Anak Sakit-Sakitan Terus-Terusan, Haruskah Ganti Nama? │ Ketika seorang anak sakit-sakitan tiada henti, maka salah satu alternatif yang ditempuh oleh kedua orang tua adalah mengganti nama si anak. Hal ini sudah menjadi lumrah di kalangan masyarakat kita. Masyarakat menganggap bahwa sakitnya si anak disebabkan oleh ‘keberatan’ atas namanya sendiri. Hingga akhirnya mereka pun mengadakan upacara ganti nama. Namun apakah benar jika anak yang sakit-sakitan, harus ganti nama?
Mengganti nama, entah itu sewaktu kecil maupun setelah dewasa diperbolehkan dalam Islam. Malah menjadi suatu keharusan jika nama itu menyelisihi syari’at. Banyak contoh sahabat di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang namanya diganti karena mengandung arti yang buruk atau mengandung tazkiyah (dakwaan suci) terhadap diri sendiri. Misalnya saja baru-baru ini terungkap ada seorang lelaki yang diberi nama ‘Tuhan’ oleh kedua orang tuanya. Maka hendaklah ia mengganti namanya, karena nama tersebut sungguh sangat bertentangan dengan syariat.
Berikut kami ulas sedikit kisah Nabi Muhammad dalam mengganti nama seseorang:
1. Kisah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam Mengganti Nama Seseorang Ketika Masih Kecil
Suatu ketika, Abu Usaid pernah meletakkan bayinya di pangkuan Nabi. Namun kala itu, Nabi sedang sibuk dengan sesuatu yang lain yang ada di hadapannya. Maka Abu Usaid memerintahkan seseorang untuk memangku kembali bayinya dan membawanya pulang. Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam baru tersadar dan bertanya: “Dimanakah anak tadi?”
Abu Usaid menjawab: “Kami sudah membawanya pulang, wahai Rasulullah.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya lagi: “Siapa namanya?”.
“Fulan”. Jawab Abu Usaid
“Jangan (nama) itu. Tapi namanya Al Mundzir”. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Sejak saat itu, nama anak tadi menjadi Al Mundzir.
2. Kisah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Mengganti Nama Beberapa Orang Setelah Dewasa
Dari Ibnu Umar, bahwasanya ada seorang wanita yang bernama ‘Ashiyah (pelaku maksiat), kemudian Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengganti namanya dengan Jamilah (cantik).
Pada hadist lain, dari Sa’id bin Al Musayyib ada diterangkan bahwa kakeknya pernah berkunjung menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, lalu beliau bertanya: “Siapa namamu?” Kakeknya menjawab: “Hazn (keras)” Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Engkau adalah Sahl (mudah).” Namun kakeknya menjawab: “Aku tidak mau mengganti nama yang telah diberikan ayahku”.
Ibnul Musayyib berkata: “Sehingga sikapnya terus menerus keras setelah itu.” (HR. Bukhari)
Intisari dari uraian di atas adalah bahwa mengganti nama hukumnya boleh dalam Islam, baik ketika masih kecil maupun setelah dewasa. Penggantian nama tersebut bukan dikarenakan seseorang terus sakit-sakitan, tetapi nama-nama tersebut mengandung arti yang buruk, tazkiyah (dakwaan suci) atau menyelisihi syari’at.
Kemudian tidak disyariatkan pula mengadakan upacara atau ritual tertentu dalam penggantian nama ini. Jika kita masih merasa penggantian nama ini kurang afdhal apabila tidak disertai upacara syukuran tertentu, maka kita sudah berseberangan dengan para sahabat. Jika upacara penggantian nama adalah sesuatu yang baik dan sesuai dengan perintah syariat, maka tentu para sahabat itu telah mendahului kita dalam mengamalkannya.
Jadi sudah jelaslah kini bahwa sakitnya seseorang tidak ada hubungannya dengan nama yang disandangnya. Banyak praktek menyimpang penggantian nama akibat percaya begitu saja akan istilah ‘keberatan’ nama ini. Padahal nama yang diganti adalah nama yang sangat bagus misalnya Abdullah (Hamba Allah) atau Abdurrahman (Hamba Yang Maha Penyayang).
Sekali lagi, tidak ada istilah ‘keberatan’ nama dalam Islam. Yang ada ialah, gantilah namamu atau nama kaum kerabatmu atau nama-nama saudara seagamamu dengan nama-nama yang mengandung arti yang baik.
Wallahu A’lam
Mengganti nama, entah itu sewaktu kecil maupun setelah dewasa diperbolehkan dalam Islam. Malah menjadi suatu keharusan jika nama itu menyelisihi syari’at. Banyak contoh sahabat di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang namanya diganti karena mengandung arti yang buruk atau mengandung tazkiyah (dakwaan suci) terhadap diri sendiri. Misalnya saja baru-baru ini terungkap ada seorang lelaki yang diberi nama ‘Tuhan’ oleh kedua orang tuanya. Maka hendaklah ia mengganti namanya, karena nama tersebut sungguh sangat bertentangan dengan syariat.
Berikut kami ulas sedikit kisah Nabi Muhammad dalam mengganti nama seseorang:
1. Kisah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam Mengganti Nama Seseorang Ketika Masih Kecil
Suatu ketika, Abu Usaid pernah meletakkan bayinya di pangkuan Nabi. Namun kala itu, Nabi sedang sibuk dengan sesuatu yang lain yang ada di hadapannya. Maka Abu Usaid memerintahkan seseorang untuk memangku kembali bayinya dan membawanya pulang. Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam baru tersadar dan bertanya: “Dimanakah anak tadi?”
Abu Usaid menjawab: “Kami sudah membawanya pulang, wahai Rasulullah.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya lagi: “Siapa namanya?”.
“Fulan”. Jawab Abu Usaid
“Jangan (nama) itu. Tapi namanya Al Mundzir”. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Sejak saat itu, nama anak tadi menjadi Al Mundzir.
2. Kisah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Mengganti Nama Beberapa Orang Setelah Dewasa
Dari Ibnu Umar, bahwasanya ada seorang wanita yang bernama ‘Ashiyah (pelaku maksiat), kemudian Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengganti namanya dengan Jamilah (cantik).
Pada hadist lain, dari Sa’id bin Al Musayyib ada diterangkan bahwa kakeknya pernah berkunjung menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, lalu beliau bertanya: “Siapa namamu?” Kakeknya menjawab: “Hazn (keras)” Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Engkau adalah Sahl (mudah).” Namun kakeknya menjawab: “Aku tidak mau mengganti nama yang telah diberikan ayahku”.
Ibnul Musayyib berkata: “Sehingga sikapnya terus menerus keras setelah itu.” (HR. Bukhari)
Intisari dari uraian di atas adalah bahwa mengganti nama hukumnya boleh dalam Islam, baik ketika masih kecil maupun setelah dewasa. Penggantian nama tersebut bukan dikarenakan seseorang terus sakit-sakitan, tetapi nama-nama tersebut mengandung arti yang buruk, tazkiyah (dakwaan suci) atau menyelisihi syari’at.
Kemudian tidak disyariatkan pula mengadakan upacara atau ritual tertentu dalam penggantian nama ini. Jika kita masih merasa penggantian nama ini kurang afdhal apabila tidak disertai upacara syukuran tertentu, maka kita sudah berseberangan dengan para sahabat. Jika upacara penggantian nama adalah sesuatu yang baik dan sesuai dengan perintah syariat, maka tentu para sahabat itu telah mendahului kita dalam mengamalkannya.
Jadi sudah jelaslah kini bahwa sakitnya seseorang tidak ada hubungannya dengan nama yang disandangnya. Banyak praktek menyimpang penggantian nama akibat percaya begitu saja akan istilah ‘keberatan’ nama ini. Padahal nama yang diganti adalah nama yang sangat bagus misalnya Abdullah (Hamba Allah) atau Abdurrahman (Hamba Yang Maha Penyayang).
Sekali lagi, tidak ada istilah ‘keberatan’ nama dalam Islam. Yang ada ialah, gantilah namamu atau nama kaum kerabatmu atau nama-nama saudara seagamamu dengan nama-nama yang mengandung arti yang baik.
Wallahu A’lam