KabarMakkah.Com – Tisu toilet seringkali kita temui di kamar mandi beberapa Mall ataupun pusat perbelanjaan dengan konsep yang modern. Pihak pengelola biasanya memang sengaja mempersiapkan tisu dan meniadakan air sebagai alat untuk membersihkan. Mungkin mereka lebih berpikir ke arah ekonomis dan juga lebih meminimalkan kebersihan lantai.
Memang kebanyakan yang ingin ke toilet biasanya adalah ingin buang air kecil dan jika harus menggunakan air dapat lebih mengotori lantai toilet dan merembet ke lantai ruang lainnya.
Namun bagaimana jika dilihat dari segi agama? Bagaimana hukum membersihkan dengan tisu? Sudah dianggap sucikah?
Ketahuilah bahwa bersucinya seseorang dari membuang hajat menurut syariat Islam sebenarnya tidak terbatas hanya pada air saja. Yang menjadi kewajiban setelah membuang hajat adalah menghilangkan najis dari tempatnya baik itu menggunakan air ataupun menggunakan benda-benda seperti batu, tisu ataupun kertas.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan rekan-rekannya yang termasuk dalam jajaran ulama Al Lajnah Ad Daimah Lil Ifta pernah ditanya perihal boleh tidaknya menggunakan tisu untuk bersuci atau beristinja. Beliau kemudian berkata.
“Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya. Dibolehkannya menggunakan tisu atau kertas atau semacamnya dalam membersihkan najis dan dianggap sah serta cukup jika dapat membersihkan bagian yang terkena najis, baik qubul (kemaluan) maupun dubur (pantat). Yang utama dalam hal ini adalah menggunakannya dengan ganjil dan seharusnya tidak kurang dari tiga usapan. Tidak diwajibkan menggunakan air sesudahnya, akan tetapi sunah. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kami Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya.” (Fatawa Lajnah Da’imah 5/125)
Sementara, Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Bersuci dengan tisu dianggap sah, tidak mengapa, karena tujuan bersuci adalah menghilangkan najis, apakah itu dengan tisu, kertas, debu, batu kecuali tidak dibolehkan bersuci dengan sesuatu yang dilarang syariat sperti tulang atau kotoran hewan. Karena tulang adalah makanan jin jika dia adalah binatang yang halal disembelih. Adapun jika binatang yang tidak halal disembelih, maka tulang tersebut termasuk najis, dan najis tidak dapat mensucikan. Sedangkan kotoran hewan, jika dia termasuk najis, maka najis tidak dapat mensucikan. Sedangkan jika dia termasuk yang tidak najis, maka dia adalah makanan ternak jin. Karena ketika para jin datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan beriman kepadanya, beliau memberi jamuan yang tidak terputus hingga hari kiamat.”
“Beliau bersabda, “Bagi kalian tulang (dari hewan yang disembelih) dengan menyebut nama Allah, kalian akan dapatkan lebih banyak daripada daging.” Ini adalah termasuk perkara ghaib yang tidak terlihat. Akan tetapi wajib bagi kita mengimaninya. Demikian pula dengan kotoran hewan ternak, dia merupakan pakan hewan-hewan mereka (jin).” (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin)
Dari keterangan tersebut sangat jelas bahwa menghilangkan sisa istinja bisa dengan benda apa saja. Yang terpenting adalah memenuhi beberapa syarat berikut.
1. Mampu membersihkan bekas najis
2. Merupakan benda yang tidak kasar dan tidak juga terlalu lembut karena memang tujuannya adalah untuk menghilangkan najis
3. Bukan merupakan benda yang berharga seperti emas ataupun pakaian seperti sutera
4. Bukan pula benda yang menambah kotor seperti arang, abu atau pasir
5. Benda tersebut tidak mengakibatkan luka bagi penggunanya seperti kaca beling dan lainnya
6. bisa menggunakan benda padat. Namun ulama Hanafiyah membolehkan seseorang menggunakan air mawar ataupun cuka untuk membersihkan.
7. Harus merupakan benda yang suci. Tidak boleh menggunakan kotoran hewan ataupun tulang. Bahkan kaum yang menggunakan roti untuk bersuci dilarang oleh Allah karena merupakan penghinaan atas karuniaNya.
Jadi kesimpulannya adalah boleh menggunakan tisu sebagai alat untuk membersihkan setelah buang air. Namun memang demi kesempurnaan dan kebersihan, alangkah lebih baiknya mencari toilet yang terdapat air.
Wallahu A’lam
Memang kebanyakan yang ingin ke toilet biasanya adalah ingin buang air kecil dan jika harus menggunakan air dapat lebih mengotori lantai toilet dan merembet ke lantai ruang lainnya.
Namun bagaimana jika dilihat dari segi agama? Bagaimana hukum membersihkan dengan tisu? Sudah dianggap sucikah?
Ketahuilah bahwa bersucinya seseorang dari membuang hajat menurut syariat Islam sebenarnya tidak terbatas hanya pada air saja. Yang menjadi kewajiban setelah membuang hajat adalah menghilangkan najis dari tempatnya baik itu menggunakan air ataupun menggunakan benda-benda seperti batu, tisu ataupun kertas.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan rekan-rekannya yang termasuk dalam jajaran ulama Al Lajnah Ad Daimah Lil Ifta pernah ditanya perihal boleh tidaknya menggunakan tisu untuk bersuci atau beristinja. Beliau kemudian berkata.
“Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya. Dibolehkannya menggunakan tisu atau kertas atau semacamnya dalam membersihkan najis dan dianggap sah serta cukup jika dapat membersihkan bagian yang terkena najis, baik qubul (kemaluan) maupun dubur (pantat). Yang utama dalam hal ini adalah menggunakannya dengan ganjil dan seharusnya tidak kurang dari tiga usapan. Tidak diwajibkan menggunakan air sesudahnya, akan tetapi sunah. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kami Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya.” (Fatawa Lajnah Da’imah 5/125)
Sementara, Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Bersuci dengan tisu dianggap sah, tidak mengapa, karena tujuan bersuci adalah menghilangkan najis, apakah itu dengan tisu, kertas, debu, batu kecuali tidak dibolehkan bersuci dengan sesuatu yang dilarang syariat sperti tulang atau kotoran hewan. Karena tulang adalah makanan jin jika dia adalah binatang yang halal disembelih. Adapun jika binatang yang tidak halal disembelih, maka tulang tersebut termasuk najis, dan najis tidak dapat mensucikan. Sedangkan kotoran hewan, jika dia termasuk najis, maka najis tidak dapat mensucikan. Sedangkan jika dia termasuk yang tidak najis, maka dia adalah makanan ternak jin. Karena ketika para jin datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan beriman kepadanya, beliau memberi jamuan yang tidak terputus hingga hari kiamat.”
“Beliau bersabda, “Bagi kalian tulang (dari hewan yang disembelih) dengan menyebut nama Allah, kalian akan dapatkan lebih banyak daripada daging.” Ini adalah termasuk perkara ghaib yang tidak terlihat. Akan tetapi wajib bagi kita mengimaninya. Demikian pula dengan kotoran hewan ternak, dia merupakan pakan hewan-hewan mereka (jin).” (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin)
Dari keterangan tersebut sangat jelas bahwa menghilangkan sisa istinja bisa dengan benda apa saja. Yang terpenting adalah memenuhi beberapa syarat berikut.
1. Mampu membersihkan bekas najis
2. Merupakan benda yang tidak kasar dan tidak juga terlalu lembut karena memang tujuannya adalah untuk menghilangkan najis
3. Bukan merupakan benda yang berharga seperti emas ataupun pakaian seperti sutera
4. Bukan pula benda yang menambah kotor seperti arang, abu atau pasir
5. Benda tersebut tidak mengakibatkan luka bagi penggunanya seperti kaca beling dan lainnya
6. bisa menggunakan benda padat. Namun ulama Hanafiyah membolehkan seseorang menggunakan air mawar ataupun cuka untuk membersihkan.
7. Harus merupakan benda yang suci. Tidak boleh menggunakan kotoran hewan ataupun tulang. Bahkan kaum yang menggunakan roti untuk bersuci dilarang oleh Allah karena merupakan penghinaan atas karuniaNya.
Jadi kesimpulannya adalah boleh menggunakan tisu sebagai alat untuk membersihkan setelah buang air. Namun memang demi kesempurnaan dan kebersihan, alangkah lebih baiknya mencari toilet yang terdapat air.
Wallahu A’lam