Ketika Mendengar Berita 10 WNI Disandera Kelompok Abu Sayyaf. Presiden Jokowi langsung mengumpulkan sejumlah pihak terkait untuk membebaskan 10 warga negara Indonesia (WNI) yang saat ini disandera oleh kelompok militan Abu Sayyaf di Filipina.
Sebanyak 10 WNI yang ditawan adalah awak kapal tugboat Brahma 12 bermuatan batu bara yang bertolak dari Banjarmasin menuju Filipina. Kapal mereka dibajak oleh kelompok Abu Sayyaf pada Sabtu 26 Maret 2016.
"Siang ini baru akan saya kumpulkan," kata Presiden Jokowi di Gedung Direktorat Jenderal Pajak, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (29/3/2016).
Pemerintah membenarkan 10 WNI disandera kelompok Abu Sayyaf. Saat ini pemerintah sedang mengupayakan terhadap pembebasan mereka.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengaku Presiden telah mendapatkan laporan mengenai penyanderaan 10 WNI di Filipina.
"Semua hal yang terjadi, baik malam ataupun pagi sudah disampaikan kepada Presiden," kata Pramono di Kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (29/3/2016).
Pramono mengatakan, pemerintah siap membebaskan 10 sandera yang diduga ditawan kelompok Abu Sayyaf. Menurut dia, pemerintah telah memerintahkan aparat Kepolisian dan TNI untuk menangkap para penyandera.
Kelompok Abu Sayyaf siap membebaskan 10 WNI dengan syarat uang tebusan sebesar 50 juta peso dengan tenggang waktu hingga 31 Maret 2016.
Sementara itu, Ketua DPR Ade Komarudin (Akom) meminta agar pemerintah jangan mau berkompromi dengan masalah penyanderaan 10 WNI oleh kelompok Abu Sayyaf ini. Akom mendorong pemerintah untuk melakukan operasi secara tepat.
"Jangan pernah kompromi, lakukan operasi secara tepat. Jangan khawatir, kita sudah pernah berhasil melakukan operasi," tegasnya di Gedung Nusantara III DPR, Jakarta, Selasa (29/3/2016).
Akom menjelaskan, Indonesia pernah memiliki pengalaman sukses terkait penyanderaan WNI yaitu ketika peristiwa Woyla pada Maret 1981 yang dilakukan lima teroris pimpinan Imran bin Muhammad Zein dari Komando Jihad.
Menurut dia, semua pihak keamanan pasti bisa mengambil langkah tepat sehingga dirinya yakin upaya pembebasan tersebut akan berhasil. "Operasi Woyla itu berhasil, jadi dan saya yakin dan percaya pada pengamanan di negara ini bisa melakukan yang terbaik, dan kita jangan pernah kompromi," ujarnya.
Akom menambahkan, terkait permintaan uang senilai Rp. 15 miliar dari kelompok tersebut, ini merupakan bentuk 'pemerasan' dan pelecehan terhadap kedaulatan negara Indonesia.
Dia menegaskan Indonesia tidak boleh takut terhadap aksi premanisme yang dilakukan para teroris karena menyangkut harga diri bangsa dan negara Indonesia.
"Terlalu mahal harga diri bangsa terhadap suatu upaya sedikit kelompok yang melakukan upaya itu," ungkapnya.
Dia mengatakan, Melindungi segenap warga negara merupakan amanat UUD 1945 sehingga apapun yang terjadi pemerintah harus melindungi dan mengayomi seluruh warganya.
Dihubungi secara terpisah, Menteri Pertahanan, Jendral Ryamizard Ryacudu mengatakan pihaknya masih menunggu sikap Filipina terkait 10 WNI yang disandera oleh Abu Sayyaf.
Ryamizard mengatakan saat ini Indonesia sedang menempuh jalur diplomatis yang dilakukan oleh Menlu dan Atase Pertahanan Indonesia untuk Filipina.
Kelompok Abu Sayyaf |
Sebanyak 10 WNI yang ditawan adalah awak kapal tugboat Brahma 12 bermuatan batu bara yang bertolak dari Banjarmasin menuju Filipina. Kapal mereka dibajak oleh kelompok Abu Sayyaf pada Sabtu 26 Maret 2016.
"Siang ini baru akan saya kumpulkan," kata Presiden Jokowi di Gedung Direktorat Jenderal Pajak, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (29/3/2016).
Pemerintah membenarkan 10 WNI disandera kelompok Abu Sayyaf. Saat ini pemerintah sedang mengupayakan terhadap pembebasan mereka.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengaku Presiden telah mendapatkan laporan mengenai penyanderaan 10 WNI di Filipina.
"Semua hal yang terjadi, baik malam ataupun pagi sudah disampaikan kepada Presiden," kata Pramono di Kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (29/3/2016).
Pramono mengatakan, pemerintah siap membebaskan 10 sandera yang diduga ditawan kelompok Abu Sayyaf. Menurut dia, pemerintah telah memerintahkan aparat Kepolisian dan TNI untuk menangkap para penyandera.
Kelompok Abu Sayyaf siap membebaskan 10 WNI dengan syarat uang tebusan sebesar 50 juta peso dengan tenggang waktu hingga 31 Maret 2016.
Kapal Tugboat Brahma 12 yang disandera Abu Sayyaf |
Sementara itu, Ketua DPR Ade Komarudin (Akom) meminta agar pemerintah jangan mau berkompromi dengan masalah penyanderaan 10 WNI oleh kelompok Abu Sayyaf ini. Akom mendorong pemerintah untuk melakukan operasi secara tepat.
"Jangan pernah kompromi, lakukan operasi secara tepat. Jangan khawatir, kita sudah pernah berhasil melakukan operasi," tegasnya di Gedung Nusantara III DPR, Jakarta, Selasa (29/3/2016).
Akom menjelaskan, Indonesia pernah memiliki pengalaman sukses terkait penyanderaan WNI yaitu ketika peristiwa Woyla pada Maret 1981 yang dilakukan lima teroris pimpinan Imran bin Muhammad Zein dari Komando Jihad.
Menurut dia, semua pihak keamanan pasti bisa mengambil langkah tepat sehingga dirinya yakin upaya pembebasan tersebut akan berhasil. "Operasi Woyla itu berhasil, jadi dan saya yakin dan percaya pada pengamanan di negara ini bisa melakukan yang terbaik, dan kita jangan pernah kompromi," ujarnya.
Akom menambahkan, terkait permintaan uang senilai Rp. 15 miliar dari kelompok tersebut, ini merupakan bentuk 'pemerasan' dan pelecehan terhadap kedaulatan negara Indonesia.
Dia menegaskan Indonesia tidak boleh takut terhadap aksi premanisme yang dilakukan para teroris karena menyangkut harga diri bangsa dan negara Indonesia.
"Terlalu mahal harga diri bangsa terhadap suatu upaya sedikit kelompok yang melakukan upaya itu," ungkapnya.
Dia mengatakan, Melindungi segenap warga negara merupakan amanat UUD 1945 sehingga apapun yang terjadi pemerintah harus melindungi dan mengayomi seluruh warganya.
Baca Juga: Siapa Sebenarnya Abu Sayyaf? Apa Tujuan Mereka?
Dihubungi secara terpisah, Menteri Pertahanan, Jendral Ryamizard Ryacudu mengatakan pihaknya masih menunggu sikap Filipina terkait 10 WNI yang disandera oleh Abu Sayyaf.
Ryamizard mengatakan saat ini Indonesia sedang menempuh jalur diplomatis yang dilakukan oleh Menlu dan Atase Pertahanan Indonesia untuk Filipina.