Walaupun Allah memerintahkan kita untuk beribadah, memberitakan bahwa tujuan kita diciptakan adalah untuk beribadah kepada-Nya, namun bukan berarti Allah membutuhkan ibadah kita. Tidak ada manfaat yang Allah ambil dari kita dengan ibadah itu dan Allah pun tidak menginginkannya. Allah Mahakaya, Mahasempurna dan Mahakuasa.
Pernah suatu saat kita merasa hampa dalam beribadah. Ibadah yang kerap dilakukan terasa kering tanpa ruh. Seolah-olah hanya menjalakan rutintas belaka tanpa makna. Bahkan dalam kondisi sendiri, kita sering merasa futur dalam beribadah. Bahkan bisa jadi sampai meninggalkan amalan-amalan sunnah yaumiyah kita. Mungkin dalam hati kita sering melakukan pembelaan-pembelaan yang sebetulnya tidak patut dibela. Misalkan kita berdalih karena banyak faktor yang menyebabkan keringnya ibadah yang kita lakukan. Semisal karena pekerjaan yang “padat merayap”. Banyak hal yang harus diselesaikan dan lain sebagainya. Di sisi lain ternyata ada sosok manusia yang boleh jadi pekerjaannya jauh lebih banyak ketimbang kita masih istiqomah menjalankan ibadah harian.
Kita tanpa sadar sering meninggalkan amalan-amalan sunnah harian bahkan karena seringnya, meninggalkan amalan–amalan sunnah itu, menjadikannya sebagai kebiasaan. Terus-menerus berlangsung tanpa kita sadari dan renungi. Semakin sering maka semakin biasa kita meninggalkannya. Seakan-akan tidak merasakan kehilangan atau berdosa ketika meninggalkannya.
Dahulu saat kita belajar mengaji mungkin kita begitu bersemangat melakukan amalan-amalan sunnah itu. Kita tidak rela meninggalkannya meski dalam keadaan sibuk sekalipun. Bahkan bisa jadi ketika kita dalam kondisi sibuk kita berjihad mencuri-curi waktu untuk melakukan amalan-amalan sunnah tersebut. Allah terasa begitu dekat di hati kita. Kita seakan-akan begitu sangat diawasi, sampai-sampai kita sangat khawatir jika amalan-amalan sunnah itu kita tinggalkan. Saya mengibaratkan amalan-amalan sunnah kita itu seperti ban luar kendaraan kita. Ketika ban luar itu tidak kita perbaharui, lama ke lamaan ban luar itu tidak menjadi pelindung ban dalam lagi. Akibatnya ban dalam kendaraan kita sering bocor. Bahkan terkoyak-koyak.
Dahulu saat belajar mengaji kita begitu bersemangat menasehati sahabat-sahabat kita ketika mereka lalai dalam menjalankan ibadah, namun dengan dalih kedewasaan beragama, kita membiarkan saja sahabat kita itu meninggalkan ibadahnya, baik karena lupa ataupun di sengaja. Menasehati dengan kata-kata haluspun tidak. Memberikan sindiran secara haluspun pun tidak. Kita menjadi individualistis. “Ah biarkan saja itu urusannya sendiri, bukan urusan saya!” Padahal sangat mungkin kita menasehatinya tanpa harus merusak hubungan pribadi kita.
Padahal kita ini adalah sesama saudara. Apakah tega kita melihat saudara kita sendiri jatuh ke jurang dengan membiarkannya tanpa menasehatinya?. Bukanlah di dalam surat Al-Ashr ayat 3 kita telah belajar bahwa tugas menasehati itu bukan monopoli satu pihak, akan tetapi ada kata “saling” yang berarti ada hubungan timbal balik?
Apakah lantaran khawatir temakan omongan kita sendiri, takut di cap munafik, kita menjadi tidak peduli dengan sesama saudara sendiri? Terkadang saya sendiri membayangkan seandainya itu terjadi, bagaimana kondisi kita di masa yang akan datang? Ukhuwah Islamiyah kita bisa sangat terancam dengan gejala individualisme kita. Kita membiarkan saja saudara kita terjatuh tanpa memperdulikannya sekalipun. Nauzubillah mindzaalik.
Allah Tak Butuh Ibadah Kita.. Kita Yang Butuh Allah..
“Hai manusia, kamulah yang membutuhkan kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (QS. Fathir: 15)
Semua manfaat ibadah yang kita lakukan itu akan kembali kepada kita. Karena manusia adalah makhluk lemah, miskin dan tak sempurna.
“Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An-Naml: 40)
“Dan Musa berkata: “Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrahim 8)
Begitu pun, jika seluruh manusia kufur kepada Allah, tidak beribadah kepada-Nya, menelantarkan perintah-perintah-Nya dan melanggar larangan-larangan-Nya, maka hal itu tidak membahayakan Allah sama sekali. Akan tetapi kemadaratannya akan kembali kepada manusia itu sendiri.
“Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran (Al Quran) dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu.” (QS. Yunus: 108)
Allah Subhaanahu wa Ta’ala pun berfirman dalam hadits qudsi:
“Wahai hamba-hamba-Ku, andai orang-orang terdahulu kalian dan paling akhir, manusia dan jin, seluruhnya berhati orang yang paling takwa diantara kalian, hal itu tidak akan menambah kerajaan-Ku sedikit pun.”
Wahai hamba-hamba-Ku, andai orang-orang terdahulu kalian dan paling akhir, manusia dan jin, seluruhnya berhati orang yang paling jahat diantara kalian, hal itu pun tidak akan pernah mengurangi sedikit pun dari kerajaan-Ku.” (HR Muslim ).
Maka masihkah kita enggan dan malas beribadah? Siapa butuh siapa????
Pernah suatu saat kita merasa hampa dalam beribadah. Ibadah yang kerap dilakukan terasa kering tanpa ruh. Seolah-olah hanya menjalakan rutintas belaka tanpa makna. Bahkan dalam kondisi sendiri, kita sering merasa futur dalam beribadah. Bahkan bisa jadi sampai meninggalkan amalan-amalan sunnah yaumiyah kita. Mungkin dalam hati kita sering melakukan pembelaan-pembelaan yang sebetulnya tidak patut dibela. Misalkan kita berdalih karena banyak faktor yang menyebabkan keringnya ibadah yang kita lakukan. Semisal karena pekerjaan yang “padat merayap”. Banyak hal yang harus diselesaikan dan lain sebagainya. Di sisi lain ternyata ada sosok manusia yang boleh jadi pekerjaannya jauh lebih banyak ketimbang kita masih istiqomah menjalankan ibadah harian.
Kita tanpa sadar sering meninggalkan amalan-amalan sunnah harian bahkan karena seringnya, meninggalkan amalan–amalan sunnah itu, menjadikannya sebagai kebiasaan. Terus-menerus berlangsung tanpa kita sadari dan renungi. Semakin sering maka semakin biasa kita meninggalkannya. Seakan-akan tidak merasakan kehilangan atau berdosa ketika meninggalkannya.
Dahulu saat kita belajar mengaji mungkin kita begitu bersemangat melakukan amalan-amalan sunnah itu. Kita tidak rela meninggalkannya meski dalam keadaan sibuk sekalipun. Bahkan bisa jadi ketika kita dalam kondisi sibuk kita berjihad mencuri-curi waktu untuk melakukan amalan-amalan sunnah tersebut. Allah terasa begitu dekat di hati kita. Kita seakan-akan begitu sangat diawasi, sampai-sampai kita sangat khawatir jika amalan-amalan sunnah itu kita tinggalkan. Saya mengibaratkan amalan-amalan sunnah kita itu seperti ban luar kendaraan kita. Ketika ban luar itu tidak kita perbaharui, lama ke lamaan ban luar itu tidak menjadi pelindung ban dalam lagi. Akibatnya ban dalam kendaraan kita sering bocor. Bahkan terkoyak-koyak.
Dahulu saat belajar mengaji kita begitu bersemangat menasehati sahabat-sahabat kita ketika mereka lalai dalam menjalankan ibadah, namun dengan dalih kedewasaan beragama, kita membiarkan saja sahabat kita itu meninggalkan ibadahnya, baik karena lupa ataupun di sengaja. Menasehati dengan kata-kata haluspun tidak. Memberikan sindiran secara haluspun pun tidak. Kita menjadi individualistis. “Ah biarkan saja itu urusannya sendiri, bukan urusan saya!” Padahal sangat mungkin kita menasehatinya tanpa harus merusak hubungan pribadi kita.
Padahal kita ini adalah sesama saudara. Apakah tega kita melihat saudara kita sendiri jatuh ke jurang dengan membiarkannya tanpa menasehatinya?. Bukanlah di dalam surat Al-Ashr ayat 3 kita telah belajar bahwa tugas menasehati itu bukan monopoli satu pihak, akan tetapi ada kata “saling” yang berarti ada hubungan timbal balik?
Apakah lantaran khawatir temakan omongan kita sendiri, takut di cap munafik, kita menjadi tidak peduli dengan sesama saudara sendiri? Terkadang saya sendiri membayangkan seandainya itu terjadi, bagaimana kondisi kita di masa yang akan datang? Ukhuwah Islamiyah kita bisa sangat terancam dengan gejala individualisme kita. Kita membiarkan saja saudara kita terjatuh tanpa memperdulikannya sekalipun. Nauzubillah mindzaalik.
Allah Tak Butuh Ibadah Kita.. Kita Yang Butuh Allah..
“Hai manusia, kamulah yang membutuhkan kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (QS. Fathir: 15)
Semua manfaat ibadah yang kita lakukan itu akan kembali kepada kita. Karena manusia adalah makhluk lemah, miskin dan tak sempurna.
“Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An-Naml: 40)
وَقَالَ مُوسَى إِنْ تَكْفُرُوا أَنْتُمْ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا فَإِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Dan Musa berkata: “Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrahim 8)
Begitu pun, jika seluruh manusia kufur kepada Allah, tidak beribadah kepada-Nya, menelantarkan perintah-perintah-Nya dan melanggar larangan-larangan-Nya, maka hal itu tidak membahayakan Allah sama sekali. Akan tetapi kemadaratannya akan kembali kepada manusia itu sendiri.
“Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran (Al Quran) dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu.” (QS. Yunus: 108)
Allah Subhaanahu wa Ta’ala pun berfirman dalam hadits qudsi:
“Wahai hamba-hamba-Ku, andai orang-orang terdahulu kalian dan paling akhir, manusia dan jin, seluruhnya berhati orang yang paling takwa diantara kalian, hal itu tidak akan menambah kerajaan-Ku sedikit pun.”
Wahai hamba-hamba-Ku, andai orang-orang terdahulu kalian dan paling akhir, manusia dan jin, seluruhnya berhati orang yang paling jahat diantara kalian, hal itu pun tidak akan pernah mengurangi sedikit pun dari kerajaan-Ku.” (HR Muslim ).
Maka masihkah kita enggan dan malas beribadah? Siapa butuh siapa????