KabarMakkah.Com - Sebuah hadist yang diterima dari Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu menjelaskan, Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Andaikata kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian, sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung yang pergi pada pagi hari dalam keadaan perut yang kosong dan kembali pada sore hari dalam keadaan perut yang kenyang”. (HR. Tirmidzi)
Hadist ini kiranya perlu mendapat perhatian lebih agar kita paham maknanya. Dalam hadist tersebut Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyandarkan kata tawakal pada perumpamaan seekor burung yang terbang di pagi hari dengan perut kosong kemudian pulang pada sore hari dengan perut penuh terisi.
Dari sini kita bisa memetik pelajaran pertama bahwa yang namanya tawakal bukanlah berdiam diri menyerahkan semuanya pada kehendak takdir. Burung tersebut melakukan ikhtiar dengan terbang mencari makanan walau ia tak pernah tahu dimana letak rizki itu berada. Maka jangan sampai kita mengatakan bahwa berdiam diri di dalam masjid dengan melantunkan berbagai do’a, itulah yang disebut tawakal.
Atau jangan pula kita berkata: “Kuda nil saja yang setiap hari hanya berendam dalam lumpur, bisa bertubuh super besar karena ada Sang Pemberi Rezeki”. Ini adalah kata-kata yang sepintas benar namun mengandung kesalahan besar. Ia sebenarnya baru mengenal asma Allah, dan belum mengenal Allah yang sesungguhnya.
Begitu pula dalam urusan jodoh. Banyak jomblowers yang begitu menggebu-gebu mempunyai keinginan besar untuk menikah, namun ia hanya berdiam diri di rumah tanpa pernah berusaha mencari jodoh lewat jalan mengirimkan biodata agar bisa ta’aruf. Ketika ada yang bertanya, maka jawabannya: “Eemh, insyaallah jodoh saya akan datang, karena Allah subhanahu Wa Ta’ala telah mengatur urusan jodoh tiap laki-laki dan perempuan yang diciptakan-Nya”. Kalimat yang keluar dari bibirnya benar, namun pemahaman di otaknya belum.
Bergeraklah seperti tawakalnya seekor burung. Jangan berlindung dibalik kata tawakal hanya untuk menutupi kemalasan kita dalam berikhtiar. Terlebih jika ia balik menyalahkan orang-orang yang giat berusaha dengan tuduhan bahwa orang-orang tersebut tidak yakin akan rezeki yang telah dijamin Allah. Semua itu adalah pemahaman yang salah kaprah.
Orang yang yakin pada Allah justru berikhtiar sepenuh tenaga, sebatas maksimal kemampuan dirinya. Lalu ia iringi ikhtiarnya dengan doa penuh harap terhadap Robbnya. Ikhtiar yang ia lakukan pun tidak menjadikannya lalai dari menunaikan berbagai kewajiban ibadah.
Setelah sekuat tenaga berikhtiar, setelah tanpa henti melantunkan do’a penuh harap, barulah ia pasrahkan semua hasilnya pada kehendak Allah semata. Jika hasilnya sesuai dengan apa yang ia harapkan, maka hal itu akan menjadikannya insan penuh syukur akan besarnya karunia Allah yang telah dianugerahkan baginya. Sedangkan jika hasilnya tak sesuai harapan, hal itu akan menjadikannya insan yang penuh sabar atas apa pun rencana Allah bagi dirinya.
Ia yakin, ia percaya Allah mengetahui apa yang lebih baik bagi dirinya. Belum tentu apa yang diharapkannya akan membawa maslahat, dan belum tentu apa yang tak diinginkannya akan membawa madharat. Maka inilah konsep tawakal yang sesungguhnya, tawakal yang sebenar-benarnya tawakal.
Manusia tidak diberi pengetahuan akan kapan, dimana dan berapa besar rizki yang akan diperolehnya dari hari ke hari. Kerahasiaan inilah yang membuat manusia harus bergerak layaknya burung yang mencari padi-padian. Pada hari itu sang burung tak pernah tahu apakah ia akan mendapat makanan atau tidak. Namun ia tetap berangkat dan menyerahkan hasilnya pada Allah, Dzat yang Maha Pemberi Rezeki. Maka kembalilah ia dengan perut penuh terisi, karena Robb-nya tidak akan pernah lupa memberi rezeki pada makhluk-Nya.
Kita harus mengimani bahwa Allah-lah penulis setiap takdir dan penguasa setiap ketentuan. Mudah saja bagi Allah memutuskan sesuatu hal baik atau justru hal buruk menimpa kita karena semua berada dalam genggaman-Nya. Maka ketika hendak keluar rumah, Rasul-Nya telah memberikan contoh pada umat muslim untuk selalu berdo’a.
Keterangan tersebut bisa kita baca dalam sebuah hadist yang diterima dari sahabat Anas Radhiyallahu ‘Anhu yakni Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Siapa yang ketika keluar dari rumahnya mengucapkan, Bismillaahi tawakkaltu ‘ala llaahi laahaula walaa quwwata illaa billaahi (Dengan menyebut nama Allah, saya bertawakal hanya kepada Allah, tiada daya dan upaya kecuali hanya dari Allah), maka kepada orang itu dikatakan, Engkau telah diberi petunjuk, engkau dicukupi keperluanmu, juga diberi penjagaan. Maka setan pun menyingkir dari orang tersebut”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Jadi bergeraklah, berikhtiarlah dengan mengerahkan seluruh kemampuan. Karena ikhtiar adalah juga perintah-Nya dan termasuk dalam kategori ibadah terhadap-Nya. Ingatlah bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum mereka berikhtiar mengubahnya. Tapi janganlah kita menyandarkan segalanya pada ikhtiar saja. Berdo’alah kepadanya dengan penuh takut dan harap, karena Dia-lah yang Maha Penentu hasil akhir dari ikhtiar kita.
“Andaikata kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian, sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung yang pergi pada pagi hari dalam keadaan perut yang kosong dan kembali pada sore hari dalam keadaan perut yang kenyang”. (HR. Tirmidzi)
Hadist ini kiranya perlu mendapat perhatian lebih agar kita paham maknanya. Dalam hadist tersebut Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyandarkan kata tawakal pada perumpamaan seekor burung yang terbang di pagi hari dengan perut kosong kemudian pulang pada sore hari dengan perut penuh terisi.
Dari sini kita bisa memetik pelajaran pertama bahwa yang namanya tawakal bukanlah berdiam diri menyerahkan semuanya pada kehendak takdir. Burung tersebut melakukan ikhtiar dengan terbang mencari makanan walau ia tak pernah tahu dimana letak rizki itu berada. Maka jangan sampai kita mengatakan bahwa berdiam diri di dalam masjid dengan melantunkan berbagai do’a, itulah yang disebut tawakal.
Atau jangan pula kita berkata: “Kuda nil saja yang setiap hari hanya berendam dalam lumpur, bisa bertubuh super besar karena ada Sang Pemberi Rezeki”. Ini adalah kata-kata yang sepintas benar namun mengandung kesalahan besar. Ia sebenarnya baru mengenal asma Allah, dan belum mengenal Allah yang sesungguhnya.
Begitu pula dalam urusan jodoh. Banyak jomblowers yang begitu menggebu-gebu mempunyai keinginan besar untuk menikah, namun ia hanya berdiam diri di rumah tanpa pernah berusaha mencari jodoh lewat jalan mengirimkan biodata agar bisa ta’aruf. Ketika ada yang bertanya, maka jawabannya: “Eemh, insyaallah jodoh saya akan datang, karena Allah subhanahu Wa Ta’ala telah mengatur urusan jodoh tiap laki-laki dan perempuan yang diciptakan-Nya”. Kalimat yang keluar dari bibirnya benar, namun pemahaman di otaknya belum.
Bergeraklah seperti tawakalnya seekor burung. Jangan berlindung dibalik kata tawakal hanya untuk menutupi kemalasan kita dalam berikhtiar. Terlebih jika ia balik menyalahkan orang-orang yang giat berusaha dengan tuduhan bahwa orang-orang tersebut tidak yakin akan rezeki yang telah dijamin Allah. Semua itu adalah pemahaman yang salah kaprah.
Orang yang yakin pada Allah justru berikhtiar sepenuh tenaga, sebatas maksimal kemampuan dirinya. Lalu ia iringi ikhtiarnya dengan doa penuh harap terhadap Robbnya. Ikhtiar yang ia lakukan pun tidak menjadikannya lalai dari menunaikan berbagai kewajiban ibadah.
Setelah sekuat tenaga berikhtiar, setelah tanpa henti melantunkan do’a penuh harap, barulah ia pasrahkan semua hasilnya pada kehendak Allah semata. Jika hasilnya sesuai dengan apa yang ia harapkan, maka hal itu akan menjadikannya insan penuh syukur akan besarnya karunia Allah yang telah dianugerahkan baginya. Sedangkan jika hasilnya tak sesuai harapan, hal itu akan menjadikannya insan yang penuh sabar atas apa pun rencana Allah bagi dirinya.
Ia yakin, ia percaya Allah mengetahui apa yang lebih baik bagi dirinya. Belum tentu apa yang diharapkannya akan membawa maslahat, dan belum tentu apa yang tak diinginkannya akan membawa madharat. Maka inilah konsep tawakal yang sesungguhnya, tawakal yang sebenar-benarnya tawakal.
Manusia tidak diberi pengetahuan akan kapan, dimana dan berapa besar rizki yang akan diperolehnya dari hari ke hari. Kerahasiaan inilah yang membuat manusia harus bergerak layaknya burung yang mencari padi-padian. Pada hari itu sang burung tak pernah tahu apakah ia akan mendapat makanan atau tidak. Namun ia tetap berangkat dan menyerahkan hasilnya pada Allah, Dzat yang Maha Pemberi Rezeki. Maka kembalilah ia dengan perut penuh terisi, karena Robb-nya tidak akan pernah lupa memberi rezeki pada makhluk-Nya.
Kita harus mengimani bahwa Allah-lah penulis setiap takdir dan penguasa setiap ketentuan. Mudah saja bagi Allah memutuskan sesuatu hal baik atau justru hal buruk menimpa kita karena semua berada dalam genggaman-Nya. Maka ketika hendak keluar rumah, Rasul-Nya telah memberikan contoh pada umat muslim untuk selalu berdo’a.
Keterangan tersebut bisa kita baca dalam sebuah hadist yang diterima dari sahabat Anas Radhiyallahu ‘Anhu yakni Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Siapa yang ketika keluar dari rumahnya mengucapkan, Bismillaahi tawakkaltu ‘ala llaahi laahaula walaa quwwata illaa billaahi (Dengan menyebut nama Allah, saya bertawakal hanya kepada Allah, tiada daya dan upaya kecuali hanya dari Allah), maka kepada orang itu dikatakan, Engkau telah diberi petunjuk, engkau dicukupi keperluanmu, juga diberi penjagaan. Maka setan pun menyingkir dari orang tersebut”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Jadi bergeraklah, berikhtiarlah dengan mengerahkan seluruh kemampuan. Karena ikhtiar adalah juga perintah-Nya dan termasuk dalam kategori ibadah terhadap-Nya. Ingatlah bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum mereka berikhtiar mengubahnya. Tapi janganlah kita menyandarkan segalanya pada ikhtiar saja. Berdo’alah kepadanya dengan penuh takut dan harap, karena Dia-lah yang Maha Penentu hasil akhir dari ikhtiar kita.