KabarMakkah.Com - Lelaki yang sekujur tubuhnya penuh dengan parut-parut luka itu hidup di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dia adalah seorang hamba sahaya milik seorang perempuan yang merupakan orang kelima atau keenam yang memeluk islam. Dengan kata lain, dia memeluk Islam ketika Islam mulai berkembang. Namun, ada apa dengan lelaki muslim ini? Ia justru menangis sedih ketika Islam telah menyebar ke segala penjuru negeri.
Apakah ia tidak menginginkan Islam berkembang?
Bukankah seharusnya ia menangis bahagia ketika melihat Islam menyebar luas?
Apakah ia tidak menginginkan orang lain mendapatkan rahmat dan keselamatan dengan memeluk Islam?
Ternyata bukan itu jawabannya. Ketika Islam telah menyebar di segala penjuru, lelaki muslim itu sering duduk menangis sambil berkata: “Nampaknya Allah sedang memberi ganjaran atas segala penderitaan yang kita alami. Jadi mungkin di akhirat nanti tidak ada ganjaran yang akan kita terima”.
Jadi kesedihannya melihat Islam menyebar luas dikarenakan banyaknya kemenangan disertai melimpahnya ghanimah (harta rampasan perang) yang membuat hidupnya dan hidup kaum muslimin tidak semenderita dulu. Ia berpikiran jangan-jangan semua kenikmatan tersebut merupakan ganjaran yang diberikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dunia atas semua penderitaannya dan penderitaan kaum muslimin dalam memperjuangkan agama Allah. Sehingga ia begitu khawatir bahwa di akhirat kelak tidak ada ganjaran yang akan ia terima.
Inilah sikap sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam melihat berbagai kenikmatan hidup. Ketika kenikmatan dunia begitu melimpah dan penderitaan dalam membela agama Allah sudah begitu minim, maka ia terpekur duduk sendiri menangis sedih. Padahal perjuangannya dalam menegakkan Islam begitu mengharu biru.
Dahulu ketika majikannya mengetahui bahwa ia sering mengunjungi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, kepalanya dicap dengan besi panas yang merah menyala. Ia pun pernah dipaksa mengenakan baju besi dan diseret di atas gurun pasir di tengah panasnya sengatan matahari hingga kulitnya mengelupas.
Ketika Umar Radhiallahu ‘Anhu menjadi khalifah, beliau pernah bertanya pada lelaki itu mengenai penderitaannya memperjuangkan Islam. Sebagai jawabannya, lelaki tersebut memperlihatkan parut-parut luka di belakang badannya. Khalifah Umar Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Saya belum pernah melihat bagian belakang badan yang demikian rupa”.
Masya Allah, rupanya lelaki itu pernah juga diseret di atas timbunan bara api hingga lemak dan darah yang mengalir dari tubuhnya memadamkan bara api tersebut. Dan dengan perjuangan yang begitu hebat ini, ia masih merasa bahwa dirinya tidak akan mendapatkan ganjaran di akhirat kelak karena Allah telah memberinya kenyamanan hidup di dunia di akhir usianya.
Siapakah lelaki mulia ini?
Dia adalah Khabab bin Al Arat Radhiallahu ‘Anhu. Khabab meninggal pada usia 37 tahun dan dia sahabat yang pertama kali dikebumikan di Kuffah. Pada suatu hari Ali bin Abi Thalib telah melewati makam Khabab, ia pun berkata: “ Ya Allah, rahmatilah Khabab. Dengan semangatnya dia telah memeluk Islam, dan dengan ikhlas dia telah menghabiskan waktunya untuk berhijrah, berjihad dan mengalami segala penderitaan”.
Maka berbahagialah orang yang selalu mengingat hari akhir. Orang yang senantiasa bersiap sedia menghadapi hisab di akhirat kelak. Ia berpuas hati dengan hidup sederhana di dunia, karena dunia hanyalah laksana jembatan penyeberangan. Walaupun ia panjang terbentang, namun akhirnya ia akan dilalui pula.
Para sahabat mendedikasikan hidupnya hanya untuk mencari keridhoan Allah. Sehingga tidak ada suatu pekerjaan pun yang dilakukan selama hidup mereka kecuali semata-mata untuk mendapat keridhoan Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata.
Maka masih pantaskah kita berkeluh kesah dengan sempitnya kehidupan dunia? Padahal Khabab menangis sedih ketika kesempitan dan penderitaan hidup itu berkurang darinya. Sedangkan belum ada satu luka gores pun yang terukir di tubuh kita akibat berjuang membela agama Allah.
Apakah ia tidak menginginkan Islam berkembang?
Bukankah seharusnya ia menangis bahagia ketika melihat Islam menyebar luas?
Apakah ia tidak menginginkan orang lain mendapatkan rahmat dan keselamatan dengan memeluk Islam?
Ternyata bukan itu jawabannya. Ketika Islam telah menyebar di segala penjuru, lelaki muslim itu sering duduk menangis sambil berkata: “Nampaknya Allah sedang memberi ganjaran atas segala penderitaan yang kita alami. Jadi mungkin di akhirat nanti tidak ada ganjaran yang akan kita terima”.
Jadi kesedihannya melihat Islam menyebar luas dikarenakan banyaknya kemenangan disertai melimpahnya ghanimah (harta rampasan perang) yang membuat hidupnya dan hidup kaum muslimin tidak semenderita dulu. Ia berpikiran jangan-jangan semua kenikmatan tersebut merupakan ganjaran yang diberikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dunia atas semua penderitaannya dan penderitaan kaum muslimin dalam memperjuangkan agama Allah. Sehingga ia begitu khawatir bahwa di akhirat kelak tidak ada ganjaran yang akan ia terima.
Inilah sikap sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam melihat berbagai kenikmatan hidup. Ketika kenikmatan dunia begitu melimpah dan penderitaan dalam membela agama Allah sudah begitu minim, maka ia terpekur duduk sendiri menangis sedih. Padahal perjuangannya dalam menegakkan Islam begitu mengharu biru.
Dahulu ketika majikannya mengetahui bahwa ia sering mengunjungi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, kepalanya dicap dengan besi panas yang merah menyala. Ia pun pernah dipaksa mengenakan baju besi dan diseret di atas gurun pasir di tengah panasnya sengatan matahari hingga kulitnya mengelupas.
Ketika Umar Radhiallahu ‘Anhu menjadi khalifah, beliau pernah bertanya pada lelaki itu mengenai penderitaannya memperjuangkan Islam. Sebagai jawabannya, lelaki tersebut memperlihatkan parut-parut luka di belakang badannya. Khalifah Umar Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Saya belum pernah melihat bagian belakang badan yang demikian rupa”.
Masya Allah, rupanya lelaki itu pernah juga diseret di atas timbunan bara api hingga lemak dan darah yang mengalir dari tubuhnya memadamkan bara api tersebut. Dan dengan perjuangan yang begitu hebat ini, ia masih merasa bahwa dirinya tidak akan mendapatkan ganjaran di akhirat kelak karena Allah telah memberinya kenyamanan hidup di dunia di akhir usianya.
Siapakah lelaki mulia ini?
Dia adalah Khabab bin Al Arat Radhiallahu ‘Anhu. Khabab meninggal pada usia 37 tahun dan dia sahabat yang pertama kali dikebumikan di Kuffah. Pada suatu hari Ali bin Abi Thalib telah melewati makam Khabab, ia pun berkata: “ Ya Allah, rahmatilah Khabab. Dengan semangatnya dia telah memeluk Islam, dan dengan ikhlas dia telah menghabiskan waktunya untuk berhijrah, berjihad dan mengalami segala penderitaan”.
Maka berbahagialah orang yang selalu mengingat hari akhir. Orang yang senantiasa bersiap sedia menghadapi hisab di akhirat kelak. Ia berpuas hati dengan hidup sederhana di dunia, karena dunia hanyalah laksana jembatan penyeberangan. Walaupun ia panjang terbentang, namun akhirnya ia akan dilalui pula.
Para sahabat mendedikasikan hidupnya hanya untuk mencari keridhoan Allah. Sehingga tidak ada suatu pekerjaan pun yang dilakukan selama hidup mereka kecuali semata-mata untuk mendapat keridhoan Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata.
Maka masih pantaskah kita berkeluh kesah dengan sempitnya kehidupan dunia? Padahal Khabab menangis sedih ketika kesempitan dan penderitaan hidup itu berkurang darinya. Sedangkan belum ada satu luka gores pun yang terukir di tubuh kita akibat berjuang membela agama Allah.