dari ayahnya dan kajian pun dilanjutkan hingga sampailah pada keduanya surat Al Muzzammil ayat 20.
Abu Yazid kemudian membaca ayat tersebut kepada ayahnya.
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu.”
Abu Yazid kemudian mempertanyakan kepenasarannya terhadap ayat tersebut
“Ayah, siapakah mereka yang melaksanakan shalat malam secara berjamaah sebagaimana yang tersebut dalam ayat ini?”
“Mereka adalah para sahabat Nabi, wahai anakku.” Jawabnya
Dengan polosnya, Abu Yazid berkata, “Lantas, kenapa ayah sendiri tidak mengerjakan seperti yang telah dikerjakan oleh para sahabat Nabi?”
Pertanyaan sang anak langsung membuat raut muka ayahnya berubah. Ayahnya tersadar dan telah berkomitmen untuk mulai melakukan seperti apa yang dilakukan oleh para sahabat Nabi yaitu melaksanakan shalat malam.
Hingga hari pun berganti dan pada suatu malam, Abu Yazid tak sengaja terbangun dalam keheningan malam dan dilihatnya sosok sang ayah yaang sedang melaksanakan shalat malam dengan penuh kekhusyukan. Dengan langkah polos, ia mendekati sang ayah dan menunggunya hingga selesai shalat. Ia pun lantas berucap, “Ayah, ajari aku mengambil air wudhu dan ajari pula bagaimana mengerjakan amalan yang engkau kerjakan ini. Aku ingin melakukannya bersama dengan ayah.”
Sang ayah yang merasa anaknya masih kecil dan belum kuat untuk mengerjakan ibadah shalat malam kemudian berkata, “Tidurlah anakku! Engkau masih kecil saat ini.”
Namun ternyata Abu Yazid bersikukuh, “Wahai ayah, jika kelak ada segolongan orang yang menghadap untuk melaporkan amalnya, aku pasti akan berkata kepada Allah bahwa aku telah meminta kepada ayahku untuk mengajarkan cara bersuci dan mendirikan shalat pada malam hari, namun engkau menolak dan menyuruhku untuk tidur.”
“Demi Allah, jangan lakukan itu, wahai anakku.”
Sungguh sebuah dialog yang seharusnya dapat membuat hati menjadi terenyuh. Saat ini banyak anak yang telah beranjak dewasa yang tidak pernah menanyakan persoalan ini kepada ayahnya. Banyak anak pula yang tidak sedikit pun mempertanyakan mengenai makna yang terkandung dalam Al Quran.
Sungguh mulai saat ini, marilah kita mulai bermuhasabah dan merenungi jikalau kita pernah mengabaikan ataupun menolak sebuah ucapan kebaikan dari seorang anak hanya karena mereka masih kecil. Karena sesungguhnya hidayah Allah bisa datang darimana saja.
Wallahu A’lam
Berbeda dengan kisah ini dimana percakapan anak dan ayah sarat akan makna dan membuat kita tercengang melihatnya. Adalah seorang bernama Abu Yazid al Busthami suatu hari bertanya kepada ayahnya mengenai tafsir dari surat Al Muzzammil ayat 1 dan 2.
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya).”
Abu Yazid kemudian bertanya kepada ayahnya, “Wahai ayahku, siapakah yang diperintahkan Allah Ta’ala untuk bangun sebagaimana yang telah disebutkan dalam ayat tersebut?”
Dengan enteng ayahnya berkata, “ ia adalah Nabi Muhammad.”
Sang anak kemudian melanjutnya pertanyaannya, “Lantas, mengapa engkau tidak mengerjakan seperti apa yang dikerjakan oleh Nabi?”
“Bagi Nabi Muhammad, shalat malam dihukumi wajib. Akan tetapi bagi umatnya, shalat malam adalah sunat. Ayat tersebut secara khusus ditujukan kepada Nabi Muhammad, wahai anakku.” Pungkasnya
Abu Yazid pun merasa cukup puas dengan jawaban dari ayahnya dan kajian pun dilanjutkan hingga sampailah pada keduanya surat Al Muzzammil ayat 20.
Abu Yazid kemudian membaca ayat tersebut kepada ayahnya.
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu.”
Abu Yazid kemudian mempertanyakan kepenasarannya terhadap ayat tersebut
“Ayah, siapakah mereka yang melaksanakan shalat malam secara berjamaah sebagaimana yang tersebut dalam ayat ini?”
“Mereka adalah para sahabat Nabi, wahai anakku.” Jawabnya
Dengan polosnya, Abu Yazid berkata, “Lantas, kenapa ayah sendiri tidak mengerjakan seperti yang telah dikerjakan oleh para sahabat Nabi?”
Pertanyaan sang anak langsung membuat raut muka ayahnya berubah. Ayahnya tersadar dan telah berkomitmen untuk mulai melakukan seperti apa yang dilakukan oleh para sahabat Nabi yaitu melaksanakan shalat malam.
Hingga hari pun berganti dan pada suatu malam, Abu Yazid tak sengaja terbangun dalam keheningan malam dan dilihatnya sosok sang ayah yaang sedang melaksanakan shalat malam dengan penuh kekhusyukan. Dengan langkah polos, ia mendekati sang ayah dan menunggunya hingga selesai shalat. Ia pun lantas berucap, “Ayah, ajari aku mengambil air wudhu dan ajari pula bagaimana mengerjakan amalan yang engkau kerjakan ini. Aku ingin melakukannya bersama dengan ayah.”
Sang ayah yang merasa anaknya masih kecil dan belum kuat untuk mengerjakan ibadah shalat malam kemudian berkata, “Tidurlah anakku! Engkau masih kecil saat ini.”
Namun ternyata Abu Yazid bersikukuh, “Wahai ayah, jika kelak ada segolongan orang yang menghadap untuk melaporkan amalnya, aku pasti akan berkata kepada Allah bahwa aku telah meminta kepada ayahku untuk mengajarkan cara bersuci dan mendirikan shalat pada malam hari, namun engkau menolak dan menyuruhku untuk tidur.”
“Demi Allah, jangan lakukan itu, wahai anakku.”
Sungguh sebuah dialog yang seharusnya dapat membuat hati menjadi terenyuh. Saat ini banyak anak yang telah beranjak dewasa yang tidak pernah menanyakan persoalan ini kepada ayahnya. Banyak anak pula yang tidak sedikit pun mempertanyakan mengenai makna yang terkandung dalam Al Quran.
Sungguh mulai saat ini, marilah kita mulai bermuhasabah dan merenungi jikalau kita pernah mengabaikan ataupun menolak sebuah ucapan kebaikan dari seorang anak hanya karena mereka masih kecil. Karena sesungguhnya hidayah Allah bisa datang darimana saja.
Wallahu A’lam